Sosok  

Semangat Tak Tergantikan, Itu Sepenggal Kisah Wak Sa’at

Avatar photo
Wak Saat dan Gerobak Kecilnya.
Wak Saat dan Gerobak Kecilnya.

Dia bernama Sa’at, atau kita sebut saja dia Wak Sa’at. Usianya kini sudah 65 tahun, dengan tubuh yang telah tergerus waktu, namun semangatnya tetap membara. Di bawah terik matahari Pulau Pramuka, ia tetap setia menapaki jalan, menyusuri tempat sampah yang ditemuinya di sepanjang perjalanan.

Kadang ia tersenyum, kadang ia mengusap dahi. Ia tersenyum jika menemukan beberapa botol atau gelas bekas minuman kemasan plastik—harta kecil yang bisa ia tukarkan dengan rupiah. Namun, ia mengusap dahi saat yang tersisa hanya sisa makanan dan kotoran, menghadirkan bau menyengat yang membuatnya harus menahan napas.

Dengan gerobak kecilnya, Wak Sa’at seakan tak pernah lelah mengukur jalan demi mencari sesuatu yang, meski hanya bernilai beberapa lembaran kumal rupiah, tetap ia syukuri. Usia renta tak menjadikannya menyerah pada kehidupan. Ia adalah lelaki yang memiliki kisah menakjubkan—sebuah perjalanan panjang yang penuh perjuangan.

“Selama saya masih dapat bergerak, saya akan gunakan badan ini untuk mencari rezeki yang disiapkan Allah. Saya lebih baik menjadi asongan daripada meminta-minta atau bergantung hidup pada anak-anak saya,” katanya sambil sesekali menghisap kretek yang sebelumnya saya berikan.

Lebih jauh, Wak Sa’at mengisahkan bahwa dirinya pernah dikaryakan sebagai penjaga pulau oleh Kementerian Kehutanan. Ia menjadi bagian dari personil pengamanan pulau-pulau lokasi konservasi biota laut di Kepulauan Seribu. “Tahun 1975, saya ditugaskan di Pulau Penjaliran, pulau ini masuk zona inti konservasi, tempat pengembangbiakan penyu,” katanya dengan mata menerawang ke masa lalu.

Di pulau itu, Wak Sa’at mengalami banyak hal. Dari kesendiriannya di sebuah pulau terpencil hingga bagaimana ia harus bertahan hidup dengan makan seadanya bila kiriman logistik terlambat dari Taman Nasional Kepulauan Seribu.

“Berapa Uwak dibayar saat itu?” tanya saya.

“Sebulan saya dibayar 20 ribu rupiah, itu tahun 1975,” sebutnya.

Saya berpikir sejenak, lalu tertawa. “Berarti kalau sekarang mungkin jumlahnya sama dengan 20 juta ya, Wak?” kelakar saya kepadanya.

Wak Sa’at menatap saya sejenak sebelum tertawa terpingkal-pingkal. “Ha… ha… ha! Bisa saja kamu ini! Kalau 20 ribu itu dalam bentuk dolar, mungkin benar!” candanya sambil mengusap matanya yang tampak berkaca-kaca—entah karena tawa, atau karena kenangan yang mendadak kembali mengalir dalam pikirannya.

Saya pun ikut tertawa. Sejenak, obrolan kami menjadi ringan dan penuh canda, meski saya tahu betapa berat perjalanan hidup yang telah ia lalui.

“Waktu itu saya masih sehat, bukan soal berapa saya dibayar, tapi saya bangga memakai seragam petugas pengamanan pulau konservasi,” jelasnya. “Saya ingin lingkungan pulau selalu lestari, dan itu untuk dinikmati anak cucu kita nanti.”

Saya semakin terperangah dengan kata-kata yang dilontarkannya. Wak Sa’at, yang kini hanya mengenakan kaos oblong kumal berwarna merah dengan tulisan samar “Ayo selamatkan lingkungan kita,” ternyata memiliki kisah perjuangan yang luar biasa.

“Itu zaman Presiden SBY, saya juga ada di saat Pak Salim menerima Kalpataru. Saya bersama dia mengawali pembibitan mangrove di Kepulauan Seribu, bahkan hasil pembibitan yang saya lakukan dijadikan contoh,” katanya dengan bangga, sebelum kembali menghisap kreteknya yang hampir habis.

Wak Sa’at mengingat kembali masa-masa dia sebagai penjaga pulau di Pulau Penjaliran. Tapi, apa yang terjadi ketika ia menemukan sesuatu yang tidak terduga di pulau tersebut? Tunggu lanjutan kisah Wak Sa’at di bagian berikutnya!

 

Bagaimana Anda menilai informasi ini? Berikan reaksi Anda!