Saga menegakkan tubuhnya, mencoba menenangkan diri. “Tetaplah dekat, Naya. Kita hadapi ini bersama.”
Salah satu makhluk bayangan melayang mendekat dengan gerakan yang mustahil bagi manusia. Secepat kilat, ia meluncur ke arah Saga, mengayunkan cakar hitam panjangnya. Saga menghindar, tapi angin tajam dari serangan itu tetap menyayat lengan bajunya.
“Mereka nyata…” gumam Saga, merasakan dinginnya luka kecil yang kini menghiasi kulitnya.
Tanpa aba-aba, bayangan-bayangan itu menyerang serempak. Nayaka Sari berputar, menghindari cakar yang hampir menyentuh pipinya, lalu melayangkan tendangan ke tubuh salah satu makhluk. Tapi, yang terjadi justru mengejutkannya—tendangannya hanya menembus bayangan itu, seolah-olah ia menendang asap.
“Serangan fisik tidak berguna, Kakak!” seru Nayaka Sari, nada suaranya penuh kecemasan.
Saga menggertakkan giginya, menyalakan Manik Kaca Pandita di genggamannya. Cahaya biru kehijauan dari permata itu menyebar, menyapu kabut yang tersisa, dan untuk sesaat, makhluk-makhluk bayangan itu terlihat meringis, tubuh mereka berkedip seperti api yang hampir padam.
“Mereka takut cahaya ini!” kata Saga, menyadari kunci dari perlawanan mereka.
Nayaka Sari segera menarik selendang ungunya, membiarkannya menyerap cahaya Manik Kaca Pandita. Begitu selendangnya menyala, ia mengayunkannya ke arah salah satu makhluk bayangan. Kali ini, serangannya berhasil! Makhluk itu mengeluarkan jeritan panjang, tubuhnya berkedip semakin cepat sebelum akhirnya lenyap seperti debu yang ditiup angin.
“Gunakan cahaya untuk melawan mereka, Kakak!” ujar Nayaka Sari penuh semangat.
Saga mengangkat Manik Kaca Pandita lebih tinggi. Cahaya suci dari permata itu semakin terang, menyebar ke seluruh jembatan. Makhluk-makhluk bayangan itu mulai mundur, merintih seperti makhluk yang tersiksa.
Tapi mereka tak menyerah begitu saja.
Dari belakang, salah satu bayangan melesat cepat, cakarnya terhunus ke arah punggung Nayaka Sari. Saga yang melihat itu langsung bergerak tanpa pikir panjang. Ia mendorong Nayaka Sari ke samping dan menerima serangan itu sendiri. Cakar tajam menembus pakaiannya, meninggalkan luka panjang di punggungnya.
“Saga!” jerit Nayaka Sari, wajahnya pucat saat melihat darah mulai mengalir dari luka itu.
Namun Saga tetap berdiri, matanya tetap tajam menatap makhluk-makhluk bayangan yang tersisa. Dengan sekuat tenaga, ia menyalurkan seluruh kekuatannya ke dalam Manik Kaca Pandita. Cahaya itu semakin menyala, kini berubah menjadi kilatan seperti petir yang menggelegar di tengah malam.
Satu per satu, makhluk-makhluk bayangan itu menghilang. Mereka melolong kesakitan sebelum akhirnya lenyap ke dalam kegelapan, meninggalkan jembatan yang kini mulai terasa lebih sunyi.
Saga terhuyung, merasakan nyeri yang luar biasa di punggungnya. Nayaka Sari segera merangkulnya, menahan tubuhnya agar tak jatuh.
“Kau terluka… Kita harus segera mencari tempat aman,” ucap Nayaka Sari dengan nada khawatir, tangannya erat memegang lengan Saga.
Saga mengangguk lemah, tapi tekadnya tetap kuat. “Kita belum selesai, Naya. Masih ada tantangan berikutnya di depan.”