Cerpen  

Ning 4 : Kinanda

Avatar photo

Karta berpaling, sorot matanya masih tajam, napasnya memburu. “Kamu tidak tahu apa yang terjadi, Asmara! Ning sudah berani menjalin hubungan dengan Kinan! Ia tidak mendengarkan aku!” bentaknya, suaranya kembali meninggi.

Asmara menelan ludah, lalu mengangguk pelan. Ia tahu amarah suaminya berasal dari kekhawatiran, dari rasa takut kehilangan putrinya. Dengan hati-hati, ia mencoba berbicara lebih lembut. “Aku tahu, Pak. Tapi kita tidak bisa memaksanya dengan cara seperti ini… Kita harus bicara baik-baik, bukan dengan teriakan dan ancaman.”

Karta terdiam. Dadanya naik turun, emosinya masih menggelegak. Tapi kata-kata Asmara menembus sesuatu di hatinya. Matanya beralih ke Ning yang masih tersedu di sudut tempat tidur. Perlahan, ia menghela napas dalam-dalam.

“Aku tidak ingin Ning terluka,” gumamnya, suaranya jauh lebih lembut dari sebelumnya. “Aku hanya ingin melindunginya…”

Di balik air matanya, Ning mengangkat wajah, menatap ayahnya dengan mata penuh kepedihan. Ia menggeleng pelan, lalu dengan suara yang hampir tak terdengar, ia berbisik, “Bapak… aku minta maaf… Aku tidak ingin membuat Bapak marah…”

Sementara itu, di luar rumah, Kinan berlari secepat yang ia bisa. Napasnya tersengal, dadanya terasa seperti dihantam ribuan pukulan ketakutan. Pikirannya kacau. Ia membayangkan wajah Ning yang ketakutan, suara tangisnya yang memecah malam.

“Apa yang terjadi padanya sekarang? Apakah Pak Karta melukainya?”

Hatinya dipenuhi rasa cemas dan cinta yang begitu dalam. Ia tahu risikonya jika datang ke rumah Ning. Ia tahu Karta tidak akan menerimanya begitu saja. Tapi itu tidak penting. Yang penting sekarang adalah Ning.

Baca Juga :  Ning 5: "Tuhan, Nanti Dimana?"

Sesampainya di depan rumah, Kinan berhenti sejenak. Ia mengatur napasnya, mencoba menenangkan diri meskipun jantungnya masih berdegup kencang. Ketakutan sempat menyelinap ke dalam dirinya, tapi ia menepisnya.

Tanpa berpikir lebih lama, ia mendorong pintu rumah Ning dan masuk.

Begitu masuk, pemandangan yang ia lihat menusuk hatinya. Ning terduduk di tempat tidurnya, wajahnya basah oleh air mata, tubuhnya gemetar ketakutan. Di depannya, Karta berdiri dengan tangan mengepal, wajahnya masih menyimpan kemarahan yang belum reda.

Tanpa ragu, Kinan melangkah mendekat.

“Pak Karta, tolong…” katanya dengan suara yang penuh ketulusan. “Jangan marah. Aku berjanji akan menjaga Ning, aku tidak akan membiarkan dia terluka…”

Matanya menatap penuh permohonan, berharap kata-katanya bisa mencapai hati pria itu.

Namun, Karta malah semakin berang. Ia berbalik, menatap Kinan dengan tatapan penuh amarah. “Kamu!” suaranya menggema, menusuk udara seperti bilah pisau. “Kamu yang membuat Ning terluka! Kamu tidak boleh datang ke sini lagi!”

Sebelum Kinan sempat menjawab, Karta melayangkan pukulan keras ke wajahnya.

Dugg!

Kinan tersentak, tubuhnya sedikit goyah. Namun, ia tidak melawan. Ia hanya berdiri diam, menerima setiap pukulan yang mendarat di tubuhnya.

Dugg! Dugg!

Darah mulai mengalir dari sudut bibirnya, tapi Kinan tetap diam. Bukan karena ia tidak mampu membalas, tapi karena ia tidak ingin memperburuk keadaan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *