Di ujung dermaga kayu yang mulai lapuk, Wak Kelakar duduk termenung. Ombak kecil berdebur malas di tiang-tiang penyangga yang sebagian sudah dimakan usia, menyisakan bau anyir bercampur garam.
Angin laut berhembus, membawa suara sesekali dari kejauhan—teriakan nelayan yang mengangkat jaring, suara burung camar yang bertengger di atap pondok reyot, dan yang paling jelas, suara hati rakyat yang sudah lelah menunggu perubahan.
Si Udin mendekat, membawa sekantong pisang goreng yang aromanya lebih menghibur daripada janji-janji pejabat. “Wak, kenapa duduk melamun di sini? Lagi nyari wangsit?” tanyanya sambil menyerahkan sepotong pisang goreng.
Wak Kelakar menghela napas panjang, menerima gorengan itu dengan malas. “Bukan nyari wangsit, Din, Wak lagi mikirin nasib kita ini. Udah lebih 21 tahun daerah kita jadi kabupaten, tapi kapal penghubung saja masih kayak hantu—ada tapi nggak keliatan!”
Si Udin ikut duduk, menggoyang-goyangkan kakinya di atas air. “Iya, Wak. Dulu kata pejabat, kalau sudah jadi kabupaten, kita bakal maju! Infrastruktur bagus, akses gampang, ekonomi naik. Tapi sekarang? Ke pulau sebelah saja nunggu kapal kayak nunggu mantan sadar kalau kita ini pilihan terbaik!”
Wak Kelakar ketawa hambar, menggigit pisang gorengnya tanpa semangat. “Kapal yang ada itu pun kadang mogok, kadang jalan, kadang malah jadi proyek lepas tangan. Kalau kita protes, jawabannya pasti sama: ‘Sedang diusahakan!’ Lah, dari dulu juga usahanya nggak jadi-jadi, Din. Mungkin mereka mengusahakan biar kita ini tetap sabar!”
Si Udin manggut-manggut, matanya menerawang ke laut. “Tapi Wak, kemarin katanya ada wacana beli kapal baru, lho.”
Wak Kelakar ketawa sinis. “Wacana, Din! Wacana itu lebih banyak daripada jumlah ikan di laut. Dulu ada juga yang bilang mau bangun pelabuhan modern, jalan diperbaiki, listrik lancar. Nyatanya, dermaga kita tetap berlubang, kapal tetap susah, dan listrik masih kayak hubungan LDR—nyala-mati tak menentu!”
Si Udin menghela napas, “Jadi Wak, solusinya apa?”
Wak Kelakar bangkit, menatap horison dengan gaya ala pahlawan kesiangan. “Solusinya? Kita harus bersabar, Din! Bersabar sampai lelah sendiri, sampai suatu hari nanti mungkin ada pejabat yang sadar kalau masyarakat ini bukan patung yang cuma bisa diam!”
Si Udin terdiam, lalu menepuk bahu Wak Kelakar. “Wak, sabar itu baik. Tapi kalau kesabaran diuji 21 tahun, itu namanya bukan sabar, Wak. Itu kebodohan!”
Wak Kelakar tertegun, lalu menghela napas panjang. “Betul juga, Din. Ya sudahlah, kita nikmati saja… eh, itu suara kapal datang?”
Si Udin melihat ke laut, lalu menggeleng. “Bukan, Wak. Itu suara perut Wak yang kelaparan!”
Wak Kelakar tertawa hambar. “Ya sudah, mari kita pulang. Soalnya kalau kita tunggu kapal, takutnya nanti yang sampai malah umur, bukan kapalnya!”