Kisah  

Mendung di Pulau Tidung 2

Avatar photo

“Semua karakter, peristiwa, dan lokasi dalam kisah ini adalah fiksi dan tidak memiliki hubungan dengan kejadian nyata. Penulis berharap pembaca menikmati kisah ini sebagai hiburan semata dan tidak menganggapnya sebagai fakta sejarah.”

Bab 10: Mendung di Pulau Tidung (bag. 2)

Saga dan Nayaka Sari berdiri di depan Jembatan Misteri , sebuah jalur tua yang terbentang di antara dua pulau. Kabut pekat menyelimuti jembatan itu, seolah-olah menghalangi pandangan ke dunia lain yang tersembunyi di seberang.

Udara di sekitar mereka terasa menusuk hingga ke tulang, dinginnya bukan hanya datang dari angin malam, tetapi juga dari aura misterius yang memancar dari tempat itu.

Angin berembus pelan, membawa bisikan samar yang terdengar seperti jeritan-jeritan tertahan. Suara itu bergema di telinga mereka, seolah mencoba merasuki pikiran mereka dengan ketakutan. Namun, Saga dan Nayaka Sari tidak mundur. Mereka tahu ini adalah satu-satunya cara untuk melanjutkan misi mereka.

Saga melangkah lebih dulu, perlahan namun mantap. Ia meraba-raba jalan dengan tongkat kayu yang ia temukan di sekitar, sementara Manik Kaca Pandita di tangannya berpendar samar, memberikan cahaya redup yang berusaha melawan kegelapan yang mengintai. Cahaya itu tampak rapuh, seperti lilin yang bisa padam kapan saja dalam lautan kabut.

“Jangan terlalu jauh dariku, Naya,” bisik Saga tanpa menoleh, matanya tetap waspada pada kabut yang menggulung-gulung di depan mereka. Suaranya tenang, namun ada nada protektif yang tak bisa disembunyikan.

Nayaka Sari—atau “Naya,” seperti Saga sering memanggilnya—mengangguk, langkahnya ringan namun penuh kewaspadaan. Selendang ungunya berkibar pelan saat angin kembali berhembus, menciptakan siluet lembut di tengah suasana yang semakin mencekam.

“Aku di sini, Kakak,” jawabnya pelan, meskipun suaranya sedikit bergetar. Tangannya meraba gagang keris yang terselip di pinggangnya, siap untuk bertindak jika diperlukan.

Mereka berdua tahu, ini bukan sekadar kabut biasa. Ini adalah penghalang gaib—ujian bagi mereka yang berani melewati batas antara dunia nyata dan dunia mistis.

Langkah pertama terasa mudah. Langkah kedua mulai terasa berat, seolah gravitasi di tempat itu berubah menjadi sesuatu yang tidak wajar. Pada langkah ketiga, Saga menyadari sesuatu yang aneh—suara langkah mereka berdua tak lagi hanya dua. Ada gema lain yang mengikuti, seolah ada sesuatu yang bergerak dalam kabut bersama mereka.

“Kakak, kita tidak sendiri,” bisik Nayaka Sari, suaranya penuh ketegangan. Matanya menyapu kabut di sekitar mereka, mencoba mencari sumber suara itu.

Saga mempererat genggamannya pada Manik Kaca Pandita, cahayanya berdenyut pelan seperti detak jantung. “Aku tahu, Naya,” katanya dengan suara rendah, penuh tekad. “Tapi tetap tenang. Jangan biarkan mereka tahu kita takut.”

Namun, ketenangan itu tidak bertahan lama. Kabut semakin tebal, hingga pandangan mereka kini terbatas hanya beberapa jengkal di depan. Setiap langkah terasa seperti memasuki dunia lain yang asing dan menyesatkan. Bayangan-bayangan samar berkelebat di sisi mereka, terlalu cepat untuk dikenali, namun cukup nyata untuk membuat mereka waspada.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *