Harapan dari Daratan
Siang itu, Komarudin, seorang petugas dari pemerintah daerah, datang ke Pulau Panggang dengan mengenakan seragam khaki. Ia didampingi Halimah dan Nurlela, dua perempuan dengan wajah bersahaja yang bertugas di bidang pemberdayaan masyarakat nelayan.
“Bapak-bapak semua, kami paham kondisi kalian. Laut makin sepi, harga BBM naik, kebutuhan hidup makin mahal,” kata Komarudin di depan balai desa. “Itulah kenapa kami sedang berupaya mencari solusi.”
“Solusi?” potong Ramli dengan wajah kesal. “Dari dulu solusi cuma janji. Yang kami butuhkan itu kepastian! Nelayan kecil makin terjepit, tapi kapal besar kayak Darus makin berjaya!”
Komarudin menatap Ramli dengan sabar. “Kami bukan cuma datang untuk bicara. Ada program bantuan BBM bersubsidi yang sedang diperjuangkan untuk nelayan kecil seperti kalian. Selain itu, ada pelatihan alat tangkap ramah lingkungan yang bisa membantu meningkatkan hasil tangkapan.”
Halimah dan Nurlela menambahkan bahwa pemerintah juga sedang menggencarkan pasar ikan murah, agar nelayan tak lagi terlalu bergantung pada tengkulak seperti Darus.
Tiba-tiba, suasana menjadi hening ketika seseorang melangkah ke depan. Adi Sulyono, teman lama mereka yang kini menjabat sebagai pejabat tinggi di Kepulauan Seribu, berdiri dengan raut wajah serius.
“Saya ada di sini bukan cuma sebagai pejabat, tapi juga sebagai teman lama kalian,” katanya, matanya menatap Muksin, Fadli, Ramli, dan Nasir satu per satu. “Saya tahu perjuangan nelayan kecil, dan saya ingin pastikan kalian tidak sendirian dalam menghadapi ini.”
Muksin menatap Adi dengan tatapan penuh tanya. “Janji politis atau beneran mau bantu?”
Adi menghela napas. “Aku tahu kalian skeptis. Tapi kasih aku kesempatan. Aku akan buktikan kalau kita bisa perbaiki keadaan.”
Semua mata tertuju pada Adi. Apakah kali ini pemerintah benar-benar akan membantu mereka? Ataukah ini hanya janji kosong yang lain?
Muksin mengepalkan tangan, menatap laut yang semakin jauh dari harapan mereka. Ini bukan sekadar tentang ikan, bukan sekadar tentang harga. Ini adalah pertarungan nelayan kecil melawan gelombang ketidakadilan yang terus menghantam mereka.
To be continued…
Lima sekawan yang tergabung dalam Panca Wakun tumbuh bersama di pesisir, berbagi tawa, cita-cita, dan gelombang kehidupan. Kini, persahabatan mereka diuji oleh kerasnya laut dan ketidakadilan yang mengintai.