Kisah  

Mendung di Pulau Tidung 2

Avatar photo

“Jangan, Naya!” suaranya tegas namun penuh kelembutan.

Nayaka menatapnya heran. “Kenapa, Kakak? Aku hanya ingin sedikit saja, ini terlihat segar dan harum.”

Saga menatapnya dalam-dalam, merasakan betapa ia ingin melindungi istrinya dari bahaya yang tak terlihat. “Aku mendengar bisikan Ratu Mayang Sari. Dia memperingatkan kita untuk tidak menyentuh atau memakan buah-buah ini sebelum kita menemukan Buah Inti Kehidupan. Semua ini bisa jadi jebakan.”

Nayaka mengernyit, lalu menoleh ke sekeliling. Sekilas, semua tampak aman dan damai, namun dengan pengalaman mereka sejauh ini, ia tahu tak boleh meremehkan setiap peringatan dari dunia gaib. Ia menarik tangannya perlahan, lalu mengangguk.

“Baiklah, Kakak. Kita harus lebih berhati-hati. Kalau begitu, mari kita cari Buah Inti Kehidupan itu secepatnya sebelum rasa lapar semakin mengganggu konsentrasi kita.”

Saga tersenyum tipis, lalu meraih tangan Nayaka dengan lembut. “Ayo, kita harus tetap bersama. Pulau ini mungkin lebih berbahaya daripada yang terlihat.”

Dengan hati-hati, mereka mulai melangkah menyusuri taman, mencari pohon besar di tengah-tengah yang menyimpan Buah Inti Kehidupan. Namun, di balik keindahan yang mereka lihat, sesuatu yang tersembunyi mulai mengawasi setiap gerakan mereka.

Di tengah-tengah pulau, berdiri sebuah pohon raksasa yang mencolok dibandingkan yang lain. Batangnya begitu besar hingga sepuluh orang dewasa takkan cukup untuk memeluknya. Cabang-cabangnya menjulang tinggi, dedaunan hijau lebat menaungi sekelilingnya.

Namun, keunikan pohon ini terletak pada satu hal: hanya ada satu buah yang tergantung di tengahnya. Berwarna kuning keemasan, buah itu berpendar lembut seakan menyimpan energi mistis.

Saat pandangan Saga tertuju pada buah tersebut, tiba-tiba cincin Genta Buana di jarinya bergetar hebat. Cahaya kuning keemasan dari permata cincin, seakan menemukan pasangannya yang telah lama terpisah. Saga dan Nayaka bertukar pandang, menyadari bahwa buah itulah yang mereka cari.

Namun, sebelum mereka bisa melangkah lebih jauh, sebuah geraman berat menggema dari akar pohon. Tanah bergetar, dedaunan berdesir, dan dari balik pepohonan yang rimbun, muncul seekor naga berkilauan emas.

Tubuhnya yang panjang dan gagah bersinar diterpa cahaya mentari, sisiknya seperti logam mulia yang baru ditempa. Mata tajam berwarna merah menyala menatap Saga dan Nayaka dengan kewaspadaan.

“Siapa yang berani menginjak wilayah suci ini?” suara naga menggema dalam udara, menggetarkan dada mereka.

Saga segera berlutut, memberi hormat dengan tangan terkepal di dada. Nayaka mengikuti sikap suaminya. Dengan suara tenang dan penuh hormat, Saga berkata, “Kami hanyalah dua pengembara yang mencari kebenaran dan kehidupan sejati. Kami tidak bermaksud merusak atau mencuri. Kami hanya ingin meminta izin untuk mengambil Buah Inti Kehidupan.”

Naga emas itu mendengus, semburan asap tipis keluar dari hidungnya. “Buah ini bukan untuk sembarang orang. Hanya mereka yang memiliki hati sejati dan keberanian tanpa pamrih yang dapat memperolehnya. Aku, Sang Penjaga, harus diyakinkan sebelum memberikannya.”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *