Sesaat sebelum ia benar-benar kehilangan kesadaran, sinar keemasan turun dari langit dan menyelimuti tubuhnya. Cahaya itu terasa hangat, mengalir ke seluruh nadinya, seolah mengisi dirinya dengan sesuatu yang tidak ia pahami.
Di kejauhan, di atas sebuah kapal layar besar yang berlabuh tak jauh dari pantai, seorang pria setengah baya menyaksikan kejadian itu dengan mata terbelalak. Ia adalah Sulaiman, juru mudi kapal perang milik Kesultanan Demak.
“Apa yang baru saja terjadi?” gumamnya dalam hati.
Tanpa berpikir panjang, Sulaiman turun dari kapal dan bergegas ke sumber cahaya itu. Sesampainya di sana, ia menemukan seorang pemuda tergeletak tak sadarkan diri di pasir.
Ia berjongkok, menepuk pipi pemuda itu dengan lembut. “Nak, kau baik-baik saja?”
Saga membuka matanya perlahan, pandangannya masih buram. Kepalanya berdenyut hebat, seolah ada sesuatu yang mengganjal di dalam pikirannya. Ia mengerang pelan dan mencoba duduk, tetapi tubuhnya terasa sangat lemah.
Sulaiman memperhatikannya dengan saksama. “Siapa namamu? Dari mana asalmu?”
Saga mengerjap, mencoba mengingat sesuatu—apa saja. Tapi kepalanya kosong.
“Aku… aku tidak tahu…” gumamnya lirih. “Aku lupa…”
Sulaiman mengerutkan kening. “Lupa? Kau bahkan tidak ingat namamu?”
Saga menatap pasir di bawahnya, kebingungan. Namun, di dalam benaknya yang kacau, sebuah pertanyaan muncul begitu saja.
Di mana aku sekarang?
Ia menatap pria di depannya, memperhatikan pakaiannya yang tampak asing. Potongan kainnya berbeda, warnanya lebih kusam, dan desainnya seperti pakaian dari masa lalu.
Apakah ini masih tahun 1997? pikirnya dalam hati.
Sulaiman menatap pemuda itu dalam-dalam. Ada sesuatu yang aneh dari caranya berbicara, dari ekspresi kebingungannya. Seolah ia berasal dari tempat—atau bahkan waktu—yang berbeda.
Dalam kondisi masih lemas, Saga dibantu naik ke atas kapal oleh Sulaiman dan beberapa awak kapal lainnya. Selama perjalanan menuju desa Tanjung Pasir, ia dirawat dengan baik oleh Sulaiman dan anak buahnya. Mereka memberikan makanan dan obat-obatan herbal untuk memulihkan tenaganya.
Dibutuhkan dua minggu untuk mencapai Tanjung Pasir, karena kapal layar mereka harus menyesuaikan arah angin dan menghindari badai di tengah laut. Selama tiga hari pertama, Saga lebih banyak tidur, tubuhnya masih terasa lemah akibat kejadian di laut. Namun, setelah perawatan yang telaten, ia mulai bangkit dan berangsur sehat.
Saat Saga mulai pulih, ia sering duduk di buritan kapal, menatap hamparan laut luas dengan perasaan campur aduk. Ada sesuatu yang terus mengganjal di pikirannya—perasaan bahwa ia tidak berasal dari sini, tetapi ia juga tidak tahu bagaimana cara kembali.
Sulaiman, yang telah memperhatikannya selama perjalanan, akhirnya duduk di sampingnya. “Anak muda, kau sepertinya memikirkan banyak hal. Apa kau benar-benar tidak ingat siapa dirimu?”
Saga menunduk. “Aku hanya merasa… aku berasal dari tempat yang jauh. Tapi aku tak tahu bagaimana aku bisa sampai di sini.”
Sulaiman tersenyum bijak. “Mungkin takdir telah membawamu ke tempat ini. Dan takdir pula yang akan menunjukkan jalanmu kelak.”
Cerita yang luar biasa!
Terima kasih, semoga anda terhibur 🙏