Kisah  

Sagara Sang Panglima Samudera : Ombak Takdir di Pulau Kelapa

Bab 1

Avatar photo

“Semua karakter, peristiwa, dan lokasi dalam kisah ini adalah fiksi dan tidak memiliki hubungan dengan kejadian nyata. Penulis berharap pembaca menikmati kisah ini sebagai hiburan semata dan tidak menganggapnya sebagai fakta sejarah.”

 

Bab 1: Ombak Takdir di Pulau Kelapa

Matahari mulai tenggelam di ufuk barat, mewarnai langit Pulau Kelapa dengan semburat jingga keemasan. Di tepi dermaga kayu yang sederhana, Sagara Ahmad—atau biasa dipanggil Saga—duduk termenung, kakinya menggantung di atas air laut yang tenang. Angin laut menerpa wajahnya, membawa aroma asin yang sudah akrab di hidungnya sejak kecil.

“Saga! Ayahmu sudah siap berangkat!” seru seorang laki-laki paruh baya dari kejauhan. Itu adalah Bapak Zaelani, seorang nelayan tangguh yang setiap hari mengarungi lautan demi menghidupi keluarganya.

Saga bangkit, menepuk celana pendeknya yang berdebu. “Baik, Pak!” Ia melangkah cepat menuju perahu kecil yang sudah siap berlayar.

Namun sebelum sempat menaiki perahu, suara yang tak asing lagi menyelusup ke telinganya. “Hei, anak nelayan miskin! Jangan sampai perahumu tenggelam nanti!”

Saga menoleh dan mendapati Iqbal, anak seorang saudagar kaya di Pulau Kelapa, bersama dua orang temannya yang selalu mengikutinya ke mana pun. Mereka tertawa sinis, mengejek tanpa rasa belas kasihan.

Saga hanya menghela napas, menahan amarah. Bukan pertama kalinya ia menerima perlakuan seperti ini dari Iqbal. Sejak kecil, mereka sering berselisih. Bukan karena Saga memulai, tapi karena Iqbal selalu iri padanya. Meski hidup sederhana, Saga selalu dikelilingi oleh orang-orang yang menyayanginya, berbeda dengan Iqbal yang kesepian meski memiliki segalanya.

“Ayo, Saga. Biarkan saja mereka,” suara lembut Fatimah menenangkannya. Gadis itu adalah teman masa kecilnya, seseorang yang selalu ada di sisinya. Di sampingnya berdiri Rahman, yang akrab dipanggil Gusdur, sahabat setianya.

“Kalau saja dia mau merasakan sekali saja hidup sebagai nelayan, mungkin dia nggak akan sombong begitu,” gumam Rahman sambil melipat tangannya di dada.

Saga tersenyum kecil. “Sudahlah, yang penting kita tetap jadi diri kita sendiri.”

Tak ingin membuang waktu, ia segera naik ke perahu bersama ayahnya. Malam ini, mereka akan pergi memancing di perairan dekat Pulau Sebaru. Lokasinya cukup jauh, tapi hasil tangkapannya selalu memuaskan.

Namun, mereka tak pernah menyangka bahwa perjalanan ini akan menjadi awal dari petualangan yang mengubah takdir Saga selamanya.

Di tengah lautan yang gelap, tiba-tiba badai datang tanpa peringatan. Ombak menggila, menghantam perahu kecil mereka hingga oleng. Saga berusaha keras mempertahankan keseimbangannya, tapi angin kencang membuat segalanya kacau.

“Saga! Pegang tali ini!” teriak ayahnya di tengah deru ombak.

Tapi terlambat.

Sebuah gelombang besar menghantam perahu, membuatnya terlempar ke laut. Saga hanya sempat mendengar teriakan ayahnya sebelum kesadarannya menghilang, tenggelam dalam kegelapan samudra.

Ketika ia membuka mata, ia tidak lagi berada di tempat yang sama. Ia terbaring di tepi pantai dengan tubuh lemah, pasir putih menyelimuti sebagian wajahnya. Namun, ada sesuatu yang lebih aneh dari sekadar terdampar di pantai asing ini.

Respon (2)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *