Zainudin dan Sahrul Lebih Pilih Nelayan daripada Jadi PJLP atau PPSU, Kenapa?

Avatar photo
📷 Istimewa
📷 Istimewa

Pagi belum terbit sempurna saat Zainudin (32) menaikkan jaring dari buritan perahunya. Angin terasa berat dan matahari masih malu-malu di balik cakrawala. Ia bukan baru, bukan pula nelayan baru belajar. Zainudin adalah anak laut sejati, nelayan mayang, yang sejak lulus sekolah dua belas tahun lalu memilih membantu usaha orang tuanya di Pulau Kelapa Dua, Kecamatan Kepulauan Seribu Utara.

Tak jauh darinya, Sahrul (35) atau yang akrab disapa Along, menyiapkan rumpon buatan—ikatan sabut dan daun kelapa yang digantung di dalam air untuk memancing ikan berkumpul. Mereka berdua adalah satu dari sedikit yang tersisa dari generasi nelayan mayang yang dulu memenuhi laut sekitar Pulau Kelapa Dua.

“Dulu mah lebih dari 50 kapal mayang di sini. Sekarang tinggal lima kapal yang masih jalan,” ujar Zainudin sambil menyeka peluh.

Ia menyebut, berkurangnya jumlah kapal mayang bukan soal kemauan, tapi realita. Biaya operasional, terutama bahan bakar, naik drastis karena lokasi tangkap semakin jauh. “Kadang bisa sampai dua malam baru balik, hasil enggak tentu. Sering rugi,” keluhnya.

Selain itu, bahan organik untuk membuat rumpon—sarana penting dalam metode mayang—kini semakin sulit didapat. Dulu cukup ke kebun, kini harus beli atau membuat sendiri dengan kualitas seadanya. “Kalau rumponnya jelek, ikan ogah datang. Kosong lautnya,” tambah Along, yang mewarisi kapal dari almarhum ayahnya.

Along lebih memilih tetap menjadi nelayan meski tahu penghasilan tak menentu. “Saya tetap pilih ini, daripada jadi PJLP atau PPSU. Bukan karena gengsi, tapi karena ini hidup kami dari kecil,” ujarnya pelan. Meski begitu, ia mengakui generasi muda sudah enggan melaut. Mereka lebih memilih pekerjaan darat yang gajinya tetap, meski rutinitasnya tak sebebas laut.

“Anak muda sekarang bilang: ngapain jadi nelayan? capek, panas, hasil enggak tentu. Mereka lupa, kalau laut mati, kita semua ikut mati,” kata Zainudin.

Kondisi iklim yang makin tidak menentu juga memperparah. Gelombang tinggi dan badai sering datang tanpa diduga. “Sekarang harus benar-benar lihai lihat cuaca. Salah prediksi, bisa enggak pulang,” tutur Along.

Keduanya juga mengkritisi kurangnya pembinaan dari pemerintah. Mereka merasa selama ini perhatian lebih banyak diberikan kepada program pembudidayaan atau pelatihan darat, bukan nelayan tangkap seperti mereka. “Yang datang pembinaan, isinya tanam kangkung, hidroponik. Nelayan seperti kami? jarang disentuh,” sindir Zainudin.

Ironisnya, di tengah lesunya tangkap ikan mayang, permintaan ikan dari daratan tetap tinggi. Namun keterbatasan armada dan sumber daya membuat nelayan Pulau Kelapa Dua sulit memenuhi pasar sendiri.

Zainudin dan Along tidak sedang meminta simpati. Mereka hanya ingin profesi mereka tak dilupakan dan tetap dihargai. “Kalau pemerintah mau bantu, bantu yang sesuai. BBM misalnya, pelatihan untuk rumpon, atau alat tangkap yang lebih hemat,” kata Along.

Mereka juga sepakat bahwa agar profesi ini tidak punah, sekolah-sekolah di Kepulauan Seribu perlu memasukkan pendidikan bahari dan kelautan dalam kurikulum lokal. “Kita enggak bisa paksakan anak muda jadi nelayan, tapi minimal mereka tahu, dan bisa bangga kalau punya ayah nelayan,” ujar Zainudin.

Di tengah laut yang makin keras dan dunia yang berubah cepat, Zainudin dan Sahrul tetap bertahan. Bukan karena tak punya pilihan lain, tapi karena memilih menjaga yang nyaris ditinggalkan: nyawa tradisi, suara perahu tua, dan jaring-jaring yang menyimpan harapan.

Bagaimana Anda menilai informasi ini? Berikan reaksi Anda!