Kisah  

Dilema Sari Patih

Avatar photo

Dalam setiap pertempuran, ia seperti angin yang tak terlihat, namun membawa dampak dahsyat. Arya Saka juga dikenal sebagai tokoh yang rendah hati, meskipun kehebatannya telah melampaui banyak pendekar ternama di zamannya.

Ketiga murid Ki Cipta Buana ini, meskipun berbeda dalam karakter dan latar belakang, memiliki satu kesamaan: mereka adalah penerus warisan besar sang guru, yang tidak hanya mengajarkan ilmu beladiri, tetapi juga nilai-nilai kehidupan yang mendalam. Mereka adalah simbol dari tiga elemen besar: samudera, bumi, dan semesta—mewakili kekuatan alam yang tak terbatas.

Saka, anakku. Cepat tolong Saga. Bawa dia ke Pulau Rambut dan dapatkan ‘Rumput Sari Patih’,” kata Ratu Mayang Sari dengan nada yang mulai tenang setelah melihat kedatangan Raden Arya Saka—yang tak lain adalah anaknya sendiri. Meski hanya berwujud arwah, suaranya penuh otoritas dan kasih sayang.

Iya, Ibu Ratu,” jawab Arya Saka singkat, matanya tetap fokus pada Saga yang terbaring lemah.

Dalam kesadaran yang semakin menipis, Saga merasakan kejutan yang mendalam saat melihat siapa sosok yang dipanggil Raden Arya Saka. Pria itu… adalah orang yang selama ini selalu bersamanya dalam perjalanan. “Gandi…” gumam Saga lemah, suaranya nyaris tak terdengar.

“Istirahatlah, Saga. Aku akan menolongmu,” kata Arya Saka—atau yang dalam pandangan Saga adalah Gandi—dengan suara tenang namun penuh keyakinan. Matanya yang tajam seperti menyimpan rahasia besar yang belum waktunya diungkap.

Namun, keterkejutan bukan hanya milik Saga. Di balik semak-semak, sosok pria muda bernama Hasanudin, yang sebelumnya hanya bisa bersembunyi saat Saga bertarung melawan ketiga tokoh sesat itu, mulai keluar dari persembunyiannya. Wajahnya tampak bercampur antara rasa hormat dan kebingungan.

“Gandi… ah, maaf, Raden,” sapa Hasanudin dengan nada ragu-ragu, suaranya terdengar seperti mencoba menyesuaikan diri dengan identitas baru orang yang ia kenal sebagai Gandi.

“Sudahlah, Hasan. Segera siapkan perahu. Kita harus segera ke Pulau Rambut sebelum senja datang,” ujar Arya Saka dengan nada tegas. “Saat ini adalah waktu yang tepat untuk memetik Rumput Sari Patih.”

Matanya yang tajam seperti elang menyapu cakrawala, memastikan bahwa langit masih memberikan cukup waktu bagi mereka untuk melanjutkan misi penyelamatan ini. Namun, di balik ketenangannya, ada kilatan kekhawatiran yang samar-samar terlihat di wajahnya. “Saga harus selamat“, pikirnya dalam hati. Tidak hanya karena titah ibunya, tapi juga karena Saga adalah harapan terakhir bagi banyak orang.

Arya Saka menjelaskan kepada Hasanudin bahwa waktu sangatlah penting. Rumput Sari Patih hanya dapat dipetik saat senja tiba, ketika energi alam mencapai puncaknya. Jika terlambat, efek penyembuhan Rumput itu akan hilang.

“Saga harus bertahan sampai kita tiba di sana,” kata Arya Saka dengan nada tegas, matanya menatap tubuh lemah Saga yang masih terbaring tak berdaya.

Hasanudin, meskipun cemas, mencoba tegar. “Aku akan mengemudikan perahu secepat mungkin, Raden.”

Angin laut mulai bertiup kencang saat mereka meninggalkan Pulau Onrust. Ombak bergelora seperti merasakan urgensi misi mereka. Namun, di balik keheningan senja, ada firasat buruk yang menghantui Arya Saka. Ia tahu bahwa Nyai Tunjung Biru tidak akan tinggal diam setelah kehilangan dua kakak seperguruannya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *