Prolog :
Kinan adalah seorang jurnalis muda sebuah wilayah yang terpinggirkan dan jarang mendapat perhatian dari pemerintah pusat. Kinan tumbuh besar sebagai anak seorang nelayan, yang hidupnya tergantung pada hasil tangkapan ikan.
Sejak kecil, ia bercita-cita menjadi jurnalis, meski terhalang keterbatasan biaya. Ketika mendapatkan kesempatan untuk kuliah di Jakarta melalui beasiswa, Kinan harus memilih jurusan yang tidak sesuai dengan passion-nya. Namun, ia tetap berusaha sekuat tenaga, terinspirasi oleh harapannya untuk membawa perubahan.
Kinan terlibat aktif dalam organisasi kemahasiswaan lokal. Saat itu,di tempat tinggalnya mengalami perubahan besar: status kecamatan menjadi kabupaten. Banyak kebijakan yang disahkan oleh pemerintahan baru tidak berpihak kepada masyarakat lokal.
Infrastruktur, pelayanan dasar, dan pemberdayaan masyarakat terbengkalai. Kinan merasakan bahwa suara rakyat yang terdampak seolah hilang ditelan lautan. Ia merasa bahwa jika ia tidak bersuara, maka semuanya akan tetap terpendam.
Keberaniannya untuk menjadi jurnalis semakin kuat, karena ia percaya bahwa jurnalisme adalah alat untuk mengubah nasib dan membawa suara masyarakat Kepulauan Seribu ke pemerintah pusat. Ini menjadi titik balik bagi Kinan untuk memulai perjalanan panjang sebagai seorang jurnalis yang berani mengungkapkan ketidakadilan.
*******
“Andai Ditanganku Ada Matahari”
Laut tidak pernah benar-benar diam. Ombaknya berbicara, anginnya berbisik, dan di balik gemuruhnya tersimpan banyak kisah yang belum terungkap, yang terlihat tenang dari kejauhan, menyimpan cerita yang lebih besar dari sekadar keindahan pasir putih dan perahu-perahu nelayan.
Di sanalah Kinan memulai perjalanannya. Sebagai seorang jurnalis muda, ia tidak hanya mencari berita—ia mencari kebenaran yang selama ini tenggelam di bawah ombak ketidakadilan.
Senja mulai turun di tepi dermaga. Angin laut berembus lembut, membawa aroma asin yang begitu akrab bagi Kinan. Ia duduk di ujung dermaga, membiarkan kakinya menggantung di atas air yang beriak pelan. Di sampingnya, Haris, sahabat masa kecilnya, menatapnya dengan penuh tanda tanya.
“Kinan, kau masih berpikir untuk kembali ke Jakarta?” tanya Haris, suaranya pelan tapi menusuk.
Kinan menghela napas panjang. “Aku tidak pernah benar-benar pergi, Ris. Hanya tubuhku yang ada di sana, tapi pikiranku selalu kembali ke sini.”
Haris menatap laut yang mulai gelap. “Kau selalu bicara tentang perubahan. Tapi bagaimana kalau perubahan itu tak pernah datang?”
Kinan menoleh, matanya penuh tekad. “Kalau aku tidak bersuara, siapa lagi? Aku ingin orang-orang tahu bahwa kita ada. Bahwa kita bukan sekadar bayangan di peta.”
Haris mengangguk perlahan. “Tapi risikonya besar. Kau tahu sendiri bagaimana mereka memperlakukan orang yang berani melawan.”
Kinan tersenyum kecil, meskipun hatinya berdebar. “Andai di tanganku ada matahari, aku ingin menerangi tempat ini. Aku ingin menuliskan kebenaran.”
Angin berembus lebih kencang, seakan lautan menyetujui niatnya. Cahaya senja perlahan meredup, menandai awal perjalanan Kinan yang penuh tantangan.
*******
Suarakan terus apa yang terjadi di pulau walaupun melalui cerita, suarakan kebenaran. Cerita ini sangat bagus, seharusnya para pihak membaca apa isi dari cerita “suara dari laut” yang sarat dengan pesan yang bermakna,semangat untuk penulis,semoga perjuangan mu melalui cerita tidak sia sia dan bisa berhasil, semangat terus
Terima kasih banyak atas dukungan dan semangat yang Anda berikan! Saya sangat terharu dan termotivasi oleh kata-kata Anda. Memang, cerita “Suara dari Laut” ini memiliki pesan yang bermakna dan ingin disampaikan kepada masyarakat luas.
Saya setuju dengan Anda bahwa cerita ini harus dibaca oleh para pihak yang terkait, sehingga mereka dapat memahami dan merasakan apa yang terjadi di pulau tersebut. Saya juga berharap bahwa cerita ini dapat menjadi suara bagi mereka yang tidak memiliki suara.
Terima kasih atas doa dan semangat Anda! Saya akan terus berjuang melalui cerita-cerita yang saya tulis, dan saya berharap bahwa perjuangan ini tidak akan sia-sia. Semangat terus