“Semua karakter, peristiwa, dan lokasi dalam kisah ini adalah fiksi dan tidak memiliki hubungan dengan kejadian nyata. Penulis berharap pembaca menikmati kisah ini sebagai hiburan semata dan tidak menganggapnya sebagai fakta sejarah.”
Bab 8: Niat Jahanam Murid Durhaka
Di dalam sebuah pondok kecil yang tersembunyi di tengah hutan lebat, dua sosok duduk berhadapan. Lampu minyak yang tergantung di atas mereka memancarkan cahaya redup, menciptakan bayangan panjang dan misterius di dinding bambu.
Saung Galing menatap Pratiwi dengan wajah memerah, tangannya mengepal erat. “Tidak mungkin, Pratiwi! Kita tidak mungkin membunuh guru!” suaranya menggelegar, memecah keheningan hutan yang menyelimuti mereka.
Pratiwi, perempuan berwajah tirus dengan riasan mencolok, hanya tersenyum sinis. “Apa kakang akan terus diam saja, meski tahu siapa pembunuh ayahandamu?” Nada suaranya pelan, tapi tajam seperti bilah belati.
Saung Galing terdiam. Dada bidangnya naik turun, dadanya bergemuruh dalam dilema. Bara amarah dalam hatinya mulai menyala, tapi masih tertahan oleh sisa-sisa keraguan.
Pratiwi melanjutkan dengan suara berbisik, “Ini kesempatan kita. Guru sedang lemah. Aku, kakang, dan kakang Mahesa… jika kita bekerja sama, aku yakin kita bisa menumbangkannya!”
Intan Pratiwi—murid ketiga Ki Jaga Baya—adalah perempuan ambisius yang merasa dikhianati. Hatinya membara saat Ki Jaga Baya tidak memilihnya sebagai pewaris Cincin Genta Buana.
Dari luar pondok, suara serangga malam terdengar semakin nyaring, seolah turut menjadi saksi bisu percakapan gelap itu. Angin dingin menyusup di antara celah-celah dinding bambu, menggoyangkan dedaunan di luar, seolah ikut berbisik mengintai niat jahat mereka.
Saung Galing bangkit berdiri, tubuh gempalnya tegang. Wajahnya yang keras tampak diliputi pertarungan batin. Beberapa kali ia menarik napas dalam-dalam, seakan mencoba menenangkan badai di dadanya.
“Kakang bingung, Pratiwi,” desahnya berat. “Satu sisi, guru adalah orang yang merawat dan mengasuhku sejak kecil. Tapi di sisi lain… dia adalah pembunuh orang tuaku! Kakang benar-benar bingung…”
Pratiwi mendekat, menatapnya dengan sorot penuh kelicikan. “Sudahlah, kakang. Guru merawatmu hanya agar kau tak menuntut balas. Itu caranya mengikatmu dalam utang budi. Tapi kau tak bisa lari dari kenyataan. Aku sendiri mendengar dengan telinga ini, bagaimana ayahandamu dibunuh olehnya tanpa alasan!”
Saung Galing mengalihkan pandangannya, giginya bergemeletuk menahan emosi. “Baik,” katanya akhirnya, “Lalu bagaimana caranya? Meski dibantu kakang Mahesa, kita belum tentu mampu menghadapinya.”
Pratiwi tersenyum puas. Dari balik selendangnya, ia mengeluarkan sebuah botol kecil berwarna hitam pekat, terbungkus anyaman lontar tebal. Ia meletakkannya di atas meja dengan hati-hati.
“Inilah caranya,” bisiknya. “Racun Kelabang Geni. Aku mendapatkannya dari Nyai Kelabang Geni sendiri. Satu tetes saja cukup untuk melumpuhkan harimau.”
Saung Galing menatap botol itu dengan ekspresi bercampur aduk—ragu, marah, dan terperangkap dalam pusaran dendam.