Olahraga di Pulo Bawah: Mimpi yang Terus Tertunda

Avatar photo

Cerita ini datang dari Pulo Bawah, gugusan pulau kecil yang dikepung laut biru dan ombak yang tak kenal lelah. Negeri yang katanya bagian dari ibu kota, tapi fasilitasnya jauh dari gemerlap Jakarta. Di daratan sana, stadion megah berdiri, lapangan hijau membentang, dan anak-anak berlatih dengan pelatih profesional. Tapi di sini? Sepasang sandal bekas bisa jadi gawang, dan debu jalanan adalah sahabat sejati. Jangan terlalu serius, ini cuma kelakar. Tapi kalau terasa menohok, mungkin karena ada yang pas.

Di Pulo Bawah, olahraga bukan sekadar hiburan, tapi perjuangan.
Bukan melawan lawan di lapangan, tapi melawan keadaan.

Mau main bola? Cari tanah lapang dulu, kalau tak ada, jalanan pun jadi arena.
Mau voli? Tiang boleh ada, tapi netnya? Hanya imajinasi yang melengkapi.
Mau renang? Laut memang luas, tapi orang tua lebih takut anaknya terseret arus ketimbang jadi juara.
Mau lari pagi? Pastikan dulu jalanan tak dipenuhi genangan dan lubang.

Tak perlu bermimpi tentang stadion, cukup lapangan dengan tanah rata saja sudah dianggap kemewahan.

Bakat yang Tak Punya Tempat

Bukan berarti anak-anak Pulo Bawah tak punya semangat. Mereka lincah menggiring bola di gang sempit, sigap melompat untuk smash di lapangan seadanya, dan gesit berenang mengejar perahu ayahnya yang baru pulang melaut.

Tapi bakat tanpa wadah, seperti ikan tanpa laut.

Di daratan, anak-anak seusia mereka punya klub, punya pelatih, punya turnamen.
Di sini, bakat hanya tumbuh sekadarnya, lalu pelan-pelan tenggelam, tak pernah sampai ke permukaan.

Baca Juga :  Kapal Penghubung Saja Susah!

Pernah ada yang mencoba membawa anak-anak ini ke kejuaraan, tapi terbentur dana.
Ada yang ingin berlatih lebih serius, tapi tak ada fasilitas dan bimbingan.
Ada yang bercita-cita jadi atlet, tapi akhirnya memilih membantu orang tua di laut, karena hidup lebih butuh makan daripada medali.

Janji yang Berlayar Entah ke Mana

Dulu, ada yang berkata:
💬 “Kami akan membangun lapangan yang layak.”
💬 “Akan ada pembinaan atlet dari kepulauan.”
💬 “Anak-anak di pulau berhak atas fasilitas yang sama.”

Tapi kenyataannya?

Lapangan? Masih sama, atau malah semakin rusak.
Pelatih? Datang sesekali, lalu hilang entah ke mana.
Turnamen? Ada, tapi lebih sering jadi ajang politik dibanding olahraga.

Dan anak-anak Pulo Bawah? Mereka tetap bermain bola plastik di jalanan, tetap berenang di laut tanpa pelatih, tetap bermimpi di antara keterbatasan.

Olahraga atau Sekadar Hiburan Musiman?

Tak ada yang salah dengan olahraga. Tapi kalau fasilitasnya minim, dukungannya setengah hati, dan bakat dibiarkan menguap bersama angin laut, lalu bagaimana mereka bisa bersaing?

📌 Mau sampai kapan anak-anak Pulo Bawah hanya jadi penonton, sementara yang lain sudah berlaga di panggung nasional?

“Tapi ya sudahlah, ini kan cuma kelakar. Kelakar Orang Pulo. Kalau ada yang merasa, ya silakan direnungkan. Kalau tidak, anggap saja angin laut yang lewat.”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *