Cerpen  

Ning 4 : Kinanda

Avatar photo

Tapi Karta tidak peduli. Ia mengibaskan tangannya dengan kasar, seolah kata-kata Kinan hanyalah angin lalu. “Aku tidak peduli! Yang aku tahu, kalian masih terlalu muda untuk ini! Kalian seharusnya fokus pada studi, bukan menghabiskan waktu dengan cinta-cintaan!” teriaknya, suaranya menggema di sekitar taman yang mulai sepi.

Kinan membuka mulut, ingin membela diri, ingin menjelaskan lebih banyak. Tapi sia-sia. Karta sudah menutup telinganya. Dengan nada yang lebih tegas, ia menatap Kinan lurus-lurus.

“Aku ingin kamu berjanji tidak akan bertemu dengan Ning lagi,” katanya dingin, nyaris seperti perintah yang tak bisa dibantah.

Kinan terdiam. Hatnya bergetar hebat, tapi ia tidak bisa langsung menjawab.

Sementara itu, di rumah, pintu kamar Ning tiba-tiba terbuka dengan kasar, menghantam dinding dengan suara menggelegar.

“Ning! Kamu di dalam?!” teriakan Karta mengguncang udara, membuat jendela kamar bergetar.

Ning yang duduk di tempat tidurnya tersentak. Tubuhnya menegang, bibirnya bergetar. Ia tahu ini akan terjadi, tapi tetap saja, ia tidak siap.

“…Ayah…” suaranya serak, hampir tak terdengar, seperti daun kering yang terinjak.

Karta melangkah masuk dengan mata menyala penuh amarah. “Kamu harus menuruti aku, Ning! Kamu harus meninggalkan Kinan dan tidak pernah bertemu dengannya lagi! Kamu tidak boleh membangkang!” bentaknya, suaranya memukul udara seperti petir yang menyambar.

Ning menggeleng, air matanya jatuh begitu saja. Ia memeluk bantalnya erat, seolah itu satu-satunya perlindungan yang tersisa. “Ayah… aku tidak bisa…” bisiknya dengan suara bergetar. “Aku mencintai Kinan…”

Mata Karta semakin menyala. Ia mengangkat tangannya, menunjuk tepat ke wajah putrinya. “Tidak boleh! Kamu tidak tahu apa yang terbaik untukmu! Kamu harus mendengarkan aku!”

Baca Juga :  Ning 5: "Tuhan, Nanti Dimana?"

Ning menangis tersedu, bahunya bergetar hebat.

Dalam kemarahannya, Karta meraih benda-benda di sekitarnya—buku, bingkai foto—lalu melemparkannya ke lantai. Suara pecahan kaca mengiris udara, menggema di ruangan yang terasa semakin sesak.

“Aku tidak akan membiarkanmu melawan aku!” suaranya meledak, membuat Ning semakin mengecil dalam ketakutan.

Air mata Ning terus mengalir. Hatinya terasa terjepit dalam genggaman yang begitu kuat, seperti bunga yang terinjak tanpa ampun.

Di luar kamar, malam mulai menyelimuti dunia. Tapi di dalam ruangan itu, badai belum juga reda.

Ning hanya bisa menangis tersedu, tubuhnya bergetar hebat saat ia memeluk bantalnya erat-erat, seolah itu satu-satunya perlindungan yang tersisa. Ia menggoyangkan kepalanya, mencoba menolak kenyataan pahit yang menimpanya. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukan, tidak tahu bagaimana caranya membuat ayahnya berhenti marah.

Di luar kamar, suara langkah cepat bergema di lantai kayu. Asmara, ibunya Ning, buru-buru menuju kamar putrinya dengan wajah penuh kecemasan. Saat ia membuka pintu, jantungnya mencelos melihat Karta berdiri di sana, wajahnya merah padam karena amarah, suaranya menggelegar memenuhi ruangan.

Tanpa ragu, Asmara langsung menghampiri suaminya dan mencoba menenangkannya. “Pak, tolong… jangan terlalu keras,” katanya dengan suara lembut, suaranya penuh kasih sayang yang berusaha meredakan bara di hati Karta. “Ning masih anak kita… dia masih kecil.”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *