Kisah  

Dilema Sari Patih

Avatar photo

“Kakang, ini kesempatan! Cepat bunuh bocah itu! Jangan biarkan dia hidup. Dia akan menjadi ancaman besar di masa depan,” desak Nyai Tunjung Biru kepada Ki Angin Putih, matanya berkilat penuh dendam.

Tanpa menjawab atau menoleh, Ki Angin Putih berdiri tegak. Dengan satu gerakan cepat, dia meluncur ke arah Saga yang masih bersila dengan mata tertutup, mencoba mengumpulkan sisa-sisa tenaganya.

*****

Pukulan mematikan yang akan dilancarkan Ki Angin Putih tampak seperti senjata pamungkas yang akan mengakhiri hidup Saga. Meski samar-samar, Saga masih merasakan serangan itu mendekat, namun tubuhnya tak mampu lagi bereaksi. Ia hanya bisa berdiam diri, seperti patung yang terkunci dalam keputusasaan.

Dadanya yang seakan remuk semakin menambah derita pemuda ini—seorang anak muda yang belum lama terjun ke dunia persilatan yang penuh tokoh-tokoh sakti, termasuk ketiga murid jahanam yang kini membuatnya menderita luka dalam yang parah.

Apakah ini akhir dari hidupku? Aku masih harus menjalankan titah Sultan… Ratu, Ratu…” gumam Saga di dalam benaknya. Dia mencoba keras untuk bergerak, namun kondisi kritis yang dialaminya membuat tubuhnya terasa seperti tertindih sebongkah batu besar yang tak terangkat.

Sejurus kemudian, pukulan mematikan itu hampir menyentuh tubuh lemah Saga. Benaknya dipenuhi potongan-potongan kenangan, gelombang tinggi yang pernah menghempaskannya, sosok Sulaiman, guru pertamanya yang bijaksana; Rahma, putri Sulaiman yang selalu menunggu kepulangannya dengan mata penuh harap; dan Nayaka Sari, wanita cantik berselendang ungu yang kini terbaring lemah karena luka dalam setelah berusaha melindunginya saat bertarung dengan Rangga Wisesa.

Seakan nyawa Saga akan terlepas begitu saja oleh pukulan Ki Angin Putih yang pasti akan meremukkan tubuhnya menjadi debu. Namun, tiba-tiba sebuah sinar putih keperakan melesat dari arah belakang Saga. Sinar itu cepat seperti kilat, mengarah lurus ke tubuh Ki Angin Putih. Dengan refleks, Ki Angin Putih menarik pukulannya dan bersalto ke belakang, matanya melebar penuh keterkejutan.

“Tapak Naga Semesta,” desis Ki Angin Putih dalam hati, mengenali energi dahsyat yang terpancar dari sinar itu. Sinar tersebut terus memburu tubuhnya, membawa hawa panas yang menyengat. Ki Angin Putih berusaha keras menghindar, namun dia tahu bahwa Tapak Naga Semesta bukanlah ajian biasa. Hanya pendekar tingkat paripurna yang mampu menahan kekuatan seperti itu.

Sementara Ki Angin Putih sibuk menghindari serangan maut itu, Saga—yang kesadarannya semakin menipis—sayup-sayup melihat wajah yang sangat dikenalnya tersenyum lembut ke arahnya. Dengan gerakan cekatan, orang itu menotok jalan darah Saga.

“Istirahatlah, Saga,” kata suara itu singkat, namun penuh ketenangan.

“Aaaaaaaakh!” Teriakan keras terdengar dari mulut Ki Angin Putih. Lelaki berwajah pucat itu tak mampu lagi menghindari sinar dari Tapak Naga Semesta yang seperti memiliki nyawa sendiri, memburu targetnya tanpa ampun. Fatal. Tubuh kurus Ki Angin Putih terpental beberapa meter, dadanya tampak gosong terbakar. Bahkan, murid pertama Ki Jaga Baya ini terjengkang di tanah, tak bergerak lagi. Wajahnya yang sebelumnya pucat seperti lembaran kertas putih kini menghitam terbakar.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *