Editorial

Mengatasi Ancaman Rob: Kepulauan Seribu Menanti Solusi Permanen dan Mitigasi Berkelanjutan

Avatar photo
88
×

Mengatasi Ancaman Rob: Kepulauan Seribu Menanti Solusi Permanen dan Mitigasi Berkelanjutan

Sebarkan artikel ini
Ilustrasi
Ilustrasi

PULAU PRAMUKA, BPSNet – Ancaman rob, fenomena kenaikan permukaan air laut yang didorong oleh pasang air laut atau gelombang tinggi, telah lama menjadi bayang-bayang menakutkan bagi masyarakat Kepulauan Seribu.

Meskipun fenomena ini bersifat musiman, dampak yang ditimbulkannya—mulai dari rusaknya infrastruktur, terganggunya aktivitas ekonomi, hingga mengancam keselamatan dan sanitasi warga—menuntut respons yang lebih dari sekadar penanggulangan darurat.

Wilayah kepulauan yang secara geografis berada pada elevasi rendah ini berada di garis depan krisis iklim yang manifestasinya terlihat jelas dalam intensitas dan frekuensi rob.

Khusus di Kepulauan Seribu, isu rob tidak hanya dipicu oleh pasang air laut biasa, melainkan diperparah oleh tren kenaikan permukaan air laut global (sea level rise) dan penurunan muka tanah (land subsidence) yang terjadi di daratan Jakarta.

Meskipun penurunan muka tanah tidak seintens di daratan, efek gabungan dari air laut yang makin tinggi dan infrastruktur yang rentan membuat pulau-pulau kecil ini menjadi sangat rentan.

Data dan laporan lokal sering menunjukkan bahwa intervensi darurat, seperti penyaluran bantuan sosial pasca-rob, meski penting, belum menjadi jawaban permanen.

Menilik pada respons awal pemerintah daerah, langkah mitigasi darurat berupa penyaluran Bantuan Pemenuhan Hidup Layak (Bansos PHL) melalui Suku Dinas Sosial (Dinsos) DKI Jakarta pasca-kejadian rob telah dilakukan, sebagaimana terekam dalam laporan berita [merujuk pada arsip berita sebelumnya].

Langkah ini menunjukkan kepedulian cepat Pemda dan Dinsos dalam menjamin kebutuhan dasar korban bencana dapat terpenuhi saat situasi kritis. Namun, mekanisme ini berada pada tahap respon (setelah kejadian), bukan pada tahap pencegahan (sebelum kejadian).

Aspek penanggulangan jangka pendek yang efektif adalah dengan memperkuat sistem peringatan dini (EWS). Literasi kebencanaan umum menyebutkan bahwa EWS yang terintegrasi antara BMKG, BPBD, dan perangkat kelurahan (Bhabinkamtibmas dan Lurah) sangat krusial.

Sistem harus mampu memberikan informasi yang spesifik waktu dan lokasi sehingga masyarakat memiliki waktu yang cukup untuk melakukan evakuasi horizontal maupun vertikal sebelum air benar-benar naik.

Pemerintah daerah melalui perangkat kelurahan harus mengintensifkan sosialisasi mitigasi bencana di tingkat RW dan RT. Edukasi harus mencakup persiapan tas siaga bencana, titik kumpul evakuasi yang aman, serta cara melindungi aset dan sanitasi rumah tangga dari kontaminasi air rob.

Keterlibatan aktif dari PMI dan relawan lokal dalam melatih kesiapsiagaan warga mutlak diperlukan agar respon tidak hanya bergantung pada aparat pemerintah saja.

Langkah mitigasi berikutnya adalah dari sisi infrastruktur. Pulau-pulau yang padat penduduk, seperti Pulau Tidung atau Pulau Pramuka, memerlukan perbaikan atau peningkatan sea wall (dinding laut) yang ada.

Dinding laut yang ditinggikan dan diperkuat bukan hanya menahan air rob sesaat, tetapi juga berfungsi sebagai benteng jangka panjang terhadap kenaikan permukaan air laut.

Namun, pembangunan dinding laut harus dilakukan dengan studi lingkungan yang komprehensif. Pembangunan yang serampangan tanpa mempertimbangkan arus laut dapat memicu erosi di sisi pulau yang lain atau merusak ekosistem terumbu karang yang berfungsi sebagai penahan gelombang alami—sebuah solusi yang kontraproduktif.

Solusi penanggulangan jangka menengah harus beralih ke solusi berbasis alam (nature-based solutions). Restorasi ekosistem pesisir seperti penanaman mangrove di pulau-pulau yang memiliki garis pantai berlumpur (seperti beberapa bagian Pulau Pramuka atau Pulau Kelapa) dapat meredam energi gelombang dan membantu menjebak sedimen, yang secara alami dapat meningkatkan elevasi lahan.

Selain mangrove, perlindungan dan restorasi terumbu karang juga sangat vital. Terumbu karang adalah pemecah gelombang alami yang paling efektif. Oleh karena itu, program konservasi kelautan dan pengendalian limbah harus diperkuat agar ekosistem ini tetap berfungsi maksimal sebagai mitigasi alami.

Terkait solusi tata ruang, pemerintah perlu melakukan peninjauan ulang tata ruang pesisir. Harus ada penegasan zona larangan pembangunan (zona penyangga) di tepi pantai yang sangat rentan.

Pembangunan rumah dan fasilitas umum sebaiknya didorong untuk mengadopsi struktur panggung (stilt house) yang tahan air, meniru kearifan lokal masa lalu.

Tantangan utama dalam mitigasi rob adalah ketersediaan anggaran dan sinkronisasi program. Program penanganan rob di Kepulauan Seribu harus menjadi agenda prioritas, bukan hanya pemerintah kabupaten, tetapi juga Pemerintah Provinsi DKI Jakarta secara berkelanjutan.

Anggaran yang dialokasikan harus mencakup tidak hanya pembangunan fisik, tetapi juga program edukasi dan konservasi lingkungan.

Respon mitigasi yang ideal juga melibatkan peran serta masyarakat sebagai mata dan telinga pemerintah. Melalui forum-forum Musrenbang, warga harus didorong untuk mengusulkan solusi lokal yang paling efektif untuk pulau mereka, karena setiap pulau memiliki karakteristik kerentanan yang berbeda.

Edukasi publik mengenai perubahan iklim harus diintensifkan. Rob bukan lagi masalah musiman, melainkan dampak nyata krisis iklim. Memahami akar masalah ini akan meningkatkan kesadaran kolektif untuk mendukung kebijakan yang berorientasi pada keberlanjutan dan mitigasi jangka panjang.

Dalam jangka panjang dan paling radikal, kajian ilmiah mengenai kemungkinan relokasi atau revitalisasi permukiman di pulau-pulau yang memiliki risiko rob ekstrem harus mulai dipertimbangkan.

Walaupun sulit secara sosial dan budaya, ini mungkin menjadi pilihan terakhir jika tren kenaikan permukaan air laut tidak terbendung.

Kesimpulannya, menghadapi ancaman rob yang semakin masif, Kepulauan Seribu tidak bisa hanya mengandalkan bantuan darurat. Diperlukan sinergi antara pembangunan infrastruktur yang cerdas, solusi berbasis alam yang berkelanjutan, penguatan EWS, dan peningkatan literasi kebencanaan.

Kepemimpinan daerah harus proaktif mendesak solusi permanen demi memastikan keberlanjutan hidup dan perekonomian warga pulau.

Bagaimana Anda menilai informasi ini? Berikan reaksi Anda!