Cerita ini datang dari Pulo Bawah, negeri di atas laut yang katanya penuh peluang. Negeri di mana rezeki bisa diraih, asal punya koneksi yang baik—atau sedikit upeti kalau perlu. Jangan terlalu serius, ini cuma kelakar. Tapi kalau terasa menohok, mungkin karena ada yang pas.
Di Pulo Bawah, pekerjaan memang ada.
Tapi jangan salah, jangan berharap lebih.
Karena alih-alih seleksi berdasarkan kemampuan, yang terjadi lebih mirip audisi kedekatan.
📌 Punya kenalan? Lolos lebih cepat.
📌 Ada “pelicin”? Urusan lancar.
📌 Percaya murni lewat seleksi? Bisa… tapi butuh doa ekstra.
📌 Gagal? Mungkin karena kurang “modal” di awal.
Bersaing atau Berstrategi?
Lucu, bukan?
Lowongan ada, tapi yang dapat sudah lebih dulu disiapkan.
Tes ada, tapi hasilnya bisa berubah sesuai keadaan.
Warga yang butuh kerja harus bersaing, tapi bukan soal skill—melainkan soal “siapa kenal siapa.”
Ada yang percaya seleksi itu adil.
Ada juga yang diam-diam “menyampaikan niat baik” biar nama tak terhapus di daftar akhir.
📌 Kalau begitu, ini sebenarnya kompetisi atau sekadar formalitas?
Janji yang Terdampar di Pinggir Dermaga
Dulu, ada banyak janji untuk Pulo Bawah.
Katanya:
💬 “Kesempatan kerja akan terbuka luas untuk warga.”
💬 “Seleksi akan transparan dan adil.”
💬 “Tak ada yang akan diprioritaskan selain mereka yang memenuhi syarat.”
Tapi kenyataannya?
Seleksi tetap ada, tapi yang terpilih sudah bisa ditebak.
Peluang kerja tetap ada, tapi aksesnya hanya untuk mereka yang tahu jalur tikus.
Warga tetap butuh pekerjaan, tapi jalannya tak selalu terbuka lebar.
Jadi siapa yang benar-benar diberi kesempatan?
Dan siapa yang hanya bisa berharap dari jauh?
Kerja Keras, atau Kerja Pintar (Baca: Lobi-Lobi)?
Tak ada yang salah dengan mencari pekerjaan. Tapi kalau prosesnya lebih banyak “aturan tak tertulis,” lalu di mana keadilannya?
📌 Mau sampai kapan Pulo Bawah melihat pekerjaan sebagai rezeki bagi mereka yang punya koneksi, sementara yang lain hanya bisa menunggu?
“Tapi ya sudahlah, ini kan cuma kelakar. Kelakar Orang Pulo. Kalau ada yang merasa, ya silakan direnungkan. Kalau tidak, anggap saja angin laut yang lewat.”