Pemuda di Kepulauan Seribu menghadapi tantangan besar dalam menentukan arah masa depan mereka. Salah satu faktor utama yang membelenggu potensi mereka adalah keberadaan Pegawai Penyedia Jasa Lainnya Perorangan (PJLP). Program ini, yang awalnya dimaksudkan untuk membuka lapangan pekerjaan, justru menjadi jebakan kenyamanan yang membunuh kreativitas dan daya saing pemuda lokal.
Ketergantungan terhadap PJLP menciptakan budaya kerja yang monoton tanpa dorongan untuk berkembang. Banyak pemuda memilih menjadi tenaga honorer dengan harapan status mereka akan diangkat menjadi pegawai tetap. Akibatnya, mereka kehilangan semangat untuk mencari peluang lain yang lebih menantang dan produktif.
Lebih buruk lagi, sistem PJLP tidak memberikan pelatihan atau pengembangan keterampilan yang memadai. Para pemuda yang terjebak dalam sistem ini akhirnya hanya menjadi tenaga kerja administratif tanpa kompetensi spesifik yang dapat meningkatkan daya saing mereka di pasar kerja yang lebih luas.
Di sisi lain, sektor ekonomi lokal yang seharusnya menjadi ladang subur bagi kreativitas pemuda malah terabaikan. Potensi wisata, perikanan, dan kewirausahaan di Kepulauan Seribu belum tergarap maksimal karena sebagian besar tenaga kerja muda lebih memilih jalur PJLP yang dianggap lebih aman.
Tidak hanya itu, banyak dari mereka akhirnya kehilangan semangat untuk melanjutkan pendidikan tinggi atau mengikuti pelatihan kejuruan. Mereka merasa cukup dengan pendapatan tetap dari PJLP, meskipun nominalnya tidak cukup untuk membangun masa depan yang stabil.
Lebih parahnya, mekanisme rekrutmen PJLP kerap diwarnai praktik curang, seperti upeti dan setoran siluman. Banyak pemuda yang seharusnya memiliki potensi besar malah tersingkir karena sistem yang tidak transparan ini. Akibatnya, posisi dalam PJLP lebih sering diisi oleh mereka yang memiliki koneksi atau mampu membayar ‘harga’ yang diminta, bukan berdasarkan kompetensi atau kebutuhan riil.
Pemerintah seharusnya tidak sekadar menawarkan solusi instan berupa lapangan kerja sementara. Kebijakan yang lebih berorientasi pada peningkatan kapasitas pemuda harus segera diterapkan. Misalnya, program pelatihan keterampilan, pemberdayaan usaha kecil, serta beasiswa pendidikan tinggi bagi anak muda Kepulauan Seribu yang ingin berkembang.
Jika dibiarkan berlarut-larut, kondisi ini akan menciptakan generasi yang kehilangan daya saing. Kepulauan Seribu akan terus menjadi daerah dengan sumber daya manusia yang tertinggal karena pemudanya tidak dipersiapkan untuk bersaing di dunia kerja yang lebih luas.
Solusi yang bisa diterapkan adalah pengurangan kuota PJLP secara bertahap dan pengalihan anggaran ke program yang lebih produktif. Selain itu, harus ada insentif bagi mereka yang memilih jalur kewirausahaan atau sektor produktif lainnya, sehingga mereka tidak hanya bergantung pada status pegawai kontrak.
Kesadaran akan dampak negatif dari sistem PJLP ini harus ditanamkan sejak dini. Sekolah dan komunitas pemuda harus berperan aktif dalam memberikan pemahaman bahwa ketergantungan terhadap sistem kerja sementara ini bukanlah solusi jangka panjang untuk kesejahteraan.