Kisah  

Laga di Istana, Dendam yang Terbentuk

Bab 3

Avatar photo
Laga di Istana, Dendam yang Terbentuk

“Apa yang harus kupelajari, Ratu?” tanyanya.

Ratu Mayangsari tersenyum. “Ilmu kebal yang akan melindungimu dari serangan senjata tajam, bahkan peluru senapan. Ilmu ini bernama Tameng Waja. Namun, butuh ketekunan dan pemurnian jiwa untuk menguasainya.”

Saga mengangguk. “Aku siap. Ajarkan padaku.”

Tanpa ragu, Ratu Mayangsari mulai membimbingnya dalam latihan energi baru ini. Malam itu, di bawah langit berbintang, Saga menyerap ilmu yang akan menjadi perisai bagi dirinya dalam pertarungan yang akan datang.

Malam semakin larut ketika Saga mencoba tidur, namun matanya sulit terpejam. Tiba-tiba, tubuhnya terasa ringan, seperti sedang melayang dalam kegelapan. Sebuah suara dalam nada tenang dan berwibawa terdengar.

“Saga…”

Saga membuka matanya dan mendapati dirinya berdiri di sebuah ruangan luas dengan pilar-pilar emas yang menjulang tinggi. Di hadapannya, seorang pria berjubah hijau bermahkota sederhana duduk di atas singgasana.

“Sultan Demak…?” gumam Saga dengan bingung.

Sultan tersenyum. “Aku telah memperhatikanmu, wahai pemuda. Langkah-langkahmu telah membawamu lebih dekat pada takdir yang besar. Namun, ingatlah, dalam uji tanding esok hari, kau tidak boleh mengungkap semua kemampuanmu, terutama ilmu kebatinan dan Tameng Waja yang baru kau pelajari.”

Saga menunduk hormat. “Hamba mengerti, Baginda.”

Sultan mengangkat tangannya. Cahaya biru bersinar di hadapannya, lalu perlahan membentuk sebuah tombak dengan mata tajam berkilau yang berhiaskan ukiran lafaz La haula wa la quwwata illa billah.

“Ini adalah pusaka peninggalan para leluhur. Namanya Tombak Kiai Pleret. Ia akan menjadi bagian dari perjalananmu, dan kelak, nasibnya akan terhubung dengan pohon Dewandaru yang kau cari.”

Saga menatap pusaka itu dengan kagum. Saat ia mencoba menyentuhnya, tiba-tiba semuanya menjadi gelap.

Ia terbangun dengan napas sedikit tersengal. Tangan kanannya terasa hangat, seolah masih menggenggam tombak itu. Ia menatap sekeliling, memastikan semuanya hanya mimpi. Namun, di sisinya, ia melihat secarik kain berisi ukiran lafaz yang sama seperti yang ada di tombak dalam mimpinya.

Di tengah alun-alun istana yang luas, Saga berhadapan dengan Rangga Wisesa, putra Ki Jagaseta. Sejak awal, Rangga Wisesa sudah menunjukkan kesombongannya.

“Kau ini siapa? Orang tanpa asal-usul yang hilang ingatan, apa pantas kau bertarung denganku?” ejek Rangga dengan nada angkuh.

Saga hanya diam, dalam hatinya ia mengulang lafaz yang terukir di tombaknya.

Rangga mulai menyerang dengan jurus Garuda Menyambar Angin, meluncur cepat dengan tangan terkepal ke arah dada Saga. Namun, Saga menghindar dengan langkah ringan.

“Hmph! Lihatlah jurus ketujuhku, Garuda Mencakar Langit!” Rangga menyerang dengan gerakan lincah, berusaha menjerat Saga dengan kombinasi tendangan dan pukulan cepat.

Saga mulai merasakan pola serangan Rangga. Ketika lawannya beralih ke Garuda Menerjang Ombak, Saga menyadari celahnya. Dengan gesit, ia menangkis dan memanfaatkan momentum untuk menyerang balik.

Puncaknya terjadi saat Rangga menggunakan Garuda Menderu-deru , jurus yang memanfaatkan kecepatan untuk menyerang dari berbagai arah. Namun, Saga mengandalkan ketenangannya dan dalam satu gerakan cepat, ia berhasil mengenai bahu Rangga, membuatnya tersungkur.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *