Cerita ini datang dari Pulau Bawah, di mana budidaya ikan menjadi kebanggaan instansi terkait. Katanya, hasil panen ikan selalu melimpah dan kualitasnya terbaik. Namun, di balik kisah sukses itu, ada cerita yang tersembunyi.
Di Pulau Bawah, instansi terkait selalu pamer hasil panen terbaik di depan para pejabat dan media. Setiap kali ada kunjungan, hasil panen dipamerkan dengan bangga. Para petani hanya mengikuti arahan tanpa banyak bicara, layaknya kerbau dicocok hidung.
Tapi jangan berharap lebih. Meski terlihat sukses, banyak petani yang mengakui bahwa keberhasilan ini hanyalah di permukaan.
📸 Hasil panen melimpah, tapi di belakang cerita berbeda.
📸 Kualitas terbaik, namun bukan hasil sehari-hari.
📸 Tugas utama? Pamer depan kamera, balik lagi ke rutinitas.
📸 Alasan klasik? “Ini hasil panen terbaik yang pernah ada.”
Kenyataan atau Hanya Pamer? Lucu, bukan? Warga di pulau menunggu hasil nyata, tapi instansi terkait lebih sibuk menjaga citra. Fasilitas budidaya lengkap, tapi lebih sering jadi pajangan. Hasil panen tertunda, tapi laporan tetap berjalan mulus.
Mau beli ikan segar? “Ini untuk pejabat yang datang.”
Mau tanya soal kualitas? “Nanti kami sampaikan ke pusat.”
Mau tanya kapan petani jujur? “Wah, itu bukan ranah kami.”
📸 Kalau begitu, budidaya ini sebenarnya untuk siapa?
Janji yang Terungkap di Lahan Budidaya
Dulu, ada banyak janji untuk Pulau Bawah. Katanya:
🗨️ “Budidaya ikan akan meningkatkan ekonomi masyarakat.”
🗨️ “Kualitas ikan akan lebih baik dan melimpah.”
🗨️ “Petani akan didukung dengan teknologi dan pelatihan.”
Tapi kenyataannya? Hasil panen ada, tapi tidak konsisten. Warga butuh hasil nyata, tapi instansi terkait sibuk berfoto. Masalah tak kunjung selesai, tapi laporan tetap berjalan lancar.
Datang, Panen, Pamer
Tak ada yang salah dengan pamer hasil panen. Tapi kalau instansi terkait lebih sering menjaga citra daripada menghasilkan, lalu siapa yang benar-benar bekerja?
📸 Mau sampai kapan Pulau Bawah jadi tempat pamer, bukan tempat kerja yang sebenarnya?
“Tapi ya sudahlah, ini kan cuma kelakar. Kelakar Orang Pulo. Kalau ada yang merasa, ya silakan direnungkan. Kalau tidak, anggap saja angin laut yang lewat.”