Kisah  

Sagara Sang Panglima Samudera : Niat Jahanam Murid Durhaka

Bab 8

Avatar photo

Sementara itu, di dalam hatinya, Pratiwi membatin dengan penuh kebencian.

“Kesalahanmu, tua bangka Jaga Baya! Engkau pilih kasih. Aku murid yang lebih tua, tapi mengapa Mayang Sari yang kau angkat sebagai pewaris Cincin Genta Buana?!”

*****

Bidadari Berselendang Emas

Seorang wanita cantik berpakaian kuning keemasan memacu kuda tunggangannya dengan kecepatan penuh. Selendang sutera emas yang melilit tubuhnya berkibar tertiup angin, mengikuti gerakan lincah kuda coklat tua yang berpacu di jalan berdebu.

“Hiyaaa! Hiyaaa! Lebih cepat, Lana!” serunya, menepuk leher kuda kesayangannya, Kudalana.

Debu berterbangan di udara, tetapi wanita itu tak peduli. Wajahnya dipenuhi kecemasan. Ia baru saja melihat penglihatan dari Cincin Genta Buana, dan apa yang dilihatnya membuat darahnya berdesir ketakutan.

“Aku harus tiba sebelum semuanya terlambat! Guru… aku harus menyelamatkan guru!” gumamnya dalam hati.

Dialah Ratu Mayangsari, murid kesayangan Ki Jaga Baya—sang Bidadari Berselendang Emas.

Sementara itu, di tempat lain…

Di dalam sebuah pondok tua yang dikepung pepohonan lebat, tiga murid Ki Jaga Baya tengah tenggelam dalam perdebatan panas. Mahesa Rana, murid tertua, mencoba menahan adik-adiknya agar tak terjerumus dalam rencana pengkhianatan.

“Tidak, Adi Pratiwi, Adi Saung Galing!” suara Mahesa Rana bergetar. “Ini bukan jalan yang benar! Membunuh guru sendiri… itu bukanlah kehormatan seorang pendekar!”

Namun, Intan Pratiwi hanya tersenyum sinis.

“Kakang terlalu naif,” katanya, nada suaranya licik. “Guru itu tidak pernah menganggap kita! Baginya hanya Mayang Sari yang berharga! Kakang harus sadar, inilah saatnya kita menyingkirkannya!”

“Iya, kakang!” timpal Saung Galing, matanya menyala penuh dendam. “Tua bangka itu bukan malaikat! Dia iblis yang membunuh ayahandaku! Aku harus membalasnya!”

Mahesa Rana menggertakkan gigi. Hatinya terombang-ambing antara kesetiaan dan kekecewaan.

“Aku… aku masih ragu… Apakah ini keputusan yang terbaik?” tanyanya lirih.

Saung Galing mendekat, menatapnya dengan tajam. “Kakang, apa kakang tidak sakit hati? Guru membiarkan Mayang Sari dipersunting orang lain, padahal kakang sangat mencintainya!”

Mahesa Rana terhenyak. Perasaannya yang selama ini ia pendam, tiba-tiba mencuat ke permukaan.

“Dan jangan lupa, kakang…” suara Intan Pratiwi makin lembut, namun beracun. “Setelah Jaga Baya mati, Cimeti Bondoyono dan Kitab Tapak Naga Samudera akan menjadi milikmu, dan perguruan ini akan menjadi milikmu…”

Intan Pratiwi melangkah mendekat, tangannya mengusap perutnya perlahan. “Satu lagi, kakang… Aku akan mendampingimu hingga tua. Dan… kita akan membesarkan janin yang ada dalam kandunganku ini…”

Mahesa Rana tersentak. Wajahnya mendadak pucat.

“Adi Pratiwi, hentikan ucapanmu!” katanya tajam. “Soal itu… jangan diumbar sembarangan. Aku sudah berjanji… dan aku pasti akan bertanggung jawab atasmu!”

Namun, Pratiwi hanya tersenyum licik. “Tapi, kakang… Ini bukan hanya tentang kita. Ini tentang masa depan. Tentang guru yang harus kita singkirkan…”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *