Kisah  

Mendung di Pulau Tidung 1

Avatar photo

“DORRRR!!”

Dentuman besar menggema di seantero hutan, namun pagar gaib itu tetap tak tergoyahkan.

Mata Ki Jaga Seta semakin merah. Ia tahu waktunya semakin sempit. Jika ia tidak bisa membuka pagar ini segera, maka lawannya pasti akan datang lebih dulu.

“Hm… Jika kekuatan tidak bisa membukanya, mungkin darah yang akan menjadi kuncinya,” gumamnya sambil menyeringai licik.

Para muridnya menelan ludah, menyadari bahwa sang guru sudah memiliki rencana lain—dan itu pasti akan melibatkan pengorbanan jiwa.

*****

Jaga Seta dan Makam Tua

Sementara, Kabut tipis masih menggantung di antara pepohonan saat Saga dan Nayaka Sari melesat bagai bayangan yang menari di antara batang-batang pohon. Angin pagi berdesir mengikuti langkah mereka, membawa serta aroma laut yang bercampur dengan embusan dedaunan yang bergoyang pelan.

Jalan setapak yang mereka lalui semakin menyempit, dipenuhi akar-akar tua yang menjulur seperti tangan tak kasat mata. Namun, kedua pendekar itu bergerak tanpa ragu, setiap langkah mereka penuh kehati-hatian. Saga merasakan hawa aneh semakin pekat di udara—sebuah pertanda bahwa tempat yang mereka tuju tidaklah biasa.

Nayaka Sari melirik ke langit. Matahari perlahan naik, sinarnya berpendar di antara celah dedaunan, menciptakan bayangan berkelebat di tanah.

“Kakak, rasakan hawa ini… ada sesuatu yang tidak beres,” bisiknya lirih.

Saga mengangguk. “Aku tahu. Aura tenaga dalam bercampur dengan kekuatan lain… ini bukan sekadar pertarungan biasa.”

Mereka terus bergerak, semakin mendekati tujuan. Suara riuh langkah kaki terdengar dari kejauhan, diikuti gelegar tenaga dalam yang menghantam udara.

Dan di sanalah mereka—Ki Jaga Seta dan murid-muridnya masih berusaha membobol pagar gaib makam tua itu.

Saga dan Nayaka Sari berdiri tegap di hadapan Ki Jaga Seta dan murid-muridnya. Pagar gaib makam tua itu masih berpendar samar, menjadi bukti bahwa hingga kini belum ada yang mampu menembusnya.

“Sagara dan kau Nayaka Sari, kebetulan sekali kalian datang!” suara Ki Jaga Seta menggelegar, sorot matanya penuh kemarahan.

Nayaka Sari melirik ke arah pagar gaib yang masih berdiri kokoh. Tak sedikit pun tanda bahwa Ki Jaga Seta berhasil membukanya.

Saga melangkah maju. “Ki Jaga Seta, kau sudah cukup meresahkan banyak orang. Berhentilah sebelum lebih banyak nyawa melayang!” ucapnya tegas.

Ki Jaga Seta mendengus, tangannya mengepal erat. “Berhenti? Hahaha! Bocah ingusan, jangan mengajariku soal benar dan salah! Aku hanya mengambil apa yang seharusnya menjadi milikku!”

“Milikmu?” Saga menyipitkan mata. “Manik Kaca Pandita bukan milik siapa pun. Kau pikir benda itu bisa menjadikanmu yang terkuat?”

“Lebih dari itu!” Ki Jaga Seta menyeringai. “Dengan benda pusaka itu, aku akan menguasai seluruh tanah pesisir! Tidak akan ada lagi yang berani melawan Perguruan Cakar Garuda!”

Nayaka Sari tersenyum sinis. “Jadi, kau menginginkan kekuatan hanya untuk menindas lebih banyak orang?”

Ki Jaga Seta melangkah maju, sorot matanya berkilat penuh kebencian.

Nayaka Sari menatapnya tajam. “Jadi semua ini hanya untuk kepentingan pribadimu? Kau ingin menindas lebih banyak orang dengan kekuatan pusaka itu?”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *