Opini  

Bijak Manfaatkan Tanaman Hidroponik: Ternyata Ada Risikonya Loh!

📷 Istimewa
📷 Istimewa

Hidroponik kini menjadi primadona baru dalam dunia pertanian modern, terutama di kawasan terbatas seperti Kepulauan Seribu. Di tengah himpitan ruang tanam, tantangan iklim pesisir, dan kesulitan transportasi bahan pangan, sistem tanam tanpa tanah ini tampil sebagai solusi praktis, murah, dan tampak bersih.

Banyak sekolah, komunitas, hingga instansi pemerintah mulai melirik dan mempraktikkan pertanian hidroponik sebagai jalan keluar krisis pangan lokal. Namun dalam euforia mengadopsi metode ini, satu hal sering terlupa: hidroponik juga menyimpan sisi gelap yang tak boleh diabaikan.

Secara teknis, hidroponik bekerja dengan menumbuhkan tanaman di media air yang sudah dicampur larutan nutrisi buatan. Tanpa tanah, akar tanaman langsung menyerap unsur hara. Efisiensinya tinggi, hasil panennya cepat, dan hemat air.

Namun justru di sinilah awal dari potensi bahaya. Dalam banyak kasus, larutan nutrisi tersebut berbahan kimia sintetis. Jika sistem pengelolaan tidak dijaga ketat, sisa residu nutrisi bisa tertinggal di daun dan batang tanaman. Risiko ini semakin tinggi bila sayuran dikonsumsi dalam keadaan mentah, seperti selada atau sawi hidroponik yang sering dijadikan lalapan.

Tak hanya itu, lingkungan hidroponik yang lembap, terutama di rumah tanam tertutup, sangat rentan menjadi tempat berkembangnya mikroorganisme berbahaya seperti Salmonella dan E. coli.

Studi yang dirilis oleh KlikDokter menunjukkan bahwa risiko infeksi saluran cerna dari produk hortikultura hidroponik meningkat jika tidak ada pengawasan sanitasi yang ketat. Hal ini menjadi sangat penting, mengingat banyak warga atau anak sekolah yang terlibat dalam proyek-proyek hidroponik tanpa pembekalan teknis yang memadai.

Inovasi Perlu Disertai Regulasi dan Literasi

Melihat potensi risiko ini, tentu bukan berarti kita harus menolak hidroponik. Justru sebaliknya, sistem ini patut didorong karena menjawab banyak tantangan zaman. Namun, hidroponik harus disertai edukasi, pengawasan, dan regulasi yang jelas.

Pemerintah Kabupaten Kepulauan Seribu bersama Suku Dinas Kesehatan dan Pertanian perlu menyusun standar teknis penggunaan nutrisi, sanitasi sistem, dan pelabelan hasil produksi. Termasuk mendorong pelatihan bagi pelaku hidroponik agar memahami cara menjaga kebersihan air, mencuci hasil panen dengan benar, serta mengetahui batas aman penggunaan larutan kimia.

Konsumen pun harus diajak lebih kritis. Label “hidroponik” sering diasosiasikan dengan “lebih sehat” atau “lebih organik”, padahal tidak selalu demikian. Jika residu kimia tertinggal atau ada kontaminasi mikroba, risikonya justru lebih tinggi dibanding tanaman konvensional yang dimasak.

Maka, mencuci bersih sayuran, memasaknya hingga matang (terutama untuk kelompok rentan seperti anak-anak dan lansia), serta memastikan sumber tanamannya terpercaya, adalah langkah preventif yang harus dibiasakan.

Upaya mendorong hidroponik yang sehat dan aman tidak cukup hanya mengandalkan komunitas atau sekolah. Perlu ada kolaborasi multipihak—pemerintah, masyarakat, swasta, hingga akademisi—untuk membentuk ekosistem hidroponik yang bukan hanya produktif, tetapi juga bertanggung jawab.

Sistem sertifikasi hasil hidroponik bisa jadi alternatif jangka panjang, di mana produsen yang memenuhi standar tertentu diberi pengakuan resmi, layaknya label pangan organik.

Jika dikelola dengan cerdas dan berhati-hati, hidroponik bisa menjadi masa depan pertanian kepulauan. Tapi jika hanya dijadikan proyek pencitraan tanpa fondasi teknis yang kuat, sistem ini justru bisa menghadirkan masalah baru—masalah kesehatan, keamanan pangan, dan kerusakan ekosistem mikro.

Kepulauan Seribu tidak butuh sekadar panen cepat, tapi juga keberlanjutan dan keselamatan konsumennya. Maka, bijaklah memanfaatkan hidroponik, karena yang terlihat hijau belum tentu sepenuhnya aman.

Bagaimana Anda menilai informasi ini? Berikan reaksi Anda!