Kisah  

Ombak Takdir di Pulau Kelapa

Bab 1

Avatar photo

Saga hanya bisa mengangguk, sementara kapal layar mereka terus melaju menuju kehidupan barunya di Tanjung Pasir.

Langkah Pertama di Tanjung Pasir

Kapal layar besar yang membawa Saga akhirnya merapat di tepian pantai berpasir putih. Di kejauhan, desa Tanjung Pasir terlihat ramai dengan aktivitas penduduknya. Rumah-rumah panggung berjejer rapi di sepanjang tepi sungai, dengan perahu-perahu kecil berlabuh di dermaga kayu sederhana. Udara di sini lebih segar, berbeda dari Pulau Kelapa yang lebih sering diterpa angin laut terbuka.

Sulaiman menepuk bahu Saga. “Selamat datang di Tanjung Pasir, Nak. Mulai sekarang, tempat ini adalah rumahmu.”

Saga menatap desa itu dengan perasaan campur aduk. Ia masih belum mengingat siapa dirinya, tetapi hatinya mengatakan bahwa ia harus menerima kenyataan ini—setidaknya untuk sementara.

Saat turun dari kapal, seorang perempuan berkerudung dengan wajah manis menyambut mereka di dermaga. Dia membawa bakul kecil berisi makanan dan senyumnya lembut, penuh kehangatan.

“Ayah, kau pulang lebih cepat kali ini,” ucap gadis itu.

Sulaiman tersenyum. “Rahmah, ini anak yang kutemukan di pantai. Namanya Saga. Ia akan tinggal bersama kita.”

Rahmah menatap Saga dengan rasa ingin tahu, lalu tersenyum. “Selamat datang di rumah kami, Kakak.”

Di belakang Rahmah, seorang wanita setengah baya dengan wajah keibuan mendekat. Dialah Hasanah, istri Sulaiman.

“Kasihan anak ini, pasti sudah banyak menderita,” ujar Hasanah sambil menatap Saga dengan penuh belas kasih. “Ayo, Nak, masuk ke rumah. Kau pasti kelaparan.”

Saga hanya bisa mengangguk dan mengikuti mereka. Rumah Sulaiman ternyata cukup besar dibanding rumah-rumah lain di desa. Tidak hanya sebagai tempat tinggal, rumah ini juga menjadi tempat belajar bagi para murid Sulaiman yang ingin mendalami ilmu agama dan bela diri.

Saat Saga memasuki halaman, matanya menangkap dua orang pemuda yang sedang berlatih silat di tanah lapang. Salah satunya tampak lebih tua dengan tatapan penuh rasa percaya diri. Dia adalah Zainudin, murid utama Sulaiman. Sementara yang satunya lagi seorang anak muda yang lebih kecil, dengan wajah selalu tersenyum dan tatapan polos. Dia adalah Gandi, murid Sulaiman yang terkenal sedikit aneh tetapi berbakat.

Zainudin menatap Saga dengan tajam. “Siapa dia, Guru? Kenapa dibawa ke sini?”

Sulaiman menjawab tenang, “Dia akan tinggal di sini dan belajar bersama kalian.”

Zainudin mendengus, lalu menatap Saga dari ujung kepala hingga kaki. “Jangan harap kau bisa mudah diterima di sini. Kau harus bekerja keras untuk membuktikan dirimu.”

Saga hanya diam. Ia bisa merasakan sikap tidak bersahabat dari Zainudin, tetapi ia memilih untuk tidak menanggapinya.

Sebaliknya, Gandi malah tersenyum lebar dan mendekat. “Hai! Namaku Gandi. Aku rasa kita akan jadi teman baik!”

Saga mengangguk. Entah kenapa, dia merasa nyaman dengan pemuda satu ini.

Hari-hari berikutnya tidak mudah bagi Saga. Ia diberikan tugas-tugas berat seperti membersihkan halaman, mengisi air kolam, dan membantu di dapur. Zainudin sering kali menyuruhnya melakukan pekerjaan lebih banyak dari yang seharusnya, tapi Saga tidak pernah mengeluh.

Respon (2)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *