Demam Berdarah Dengue (DBD) kembali mengancam, dan Kepulauan Seribu bukan pengecualian. Setiap tahun, saat musim hujan tiba, kasus DBD kerap meningkat. Sayangnya, respons yang diberikan sering kali hanya bersifat seremonial—fogging sesekali, kampanye sekadarnya, tanpa langkah yang benar-benar menyentuh akar masalah. Padahal, nyawa warga menjadi taruhannya. Penyakit ini bukan sekadar angka statistik, tetapi ancaman nyata yang bisa merenggut nyawa siapa saja, terutama anak-anak dan lansia.
DBD disebabkan oleh gigitan nyamuk Aedes aegypti yang berkembang biak di genangan air bersih. Di wilayah kepulauan seperti ini, banyaknya wadah air untuk kebutuhan sehari-hari menjadi tempat sempurna bagi nyamuk berkembang. Jika tidak ada kontrol ketat, maka wabah DBD akan terus berulang. Namun, alih-alih aksi konkret, yang sering terjadi adalah seremoni formalitas tanpa kesinambungan program pencegahan.

Menghadapi ancaman DBD, Kepulauan Seribu membutuhkan pendekatan lebih sistematis dan berkelanjutan. Fogging memang penting, tetapi bukan satu-satunya solusi. Yang lebih efektif adalah pemberdayaan warga agar memiliki kesadaran dan keterampilan dalam mencegah perkembangbiakan nyamuk.
Pemerintah setempat harus menggalakkan gerakan PSN (Pemberantasan Sarang Nyamuk) yang lebih serius. Tidak cukup hanya sosialisasi satu kali, tetapi harus menjadi kebiasaan yang terus menerus dilakukan oleh masyarakat. Sekolah, tempat ibadah, dan fasilitas umum lainnya perlu dilibatkan sebagai pusat edukasi. Jika masyarakat benar-benar memahami siklus hidup nyamuk dan cara mencegahnya, mereka bisa menjadi garda terdepan dalam memerangi DBD.
Selain itu, pemanfaatan teknologi juga bisa menjadi solusi. Misalnya, dengan membuat aplikasi laporan jentik nyamuk di lingkungan sekitar atau menggunakan sensor cerdas untuk memantau perkembangan nyamuk di daerah yang rentan. Pemerintah bisa menggandeng akademisi dan komunitas untuk menciptakan inovasi ini.