Tiba-tiba, suara lirih terdengar, seperti seseorang berbisik tepat di telinga mereka. Suara itu dingin, menusuk, dan penuh ancaman.
“Jangan melanjutkan… Kembalilah… Atau kalian akan tersesat selamanya…”
Nayaka Sari merasakan bulu kuduknya meremang. Ia menoleh ke arah Saga, yang wajahnya tetap tegang namun sorot matanya tak tergoyahkan. “Ini hanya ilusi,” gumamnya lebih kepada dirinya sendiri, mencoba meyakinkan hatinya bahwa mereka tidak boleh takut.
Namun, langkah mereka semakin berat. Seolah-olah kabut telah berubah menjadi tangan-tangan tak kasatmata yang mencoba menarik mereka kembali ke dalam kegelapan. Napas Saga mulai memburu, tapi ia menolak untuk menyerah. Ia tahu bahwa mundur bukanlah pilihan.
“Pegang tanganku, Naya,” kata Saga dengan suara tegas, meskipun tubuhnya mulai terasa lemah.
Begitu jari mereka bersentuhan, kehangatan mengalir di antara mereka, menepis rasa dingin yang mulai merasuk hingga ke tulang. Manik Kaca Pandita di tangan Saga tiba-tiba bersinar lebih terang, cahayanya seperti api kehidupan yang melawan kegelapan kabut yang berusaha menelan mereka.
Seketika, sosok-sosok bayangan yang sebelumnya berkelebat di sisi mereka mulai mengerang kesakitan, seolah-olah cahaya itu membakar keberadaan mereka.
Salah satu bayangan menjerit keras, suaranya menusuk udara seperti kaca yang pecah, lalu lenyap ke dalam pusaran kabut yang bergolak.
“Terus maju, Naya!” seru Saga, suaranya menggema di tengah keheningan yang mencekam. “Jangan hiraukan mereka!”
Mereka mempercepat langkah, meskipun setiap gerakan terasa seperti melawan arus sungai yang deras. Kabut masih berusaha merintangi jalan mereka, mencoba menarik mereka kembali ke dalam kegelapan. Namun, cahaya dari Manik Kaca Pandita terus membuka jalan, perlahan tapi pasti.
Dengan setiap langkah, suara bisikan semakin melemah, hingga akhirnya hanya suara deru angin dan gemerisik langkah kaki mereka yang terdengar.
Saga dan Nayaka Sari saling bertukar pandang sejenak. Di mata mereka, ada campuran rasa lega dan keteguhan—mereka tahu bahwa mereka tidak boleh menyerah, tidak peduli seberapa besar ujian yang harus mereka hadapi.
Setelah apa yang terasa seperti selamanya, mereka akhirnya melihat ujung jembatan. Kabut mulai menipis, memperlihatkan jalan yang lebih jelas. Udara pun terasa lebih hangat, seolah mereka telah meninggalkan dunia lain yang penuh ancaman.
Saga dan Nayaka Sari menarik napas lega, dada mereka naik turun karena kelelahan. Namun, mereka tahu ini bukan akhir dari perjalanan mereka.
“Tantangan selanjutnya sudah menanti,” gumam Saga pelan, matanya menyapu horizon di depan mereka.
Nayaka Sari mengangguk, tangannya masih erat memegang tangan Saga. “Kita akan menghadapinya bersama, Kakak,” katanya dengan suara mantap, meskipun ada jejak kelelahan di wajahnya.
Di kejauhan, siluet sebuah pintu besar muncul di ujung jembatan, dikelilingi oleh cahaya keemasan yang samar. Namun, di balik cahaya itu, ada sesuatu yang tak terlihat—sebuah rahasia baru yang siap menguji mereka.
Setelah berhasil melewati kabut yang menyesatkan, Saga dan Nayaka Sari menemukan diri mereka berdiri di atas bagian jembatan yang tampak berbeda dari sebelumnya. Di hadapan mereka terbentang jalan yang penuh dengan duri-duri tajam dan bilah besi yang mencuat dari lantai kayu yang sudah lapuk dimakan usia.