Kibar Bendera Hitam, Siapa yang Pulang dalam Diam?

Avatar photo

Sudah lebih dari sebulan bapak dirawat di RSUD Tangerang. Kakak-kakakku bergantian menjenguk, menemani emak yang setia menjaga di sisinya. Aku hanya mendengar kabar dari Mak Mae atau Pak Aman, yang sering mendapat cerita dari mereka yang baru pulang menjenguk bapak.

Namun, cerita yang kudengar selalu berbeda. Ada yang bilang bapak makin lemah, ada pula yang berkata bapak mulai sadar dan berbicara. Entah mana yang benar, aku tak tahu. Aku hanya menunggu, dalam gelisah yang tak berkesudahan.

Hingga siang itu, udara di Pulau Tidung mendadak terasa lebih berat.

“Bendera item! Bendera item! Kapal bendera item!”

Teriakan Supri, pemuda pengangguran yang sering nongkrong di bale-bale dermaga Haji Tholib, mengoyak ketenangan. Dengan wajah panik, ia berlari di sepanjang dermaga, telunjuknya mengarah ke laut.

Sekejap, semua mata tertuju ke arah yang ditunjuknya.

Jauh di tengah laut, kapal berukuran sedang melaju di antara gelombang yang beriak liar. Dari ujung tiang depannya, sehelai bendera hitam berkibar diterpa angin.

Bendera itu mungkin terlihat biasa bagi orang luar. Namun bagi kami, bendera hitam adalah tanda kepulangan yang tak lagi membawa harapan.

Bendera itu berarti kematian.

Seorang dari kami telah berpulang—bukan dengan langkah kaki, tetapi dalam diam, terbujur kaku di atas geladak kapal.

Orang-orang mulai berkumpul di dermaga. Tatapan mereka dipenuhi kecemasan, bibir mereka bergetar tanpa suara.

Siapa yang datang dalam sunyi?

Mereka saling menebak. Siapa yang baru saja meninggal di darat? Siapa yang kini sedang dipulangkan ke tanah kelahirannya?

Di akhir dekade 70-an, teknologi komunikasi belum menjangkau pulau kami. Tak ada telepon, tak ada kabar yang bisa lebih cepat dari kapal yang membawa jenazah.

Di sini, kematian datang tanpa peringatan.

Aku sedang di rumah Pak Aman ketika suara derit sepeda mendekat. Bang Rohim, lelaki bertubuh kurus, turun tergesa, menyandarkan sepedanya di batang pohon jambu. Nafasnya tersengal, tangannya gemetar saat mengetuk pintu.

Tanpa menunggu jawaban, ia mendorong pintu yang tak terkunci.

“Wak Aman! Wak Aman!” suaranya parau. “Kapal bendera item itu katanya bawa jenazahnya Wak Malik! Wak Aman harus ke dermaga!”

Pak Aman mendadak membeku. Cangkir kopi di tangannya perlahan diletakkan di atas meja. Tatapannya kosong, seakan tak percaya pada apa yang baru saja didengarnya.

Mak Mae terdiam di sudut ruangan, jarum di tangannya terhenti, benang yang hendak ditariknya tiba-tiba terasa berat.

Aku hanya bisa menatap mereka. Di antara kami bertiga, tak ada yang berani lebih dulu membuka suara.

Pak Aman akhirnya menarik napas panjang. Matanya menatapku dan Mak Mae.

Lirih, hampir seperti bisikan, bibirnya mengucap,

“Inna lillahi wa inna ilaihi roji’un…”

(Bersambung)

*Kisah ini merupakan adaptasi dari karya tulis Duangkeren di aplikasi KBM. Dengan tetap menjaga keaslian dan substansi cerita, publikasi ini dilakukan atas izin serta restu dari penulis aslinya.

Bagaimana Anda menilai informasi ini? Berikan reaksi Anda!

Respon (2)

  1. Sedih ceritanya saya baru tau adat di pulau tidung jika membawa jenazah dgn bendera hitam, rada horor juga sih

Komentar ditutup.