Saga dan Gandi menerima tawaran Amirudin dan mengikuti dia ke rumahnya. Setelah mereka duduk, Amirudin mulai bercerita dengan wajah yang serius. “Kami memiliki masalah besar di sini. Ada seorang perampok yang berada di Pulau Onrust. Dia dan anak buahnya telah membuat kami menderita selama bertahun-tahun.”
Amirudin berhenti sejenak, kemudian melanjutkan dengan suara yang penuh dengan kesedihan. “Mereka memeras kami, memaksa kami membayar upeti kepada mereka. Mereka juga telah mengambil banyak harta benda kami, bahkan anak-anak kami.” Amirudin menunduk, tidak bisa melanjutkan karena terharu.
Saga dan Gandi mendengarkan cerita Amirudin dengan wajah yang serius, mata mereka memandang Amirudin dengan penuh empati. Mereka tidak bisa membayangkan betapa menderitanya warga di sini. Mereka saling menatap, dan Saga mengangguk dengan pelan, menunjukkan bahwa dia siap untuk membantu.
Saat senja mulai menyapa, suasana di luar rumah Amirudin mulai berubah. Warna oranye memancar di langit, dan warga yang masih menunggu di luar rumah Amirudin mulai berbisik-bisik. Mereka penasaran dengan Saga dan ingin tahu lebih banyak tentangnya.
Saga mengangguk sopan. “Oh, saya minta maaf, Pak Amirudin. Saya tidak tahu siapa Bapak sebelumnya.” Dengan demikian, Saga menunjukkan sikap yang hormat dan sopan kepada Amirudin.
Amirudin tersenyum ramah. “Tidak apa-apa, anak muda. Saya ingin tahu, apa tujuanmu ke pulau kami?” Amirudin menunjukkan minat yang besar terhadap tujuan Saga, dan matanya bersinar dengan rasa penasaran.
Namun, Amirudin terkejut saat mendengar bahwa Saga adalah utusan Sultan Demak. “Benar-benar…?” katanya dengan nada yang tidak percaya, matanya memandang Saga dengan penuh keheranan. Amirudin tidak bisa membayangkan bahwa pemuda berusia tidak lebih dari 17 tahun dengan pakaian sederhana seperti itu adalah utusan dari kesultanan yang berkuasa.
Saga mengangguk dengan sopan. “Ya, Pak Amirudin. Saya mendapat tugas dari Sultan Demak untuk membantu menyelesaikan masalah di pulau-pulau penduduk di Kepulauan Seribu.” Saga menjelaskan tujuannya dengan jelas dan sopan, tanpa sedikit pun kesombongan.
Amirudin memandang Saga dengan mata yang lebar, seperti tidak percaya apa yang dia dengar. “Subhanallah…,” katanya dengan nada yang kagum, mengungkapkan kekagumannya terhadap Saga.
Gandi masih tersenyum saat menimpali dan sedikit melebih-lebihkan kemampuan Saga. “Ah, Pak Amirudin, kamu tidak tahu siapa Saga sebenarnya. Dia bukan hanya utusan Sultan Demak, tapi juga seorang ahli ilmu agama, pencak silat, dan ilmu kebatinan yang sangat hebat.” Gandi menunjukkan kebanggaan terhadap kemampuan Saga dengan nada yang penuh semangat.
Amirudin memandang Gandi dengan mata yang penasaran, seolah ingin memastikan kebenaran kata-kata Gandi. “Benar-benar? Kamu tidak berbohong, kan?” Amirudin menunjukkan keraguan terhadap kemampuan Saga dengan nada yang sedikit skeptis.
Gandi mengangguk dengan serius, menegaskan bahwa kata-katanya bukanlah kebohongan. “Tidak, Pak Amirudin. Saya tidak berbohong. Saga memiliki kemampuan yang sangat luar biasa. Dia dapat mengalahkan lawan-lawannya dengan mudah, dan juga memiliki pengetahuan yang sangat luas tentang ilmu agama dan kebatinan.” Gandi menjelaskan kemampuan Saga dengan detail dan penuh keyakinan.