Tiba-tiba, angin berputar dengan kekuatan dahsyat, menciptakan semacam dinding tak terlihat yang menghalangi langkah mereka. Debu dan serpihan kayu beterbangan di udara, menciptakan kabut tipis yang membuat penglihatan mereka semakin terbatas.
“Pegang tanganku, Naya! Kita harus tetap bersama!” Saga mengulurkan tangannya, suaranya penuh ketegasan meski hampir tertelan oleh badai.
Nayaka Sari meraih tangan Saga, jari-jarinya saling bertaut dengan erat. Mereka tahu, satu-satunya cara untuk melewati ujian ini adalah dengan saling mendukung dan tidak terpisah.
Tiba-tiba, suara aneh terdengar di antara deru angin. Seperti bisikan halus yang menelusup ke telinga mereka, suara yang seakan berasal dari dunia lain.
“Hanya mereka yang memiliki tekad kuat yang bisa melewati batas ini…”
Mata Saga dan Nayaka Sari membelalak. Mereka saling bertukar pandang, menyadari bahwa ini bukan hanya sekadar badai alami. Ada sesuatu yang menguji mereka di balik semua ini—tekad, keyakinan, dan kebersamaan.
“Tekad kuat… Itu kuncinya! Kita tidak boleh goyah, Naya!” Saga menggenggam tangan Nayaka Sari lebih erat, lalu mulai melangkah maju dengan penuh keyakinan.
Angin berputar semakin cepat, seolah-olah ingin menghancurkan siapa saja yang berani menantangnya. Namun Saga dan Nayaka Sari tetap melangkah, melawan hembusan yang semakin menggila. Setiap langkah adalah bukti bahwa mereka tidak akan tunduk pada kekuatan yang mencoba menghentikan mereka.
Lalu, seolah mengakui keteguhan hati mereka, angin mulai mereda perlahan. Tekanan di tubuh mereka berkurang, dan pusaran badai yang menghalangi jalan mulai melemah. Cahaya redup dari Manik Kaca Pandita berpendar lebih terang, seolah memberi isyarat bahwa mereka telah melewati ujian ini.
Setelah perjuangan yang panjang, mereka akhirnya berhasil melewati bagian jembatan ini. Napas mereka tersengal, tubuh mereka lelah, namun tatapan mereka penuh keyakinan.
“Satu tantangan lagi telah kita lalui, Kakak,” ujar Nayaka Sari dengan senyum tipis, suaranya penuh rasa lega.
Saga mengangguk, menatap ke depan. Jalan masih panjang, dan tantangan berikutnya sudah menunggu mereka di ujung jembatan. Di kejauhan, siluet pintu besar kembali muncul, kali ini dikelilingi oleh cahaya keemasan yang samar. Apa rahasia baru yang menanti mereka di balik pintu itu?
Kabut mulai menipis, tapi kelegaan itu tak berlangsung lama. Begitu Saga dan Nayaka Sari melangkah lebih jauh, udara di sekitar mereka mendadak terasa berat. Hawa dingin menjalar ke tulang, seolah-olah ada sesuatu yang menghisap kehangatan dari tubuh mereka. Suasana berubah, bukan lagi sekadar mistis, melainkan mencekam.
Dari balik kabut yang mulai tercerai-berai, muncul bayangan-bayangan hitam. Mereka bergerak tanpa suara, samar-samar seperti asap yang membentuk sosok tinggi dengan mata merah menyala. Mereka tak memiliki wajah, hanya siluet hitam pekat dengan aura kejahatan yang menyesakkan dada.
“Kakak, mereka mengelilingi kita…” suara Nayaka Sari terdengar lebih seperti bisikan yang tertahan, matanya terbelalak menatap makhluk-makhluk itu yang kini semakin dekat.