Bersama Beno, rekannya yang sudah seperti adik sendiri, mereka bahu-membahu menyusun strategi komunikasi yang berhasil meningkatkan reputasi lembaga. Dari liputan lapangan hingga kampanye digital, Kinan dan Beno memastikan bahwa setiap informasi yang disampaikan tidak hanya sekadar formalitas, tetapi benar-benar menyentuh hati publik. Hasilnya, donasi mengalir deras, lebih besar dari tahun-tahun sebelumnya.
Di balik keberhasilan itu, ada Lania, seorang pemimpin muda di divisi humas yang menjadikannya mentor. Lania selalu mengagumi cara kerja Kinan—loyal, inovatif, dan tak kenal lelah. Bersama, mereka membawa divisi kehumasan menjadi yang terbaik, bahkan mendapatkan apresiasi langsung dari Pak Pranoto Sudirja, pimpinan lembaga, dan Pak Sutarna, pengurus yang membidangi kehumasan.
Namun, kini situasi telah berubah. Orang-orang yang dulu bersamanya justru menghalanginya. Bagi Pak Pranoto dan Sutarna, Kinan terlalu berharga untuk dilepaskan. Mereka tahu, jika Kinan pergi, reputasi lembaga bisa menurun. Tapi bagi Kinan, pengabdian tidak bisa berhenti di satu tempat.
Ia telah lama menjadi motor bagi lembaga ini, bahkan sebelum dipindahkan ke tingkat provinsi. Kini, ia ingin menghidupkan kembali kejayaan lembaga di tingkat kabupaten, yang belakangan ini redup. Tetapi keinginannya itu justru mengundang badai.
Pertanyaannya sekarang: apakah Kinan benar-benar siap menghadapi konsekuensi dari pilihannya?
*****
Satu Minggu Sebelum Pemilihan…
Di sebuah kafe kecil yang sering mereka jadikan tempat berdiskusi, Kinan duduk bersama Beno dan Lania. Aroma kopi menguar di udara, bercampur dengan percakapan pelan pelanggan lain. Suasana terasa akrab, tetapi ada ketegangan yang tak bisa disembunyikan. Lampu-lampu temaram memberikan nuansa hangat yang bertolak belakang dengan suasana hati mereka.
Lania menatap Kinan dengan mata penuh harap. “Bang, aku masih nggak percaya kau benar-benar akan pergi. Kita sudah sejauh ini, divisi kehumasan kita makin solid, makin dipercaya masyarakat. Tanpa Bang Kinan, aku nggak yakin bisa mempertahankan ini semua.”
Beno, yang sejak tadi diam, akhirnya angkat bicara. “Abangda, serius ini? Kau benar-benar mau ninggalin kita? Aku tahu abang punya impian besar, tapi kita juga butuh abang di sini.” Ia menggigit bibirnya, menunjukkan betapa berat pertanyaan itu baginya.
Kinan tersenyum dengan hangat, menatap kedua rekannya dengan penuh rasa sayang. “Lania, Beno… aku tidak pergi karena ingin meninggalkan kalian. Aku pergi karena ingin membawa perubahan di tempat yang lebih membutuhkan. Lembaga ini dulu berjaya di tingkat kabupaten, tapi sekarang mulai meredup. Aku ingin mengembalikannya ke tempat yang seharusnya.”
Lania menghela napas panjang, mencoba menahan air mata yang mulai menggenang. “Tapi Bang, tempatmu di sini. Kau yang membangun semua ini. Kau adalah jantung dari divisi ini.”
Kinan meletakkan cangkir kopinya dengan hati-hati, menatap mereka dengan lembut. “Justru karena aku yang membangun ini, aku percaya kalian bisa melanjutkannya. Lania, kau lebih dari mampu memimpin divisi ini. Aku hanya membuka jalan, kau yang akan membawanya lebih jauh. Beno, kau selalu jadi sosok yang bisa diandalkan. Aku yakin kalian bisa menjaga apa yang sudah kita mulai.”
Berikan komentar anda untuk kisah ini, kami sangat menanti masukan dan saran dari anda!