Pulau Panggang – Langit malam itu tidak seperti biasanya. Angin laut berhembus pelan tapi menusuk, seolah membawa pesan yang belum sempat disampaikan gelombang. Dari arah utara, tiga kapal gelap bertiang tinggi muncul, layar mereka melambai kaku dalam hening. Di haluan, lambang aneh menyerupai tengkorak dan tongkat berkilap samar—bukan lambang nelayan, apalagi kapal penyeberangan biasa.
Sam’un, nelayan tua yang baru pulang melaut, sempat menghentikan dayungnya saat melihat bayang-bayang itu. Suaranya tercekat, lalu ia membelokkan perahu kecilnya dan mengayuh pulang dengan gemetar. “Itu bukan kapal penumpang… dan bukan pula kapal dagang,” gumamnya lirih, matanya tak lepas dari garis cakrawala.
Begitu tiba di dermaga, Sam’un berlari terbata menuju rumah panggung dekat pos ronda. Di sana sudah duduk seorang lelaki tua berjubah putih dan berselempang hitam. Rambutnya digulung rapi ke belakang, sorot matanya tenang tapi dalam, seolah tahu lebih banyak dari yang ia ucapkan. Sosok ini dikenal warga sebagai tokoh penjaga kearifan kampung—yang hanya bicara jika memang waktunya bicara.
“Langit utara mengirim firasat,” gumamnya pelan setelah mendengar kabar Sam’un. Ia menepuk bahu pemuda yang berdiri tegap di sampingnya—Jailin, murid kesayangannya. “Waktumu sudah tiba, anakku.”
Sementara itu, di tengah kampung, terdengar suara berat memecah keheningan. “Semua warga masuk rumah sekarang juga! Jangan keluar sampai kami beri kabar!” seru Jamaludin, lelaki paruh baya bersorban dan bercelana longgar yang biasa memimpin doa dan baris dalam peringatan Maulid. Tapi malam itu, suaranya bukan memimpin pujian, melainkan membangunkan ketakutan yang sudah lama tidur.
Beberapa anak kecil menangis, jendela rumah ditutup buru-buru, dan lampu minyak mulai dipadamkan satu per satu. Kampung berubah gelap dan sunyi dalam hitungan menit. Suara pintu digeser dan gerendel dikunci bergantian mengisi udara, menggantikan celoteh malam dan cerita di beranda.
Dari balik kebun mangga, Jailin dan empat pemuda lainnya telah bersiaga. Mereka tidak banyak bicara. Di tangan mereka tergenggam bambu runcing dan parang lama yang biasanya tergantung di dinding dapur. Mata mereka menyipit, menatap ke arah dermaga.
Di laut, ketiga kapal mulai melambat. Tak ada suara mesin. Hanya tiupan suling samar yang entah dari mana datangnya, mengalun menyayat seperti angin yang bercerita dari zaman silam.
Pulau Panggang menahan napasnya malam itu. Belum ada yang tahu siapa yang datang. Tapi semua sadar: malam ini, laut tidak sekadar membawa ombak—ia membawa pertanyaan yang belum tentu ingin didengar jawabannya.
Untuk tahu kelanjutan informasi mencekam ini klik di sini: Tegang di Pulau Panggang – BeritaPulauSeribu.net