Cerpen  

Ning 4 : Kinanda

Avatar photo

“Aku ingin kamu mendoakan aku untuk ujian nasional tingkat akhir yang akan aku hadapi,” ujar Kinan, nadanya penuh harapan. “Aku ingin mendapatkan nilai yang memuaskan… Aku ingin membuat orang tuaku bangga.”

Ning mengerjap, lalu mengangguk. Senyum kecil tersungging di bibirnya, meski hatinya masih berat. “Aku akan selalu mendoakanmu, Kinan,” katanya dengan penuh ketulusan. “Kamu pasti bisa melakukannya. Aku percaya padamu.”

Mata Kinan sedikit berbinar, seolah beban di pundaknya sedikit berkurang. Ia menggenggam tangan Ning erat, merasakan kehangatan yang selalu membuatnya tenang. “Terima kasih, Ning…” ucapnya penuh rasa syukur. “Aku nggak tahu apa yang akan aku lakukan tanpamu.”

Ning menatapnya dengan penuh cinta, lalu merengkuh Kinan dalam pelukannya. “Aku akan selalu ada untukmu,” bisiknya, meyakinkan dirinya sendiri bahwa mereka akan baik-baik saja.

Namun, momen mengharukan itu terpecah ketika suara lantang memanggil nama Ning.

“Ning!”

Ning dan Kinan tersentak. Ning menoleh dan mendapati seorang lelaki separuh baya berdiri tak jauh dari mereka, wajahnya tegas dan sorot matanya tajam. Jantung Ning berdetak lebih kencang saat mengenali sosok itu—ayahnya.

Ning berlari secepat mungkin, meninggalkan taman dengan napas tersengal dan jantung berdebar kencang. Dadanya terasa sesak, seolah ada tangan tak terlihat yang mencengkeram hatinya erat-erat. Air mata menggenang di matanya, buramnya pandangan membuat langkahnya hampir goyah. Tapi ia terus berlari, menjauh dari Kinan… dari segalanya.

Sementara itu, Kinan tetap terpaku di tempat, tak mampu bergerak. Ia hanya bisa menyaksikan punggung Ning yang semakin jauh, meninggalkannya tanpa kata-kata perpisahan. Hatinya mencengkeram perasaan bersalah yang begitu dalam.

Baca Juga :  Ning 5: "Tuhan, Nanti Dimana?"

“Ayahnya tidak setuju…” gumamnya lirih, seolah mencoba memahami kenyataan pahit yang baru saja menimpanya. “Aku harusnya bisa melakukan sesuatu.”

Namun, kakinya terasa berat. Ia tetap diam di tempat, terjebak dalam ketidakberdayaan yang menyakitkan.

Di sisi lain, Ning terus berlari, seolah ingin melarikan diri dari semua ketakutan yang membelenggunya. Dadanya naik turun, rasa cemas mencengkeram pikirannya. Bagaimana jika Ayah tahu? Apa yang akan terjadi padaku? Pada Kinan?

Sesampainya di rumah, Ning hampir menerjang pintu, membukanya dengan cepat, lalu menutupnya rapat-rapat. Napasnya tersengal saat ia bersandar di pintu, berharap bisa menghindari badai kemarahan yang akan segera datang.

*****

Di taman sekolah, Karta berjalan mendekati Kinan dengan langkah berat. Wajahnya penuh amarah, sorot matanya tajam, seperti hendak menembus hati Kinan.

“Kamu! Kinan!” suara Karta menggema, penuh kemarahan yang menekan udara di sekitarnya. “Aku tidak setuju dengan hubungan kamu dengan Ning! Kamu harus berhenti sekarang juga!”

Kinan menelan ludah, mencoba tetap tenang meskipun detak jantungnya berpacu. Ia menatap Karta dengan mata penuh keyakinan. “Pak Karta, saya mengerti bahwa Anda khawatir… tapi hubungan saya dengan Ning dibangun atas dasar cinta dan rasa saling menghormati. Kami tidak pernah melakukan hal yang melanggar moral.”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *