Cerpen  

Bara dalam Sekam

Avatar photo

Ning 6: Bara dalam Sekam

Satu Hari Sebelum Pemilihan…

Di sudut kamar yang remang, asap tipis mengepul dari rokok yang terselip di jemari Kinan. Aroma tembakau bercampur dengan udara yang terasa berat, menggantung seperti pertanda akan sesuatu yang buruk. Kursi kayu tua berderit saat ia bersandar, menatap layar ponselnya yang bergetar di atas meja. Suara dering memenuhi ruangan, menghancurkan kesunyian dengan nada ancaman.

Telepon berdering dan suara di seberang terdengar rendah dan memerah, seolah membawa beban yang tak terlihat.

Pak Pranoto: “Kinan, saya ingin kamu mundur dari pencalonan. Ini perintah.”

Kinan menggertakkan giginya, berusaha menahan amarah yang mulai terbakar dalam dirinya. Ia menarik napas panjang, menghembuskan asap ke udara, lalu meletakkan rokoknya di tepi asbak yang penuh abu. Matanya menerawang, rahangnya mengeras, mencerminkan tekad yang tak tergoyahkan.

Kinan: (Hening sejenak, menarik napas dalam) “Saya tahu saya akan kalah, Pak. Tapi saya tidak mau menjadi pecundang yang mundur sebelum berjuang hingga akhir. Mohon Bapak jangan menahan saya, biarlah saya kalah sebagai kesatria.”

Suasana di ruangan terasa menegang. Kinan menggenggam ponselnya erat, bola matanya menatap lurus ke jendela, di luar sana kota mulai temaram, seolah ikut merasakan kegelisahannya. Di seberang sana, suara Pak Pranoto terdengar semakin dingin, seperti es yang tak bisa dicairkan.

Pak Pranoto: (Dengan nada tajam) “Jangan keras kepala, Kinan. Ini bukan sekadar permintaan, ini keputusan terbaik untuk semuanya.”

Kinan mengepalkan tangannya, jarinya menekan puntung rokok hingga padam. Hatinya bergejolak, pikirannya berputar-putar, mencari celah di antara ancaman halus yang terdengar seperti nasihat bijak.

Kinan: (Dengan suara penuh tekad) “Dengan segala hormat, Pak, saya tetap pada keputusan saya. Kalau ini tentang kepentingan yang lebih besar, biarkan pemilihan berjalan sebagaimana mestinya. Saya akan menerima hasilnya dengan lapang dada.”

Di ujung telepon, terdengar helaan napas panjang sebelum sambungan terputus. Kinan menatap layar ponselnya yang kini gelap. Ia menyandarkan tubuhnya ke kursi, menutup mata sejenak, sementara perasaan tak nyaman mulai menguasai dirinya, seperti badai yang mengancam datang.

Kinan mengusap wajahnya, meraih rokok baru, menyalakannya dengan tangan sedikit gemetar. Ia tahu ini belum selesai. Malam masih panjang, dan badai mungkin akan datang sebelum fajar, membawa ketidakpastian yang tak terelakkan.

Kinan berdiri, melangkah ke jendela dengan langkah berat. Di luar, lampu-lampu kota berkelip-kelip seperti bintang yang tertutup awan gelap. Ia membuka jendela, menghirup udara malam yang dingin, berharap angin bisa menenangkan kegelisahan di hatinya.

Ia teringat pada kata-kata istrinya, Ning, yang selalu mendukungnya apa pun yang terjadi. “Kamu adalah pejuang, Kinan. Jangan biarkan siapa pun meremehkanmu,” suara Ning terngiang di benaknya. Kinan mengepalkan tangan, menguatkan tekadnya.

Ia kembali duduk di kursi, tatapannya penuh tekad dan semangat yang tak tergoyahkan. Ia tahu, apa pun yang terjadi, ia harus berjuang hingga akhir. Baginya, menyerah bukanlah pilihan.

*****

Kinan bukan sekadar calon pemimpin. Ia seorang jurnalis yang telah bertahun-tahun bertugas di lapangan, meliput berbagai peristiwa besar dengan penuh dedikasi. Ketika pandemi COVID-19 melanda, ia diperbantukan di sebuah lembaga kemanusiaan untuk memperkuat divisi komunikasi. Tugasnya jelas: membangun narasi yang menggerakkan masyarakat untuk membantu sesama.

Bersama Beno, rekannya yang sudah seperti adik sendiri, mereka bahu-membahu menyusun strategi komunikasi yang berhasil meningkatkan reputasi lembaga. Dari liputan lapangan hingga kampanye digital, Kinan dan Beno memastikan bahwa setiap informasi yang disampaikan tidak hanya sekadar formalitas, tetapi benar-benar menyentuh hati publik. Hasilnya, donasi mengalir deras, lebih besar dari tahun-tahun sebelumnya.

Di balik keberhasilan itu, ada Lania, seorang pemimpin muda di divisi humas yang menjadikannya mentor. Lania selalu mengagumi cara kerja Kinan—loyal, inovatif, dan tak kenal lelah. Bersama, mereka membawa divisi kehumasan menjadi yang terbaik, bahkan mendapatkan apresiasi langsung dari Pak Pranoto Sudirja, pimpinan lembaga, dan Pak Sutarna, pengurus yang membidangi kehumasan.

Namun, kini situasi telah berubah. Orang-orang yang dulu bersamanya justru menghalanginya. Bagi Pak Pranoto dan Sutarna, Kinan terlalu berharga untuk dilepaskan. Mereka tahu, jika Kinan pergi, reputasi lembaga bisa menurun. Tapi bagi Kinan, pengabdian tidak bisa berhenti di satu tempat.

Ia telah lama menjadi motor bagi lembaga ini, bahkan sebelum dipindahkan ke tingkat provinsi. Kini, ia ingin menghidupkan kembali kejayaan lembaga di tingkat kabupaten, yang belakangan ini redup. Tetapi keinginannya itu justru mengundang badai.

Pertanyaannya sekarang: apakah Kinan benar-benar siap menghadapi konsekuensi dari pilihannya?

*****

Satu Minggu Sebelum Pemilihan…

Di sebuah kafe kecil yang sering mereka jadikan tempat berdiskusi, Kinan duduk bersama Beno dan Lania. Aroma kopi menguar di udara, bercampur dengan percakapan pelan pelanggan lain. Suasana terasa akrab, tetapi ada ketegangan yang tak bisa disembunyikan. Lampu-lampu temaram memberikan nuansa hangat yang bertolak belakang dengan suasana hati mereka.

Lania menatap Kinan dengan mata penuh harap. “Bang, aku masih nggak percaya kau benar-benar akan pergi. Kita sudah sejauh ini, divisi kehumasan kita makin solid, makin dipercaya masyarakat. Tanpa Bang Kinan, aku nggak yakin bisa mempertahankan ini semua.”

Beno, yang sejak tadi diam, akhirnya angkat bicara. “Abangda, serius ini? Kau benar-benar mau ninggalin kita? Aku tahu abang punya impian besar, tapi kita juga butuh abang di sini.” Ia menggigit bibirnya, menunjukkan betapa berat pertanyaan itu baginya.

Kinan tersenyum dengan hangat, menatap kedua rekannya dengan penuh rasa sayang. “Lania, Beno… aku tidak pergi karena ingin meninggalkan kalian. Aku pergi karena ingin membawa perubahan di tempat yang lebih membutuhkan. Lembaga ini dulu berjaya di tingkat kabupaten, tapi sekarang mulai meredup. Aku ingin mengembalikannya ke tempat yang seharusnya.”

Lania menghela napas panjang, mencoba menahan air mata yang mulai menggenang. “Tapi Bang, tempatmu di sini. Kau yang membangun semua ini. Kau adalah jantung dari divisi ini.”

Kinan meletakkan cangkir kopinya dengan hati-hati, menatap mereka dengan lembut. “Justru karena aku yang membangun ini, aku percaya kalian bisa melanjutkannya. Lania, kau lebih dari mampu memimpin divisi ini. Aku hanya membuka jalan, kau yang akan membawanya lebih jauh. Beno, kau selalu jadi sosok yang bisa diandalkan. Aku yakin kalian bisa menjaga apa yang sudah kita mulai.”

Lania menggigit bibirnya, matanya berkaca-kaca. “Jadi nggak ada cara lain?”

Kinan menggeleng dengan tegas. “Aku ingin kalian mendukungku. Aku ingin mengabdi di tempat yang lebih membutuhkan. Aku ingin membesarkan sesuatu yang sudah lama aku perjuangkan.”

Beno akhirnya tersenyum kecil, meskipun berat. “Kalau itu pilihan Abangda, kami nggak bisa menahan. Kami akan dukung dengan sepenuh hati.” Suaranya bergetar sedikit, menunjukkan betapa sulit keputusan ini bagi mereka semua.

Lania menghela napas panjang, lalu tersenyum tipis. “Kalau itu jalan Bang Kinan, aku akan hormati. Tapi jangan lupakan kami, ya. Kami akan selalu mendukungmu.”

Kinan tertawa kecil, menepuk bahu mereka dengan penuh kasih. “Mana mungkin aku lupa? Kalian selalu jadi bagian dari perjalananku. Kita adalah tim yang tak terpisahkan.”

Suasana di meja itu berubah. Ada kesedihan yang mendalam, tetapi juga ada kepercayaan yang tak tergoyahkan. Ini bukan akhir, hanya awal dari perjalanan baru yang penuh tantangan dan harapan.

*****

Dua Hari Sebelum Pemilihan…

Di sebuah ruangan dengan cahaya lampu temaram, Wirata duduk bersandar santai di kursi kulit, jemarinya mengetuk-ngetuk meja seolah sedang menikmati permainan ini. Senyum miring menghiasi wajahnya yang licik, matanya penuh ejekan. Di hadapannya, Sutarna tampak gelisah. Pak Pranoto berdiri dengan wajah tegang, tangannya mengepal di pinggang.

“Sutarna! Saya minta kamu atur Kinan! Saya sudah bilang, dia tidak boleh mencalonkan diri! Kenapa sampai sekarang dia masih tetap maju?!”

Sutarna menelan ludah, mencoba tetap tenang. “Pak, saya sudah mencoba, tapi Kinan keras kepala. Dia punya tekad yang kuat untuk tetap maju.”

Wirata tertawa kecil, lalu bersuara dengan nada meremehkan. “Kinan itu nggak tahu diri, Pak. Dia pikir dia siapa? Hanya karena dia bisa bikin kampanye kemanusiaan, bukan berarti dia bisa jadi pemimpin. Apa dia kira mengelola donasi sama dengan memimpin kabupaten? Sia-sia saja, dia nggak akan mampu.”

Pak Pranoto menggebrak meja, suaranya menggelegar di ruangan yang sunyi. “Saya tidak mau tahu! Saya sudah punya calon yang harus menang! Kinan memang hebat, saya akui itu, tapi saya tidak bisa kehilangan dia di provinsi. Tanpa dia, publikasi kita bisa berantakan!”

Wirata kembali tersenyum sinis, tatapannya penuh konspirasi. “Biarkan saja dia maju, Pak. Nanti kita lihat sendiri bagaimana dia jatuh. Tapi kalau Bapak ingin aman, saya bisa pastikan pemilik suara memilih calon kita. Percayakan pada saya.”

Pak Pranoto menghela napas, menatap Sutarna dengan pandangan penuh harap. “Lakukan sesuatu. Pastikan Kinan kalah sebelum pertarungan dimulai.”

Sutarna merasa napasnya semakin berat, tangannya gemetar. “Pak, kalau kita melakukan ini, dampaknya bisa besar. Kinan punya pendukung yang kuat. Mereka tidak akan diam saja.”

Wirata mengangkat alis, tersenyum lebih lebar, ekspresinya penuh kemenangan. “Itulah indahnya permainan politik, Sutarna. Kita hanya perlu memastikan mereka tidak punya pilihan lain. Serahkan pada saya, Pak.”

Pak Pranoto mengangguk pelan, akhirnya merasa sedikit lega. “Baik, saya percayakan pada kalian. Jangan sampai ada kegagalan.”

Wirata menyeringai, merasakan kemenangan di tangannya. “Saya akan pastikan Kinan tidak punya kesempatan untuk menang. Kita akan gunakan semua cara yang diperlukan.”

Sutarna menatap Wirata dengan cemas. “Apa maksudmu? Apa yang akan kamu lakukan?”

Wirata mendekatkan wajahnya ke arah Sutarna, suaranya rendah dan penuh ancaman. “Kita akan gunakan intimidasi, ancaman, dan jika perlu, kita akan buat skandal yang menghancurkan reputasinya. Kinan tidak akan tahu apa yang menimpanya.”

Pak Pranoto menghela napas panjang, merasa beban besar terangkat dari pundaknya. “Lakukan apa yang perlu dilakukan. Saya tidak peduli caranya, yang penting Kinan tidak boleh menang.”

Suasana dalam ruangan itu semakin tegang, udara terasa berat dengan aroma konspirasi. Wirata menyeringai, merasakan kemenangan di tangannya. Sutarna, di sisi lain, hanya bisa mengangguk pasrah, merasa dirinya terjebak di antara ambisi dan kebenaran.

*****

Sebelas Jam Sebelum Pemilihan

Malam semakin larut. Di dalam kamar hotel yang diterangi lampu redup, Kinan duduk bersandar di sofa dengan ekspresi penuh pertimbangan. Di hadapannya, Ning, istrinya, menatapnya dengan sorot mata yang lembut namun tegas. Sejak mengenal Kinan, Ning tahu bahwa suaminya adalah sosok yang tidak pernah mundur dari pertarungan, apalagi jika ia merasa itu adalah jalan yang benar.

“Aku tahu kamu, Kinan. Kalau sudah berjuang, pasti akan all out. Tapi aku juga tahu tekanan yang kamu hadapi kali ini berbeda. Ini bukan sekadar kompetisi biasa. Pak Pranoto sudah terang-terangan ingin kamu mundur, bahkan Wirata sampai datang membujukmu agar tetap di provinsi.”

Kinan menghela napas panjang, menatap lurus ke depan. “Aku sudah mempertimbangkan semuanya, Ning. Aku tahu risikonya, tapi aku tidak bisa mundur hanya karena tekanan. Aku ingin memperjuangkan sesuatu yang lebih besar dari diriku sendiri. Kabupaten ini butuh perubahan. Aku tidak bisa membiarkan orang-orang yang hanya berpikir soal kepentingan pribadi terus berkuasa.”

Ning meraih tangan Kinan, menggenggamnya erat. “Aku tidak meminta kamu mundur, Kinan. Aku hanya ingin memastikan kamu benar-benar siap menghadapi ini. Aku tahu betul kalau kamu tidak akan berhenti di tengah jalan. Kamu akan bertahan sampai akhir, apapun hasilnya.”

Kinan menatap istrinya dengan penuh rasa syukur. “Aku sudah siap sejak aku memutuskan untuk maju. Yang aku butuhkan sekarang hanya restu dan dukunganmu.”

Ning tersenyum kecil, meski matanya menyiratkan kekhawatiran yang dalam. “Kalau itu yang kamu pilih, aku akan selalu mendukungmu. Tapi berjanjilah satu hal, Kinan. Apa pun yang terjadi besok, jangan biarkan mereka menghancurkan integritasmu.”

Kinan mengecup tangan istrinya. “Aku berjanji, Ning. Aku akan tetap menjadi Kinan yang kamu kenal. Yang berjuang bukan demi jabatan, tapi demi perubahan.”

Ning menarik napas dalam, mencoba menenangkan hatinya. “Aku bangga padamu, Kinan. Kamu selalu berdiri tegak untuk apa yang kamu percayai. Besok adalah ujian besar, tapi aku tahu kamu bisa melaluinya.”

Kinan mengangguk, merasakan semangat yang mengalir dari kata-kata istrinya. “Terima kasih, Ning. Dukunganmu berarti segalanya bagiku. Denganmu di sisiku, aku merasa kuat.”

Ning tersenyum hangat, menghapus kekhawatiran dari wajahnya. “Kita akan melalui ini bersama, Kinan. Apa pun yang terjadi, kita akan hadapi bersama.”

Keduanya berpelukan erat, merasakan kehangatan dan kekuatan dari satu sama lain. Di luar jendela, malam semakin pekat. Angin berhembus pelan, seolah membawa tanda bahwa badai akan segera datang, tetapi di dalam kamar itu, ada keyakinan bahwa cinta dan dukungan akan mengatasi segala tantangan.

*****

Lima Hari Sebelum Pemilihan…

Di sebuah warung kecil di pinggir kota, Kinan duduk berhadapan dengan Rangga, kakaknya. Dua cangkir kopi hitam mengepul di meja di antara mereka. Rangga menatap adiknya dengan sorot mata penuh kebanggaan, tetapi juga keprihatinan.

“Kinan, aku tahu kamu punya kemampuan lebih dari cukup untuk memimpin kabupaten ini. Aku juga nggak kaget kamu akhirnya maju, karena aku tahu bagaimana kamu bekerja. Tapi…” Rangga menarik napas panjang, menatap lurus ke mata adiknya. “Kamu harus sadar, permainan ini lebih besar dari yang kamu kira. Tekanan dari provinsi itu nyata, dan mereka sudah merancang ini jauh sebelum kamu memutuskan maju.”

Kinan mengaduk kopinya pelan, seolah mencerna kata-kata kakaknya. “Aku tahu, Rangga. Aku bukan orang naif. Tapi justru karena aku tahu, aku nggak bisa mundur begitu saja. Kabupaten ini butuh pemimpin yang benar-benar peduli, bukan sekadar kepanjangan tangan dari provinsi.”

Rangga tersenyum kecil, mencengkeram cangkir kopinya. “Dulu, kamu yang mengajakku ke lembaga ini. Aku banyak belajar dari kamu, Kinan. Walaupun aku kakakmu, aku selalu kagum dengan caramu bekerja. Tapi kali ini, aku ingin kamu realistis. Kalau kamu tetap maju, mereka tidak akan tinggal diam. Dan kamu tahu, orang-orang yang terlibat ini bukan orang sembarangan.”

Kinan menatap kakaknya, matanya penuh tekad. “Justru karena aku tahu siapa mereka, aku ingin melawan. Aku nggak bisa membiarkan mereka menentukan siapa pemimpin kabupaten ini tanpa perlawanan. Kalau aku kalah, biarlah aku kalah dengan cara terhormat. Tapi aku tidak akan mundur sebelum bertarung.”

Rangga menatap adiknya lama, lalu menghela napas panjang. “Aku tahu kamu nggak akan berubah pikiran. Kalau begitu, aku hanya bisa bilang satu hal: hati-hati, Kinan. Aku mendukungmu, tapi aku juga tahu permainan ini kotor. Jangan sampai kamu terjebak.”

Kinan tersenyum, menepuk bahu kakaknya. “Terima kasih, Rangga. Aku butuh dukungan itu. Aku tahu ini tidak akan mudah, tapi aku tidak sendirian.”

Rangga mengangguk pelan, menatap adiknya dengan penuh kebanggaan. “Aku selalu bangga padamu, Kinan. Kamu punya keberanian dan integritas yang jarang dimiliki orang lain. Tapi ingatlah, dalam politik, segala sesuatu bisa berubah dengan cepat. Jadilah cerdik dan waspada.”

Kinan mengangguk, matanya penuh determinasi. “Aku akan ingat itu, Rangga. Aku tidak akan biarkan mereka menjatuhkanku tanpa perlawanan. Aku akan berjuang hingga akhir.”

Rangga menyesap kopinya, merasakan kehangatan yang menyebar di tubuhnya. “Kita semua mendukungmu, Kinan. Keluarga, teman-teman, dan banyak orang yang percaya padamu. Jangan biarkan mereka kehilangan harapan.”

Kinan tersenyum, merasa semangat yang mengalir dari kata-kata kakaknya. “Aku tidak akan mengecewakan mereka. Aku akan berjuang dengan segenap hati dan jiwa.”

Di luar, langit sore mulai meredup, seakan ikut mengisyaratkan bahwa badai besar sedang menunggu di depan. Namun, di dalam warung kecil itu, dua saudara saling menguatkan, siap menghadapi apa pun yang akan datang.

*****

Tiga Jam Sebelum Pemilihan…

Di sebuah ruangan tertutup yang hanya berjarak beberapa meter dari tempat acara pemilihan akan berlangsung, Kinan duduk berhadapan dengan Sutarna dan Wirata. Suasana begitu sunyi, hanya sesekali terdengar suara langkah kaki di luar ruangan. Asap rokok memenuhi udara, menciptakan kabut tipis yang membebani suasana. Aroma kopi yang baru saja disajikan tidak mampu menghilangkan ketegangan di antara mereka.

Sutarna duduk dengan postur tegap, ekspresi wajahnya penuh tekanan, tetapi masih berusaha tenang. Wajahnya memancarkan kekhawatiran yang sulit disembunyikan. Sementara itu, Wirata menyandarkan punggungnya ke kursi dengan tangan terlipat, bibirnya membentuk seringai kecil yang sinis. Matanya yang penuh ejekan menyiratkan kepuasan terselubung. Tidak ada lagi keakraban, tidak ada lagi solidaritas seperti dulu.

“Kinan, aku bicara sebagai teman. Aku minta kau mundur. Jangan buat dirimu malu besok. Pemilihan ini sudah selesai bahkan sebelum dimulai. Kau tidak akan mendapat suara sama sekali.”

Wirata terkekeh, memainkan sendok kecil di tangannya sebelum berkata, “Kau terlalu percaya diri, Kinan. Apa kau pikir ini pertarungan yang adil? Ini sudah didesain, semua sudah dikondisikan. Kau hanya membuang waktu dan mencoreng nama baikmu sendiri.”

Kinan tetap diam, menatap mereka dengan tatapan datar. Ia menyesap kopinya dengan tenang, tetapi matanya tetap tajam mengamati gerak-gerik dua orang yang pernah ia percayai. Ekspresi wajahnya dingin, tetapi sorot matanya penuh determinasi.

Sutarna (dengan nada lebih halus) “Aku bisa mengatur sesuatu untukmu, Kinan. Kalau kau mau mundur sekarang, ada banyak hal menarik yang bisa kau dapatkan. Kau bisa tetap di provinsi, dengan posisi yang lebih nyaman, bahkan dengan tambahan wewenang yang lebih besar.”

Kinan menghela napas pelan, meletakkan cangkir kopinya ke meja. “Dan kalau aku tetap maju?”

Ekspresi Sutarna berubah, wajahnya menjadi lebih dingin. “Kalau kau tetap maju, maka anggap hubungan kita selesai. Aku akan meminta kau mengundurkan diri dari divisi humas provinsi. Kau tidak akan punya tempat di sini lagi.”

Wirata menambahkan, kini dengan nada lebih tajam. “Kau ini terlalu keras kepala, Kinan. Apa yang kau kejar? Kau pikir orang-orang di kabupaten peduli padamu? Kau tidak punya jaringan, tidak punya dukungan. Jika kau tetap maju, kau bukan hanya kehilangan posisi, tapi juga kehilangan semua yang kau bangun selama ini. Sungguh sia-sia.”

Kinan menatap mereka satu per satu, kemudian tersenyum kecil. Bukan senyum kemenangan, bukan juga senyum sinis, melainkan senyum seseorang yang baru saja memahami sesuatu yang selama ini ia abaikan.

“Terima kasih, Pak Sutarna, bro Wirata. Aku justru bersyukur ada momen seperti ini. Sekarang aku tahu siapa yang benar-benar tulus berteman denganku, dan siapa yang selama ini hanya menjadi bara dalam sekam. Aku juga belajar bahwa tidak semua orang menghargai kesetiaan dan pertemanan.”

Sutarna mengerutkan kening. “Jangan bodoh, Kinan. Ini realitas.”

Kinan mengangguk pelan. “Ya, aku tahu. Dan justru karena aku tahu realitasnya seperti ini, aku tidak akan mundur. Aku akan tetap maju, berapa pun suara yang kudapatkan. Aku ingin melihat sendiri sampai sejauh mana permainan kalian. Aku siap dengan risiko terburuk.”

Wirata menyeringai, matanya memancarkan ejekan yang lebih tajam. “Kau pikir ini permainan, Kinan? Kau akan hancur. Semua yang kau bangun akan runtuh. Kau akan menyesal telah menantang kami.”

Sutarna menatap Kinan dengan pandangan penuh rasa kasihan. “Kau sedang menggali kuburanmu sendiri, Kinan. Kau keras kepala, dan itu akan menghancurkanmu.”

Kinan berdiri, menyelipkan tangannya ke saku. “Terima kasih atas tawarannya, tapi aku tidak tertarik. Aku akan tetap maju. Kita lihat saja.”

Tanpa menunggu jawaban, Kinan melangkah keluar. Di luar ruangan, suara dari tempat acara pemilihan mulai terdengar samar. Udara terasa lebih berat, tetapi hatinya lebih mantap dari sebelumnya. Kini, ia benar-benar tahu siapa kawan, siapa lawan, dan siapa yang hanya memanfaatkan pertemanan untuk kepentingan mereka sendiri.

*****

Saat Pemilihan Dimulai…

Kinan menaiki podium dengan langkah mantap. Sorot lampu menerangi wajahnya yang tetap tenang meskipun atmosfer ruangan terasa berat. Suara riuh rendah dari peserta memenuhi aula, menciptakan suasana tegang namun penuh antisipasi. Bisikan-bisikan terdengar di antara peserta yang duduk di kursi mereka. Sebagian mengangguk setuju, sebagian lagi berbisik sinis.

“Percuma, hasilnya sudah ditentukan,” ucap seseorang di barisan belakang. “Dia keras kepala. Untuk apa maju kalau sudah tahu bakal kalah?” timpal yang lain.

Namun di sudut ruangan, Rangga, kakaknya, menatap dengan bangga. Ia tahu, adiknya tidak akan mundur meskipun segalanya telah diatur. Sementara itu, Beno menggigit bibirnya, matanya berkaca-kaca. Baginya, Kinan bukan hanya seorang pemimpin, tapi juga mentor yang telah membimbingnya hingga mampu berdiri tegak di lembaga ini.

Di sisi lain, Sutarna dan Wirata duduk dengan wajah kaku. Mereka tidak menyangka Kinan benar-benar naik podium dan berbicara di hadapan semua orang seolah tidak terjadi apa-apa. Tatapan mereka penuh ketidaksukaan, tetapi tidak bisa disangkal, ada sedikit kegelisahan di mata mereka.

Kinan menarik napas dalam, lalu mulai berbicara dengan suara yang mantap, tidak sedikit pun bergetar.

“Saya berdiri di sini bukan untuk menentang siapa pun. Saya berdiri di sini karena saya ingin lembaga kemanusiaan ini kembali menjadi rumah bagi mereka yang benar-benar ingin mengabdi,” katanya.

Kinan berhenti sejenak, menatap peserta satu per satu sebelum melanjutkan, “Program pertama saya adalah menghidupkan kembali dan memberi keleluasaan bagi relawan agar mereka bisa berperan lebih aktif. Relawan adalah jantung dari lembaga ini, dan mereka harus diberi ruang untuk berkontribusi lebih besar.

Ia menatap wajah-wajah yang ada di hadapannya, memastikan semua orang mendengarkan dengan seksama, lalu melanjutkan, “Program kedua saya adalah merestrukturisasi kepegawaian agar lebih administratif. Administrasi yang baik adalah fondasi dari sebuah lembaga yang efektif. Kita perlu memastikan bahwa semua pekerjaan berjalan lancar dan efisien.

Kinan menghela napas singkat sebelum melanjutkan, “Dan program ketiga saya adalah meningkatkan pelayanan kemanusiaan agar lebih dekat dengan masyarakat dan lebih efektif dalam menanggapi kebutuhan mereka. Pelayanan kita harus responsif dan tepat sasaran, membantu mereka yang benar-benar membutuhkan.

Ruangan tetap hening. Beberapa peserta tampak terpengaruh oleh visi yang disampaikan Kinan, sementara yang lain tetap memasang wajah skeptis. Namun, menjelang akhir pidatonya, Kinan menurunkan nada suaranya. Kata-kata terakhirnya tidak diucapkan dengan lantang, tetapi justru lebih dalam menusuk hati.

“Sayangnya, tiga hal ini mungkin hanya bisa dilakukan dalam ruang kedap udara, karena kemunafikan, ketidaksetiaan, dan keculasan telah menjadi pemenang atas keinginan seseorang yang ingin mengabdi di tempat ia dilahirkan, dibesarkan, dan mencari penghidupan. Saya hanya ingin berbuat lebih baik dan diberi kesempatan membuktikan diri.”

Ruangan kembali sunyi. Tidak ada tepuk tangan, tidak ada sorakan. Yang ada hanya tatapan-tatapan yang beragam—ada yang terpaku, ada yang menghindari kontak mata, dan ada pula yang mulai berbisik satu sama lain.

Tiba-tiba, sorakan keras terdengar dari barisan depan. Seorang relawan muda, dengan mata berbinar dan penuh semangat, berdiri dan bertepuk tangan. Sorakan itu diikuti oleh beberapa peserta lain, menciptakan gelombang dukungan yang perlahan menyebar ke seluruh ruangan. Wajah Kinan sedikit melembut, matanya penuh haru.

Di tengah sorakan itu, Sutarna dan Wirata saling pandang dengan wajah yang semakin kaku. Mereka tahu, meskipun dukungan ini tidak bisa mengubah hasil yang sudah mereka rencanakan, namun semangat dan integritas Kinan telah menyentuh hati banyak orang.

Sementara itu, Rangga dan Beno merasa lega dan bangga. Mereka tahu, apa pun hasilnya, Kinan telah memenangkan hati banyak orang dengan keberanian dan ketulusannya.

Di Tempat Lain, Kantor Pak Pranoto…

Di balik meja kerjanya, Pak Pranoto menekan tombol panggilan di ponselnya dengan gusar. Nada sambung terdengar berulang kali, tetapi tidak ada jawaban. Ia mengumpat pelan, lalu mencoba lagi. Tetap tidak diangkat.

“Sialan! Sutarna tidak mengangkat teleponnya!” geramnya, tangannya mengepal di atas meja. Wajahnya memerah karena marah.

Ia menoleh ke arah pintu dan berteriak, “Sukono! Masuk!”

Seorang pria berperawakan tegap dengan setelan rapi segera masuk ke dalam ruangan. “Siap, Pak.”

Pak Pranoto menunjuk ponselnya dengan ekspresi marah. “Segera ke tempat pemilihan. Pastikan Kinan yang terpilih. Aku tidak peduli bagaimana caranya.”

Sukono mengangguk cepat. “Saya segera berangkat, Pak.” Wajahnya menunjukkan kesungguhan untuk menjalankan perintah.

Pak Pranoto kembali menekan nomor Sutarna, kali ini dengan nada suara lebih keras. “Sutarna! Angkat teleponmu! Jangan buat aku datang sendiri ke sana!” Suaranya menggema di ruangan yang sunyi.

*****
Setelahnya…

Malam semakin larut, namun suasana di aula masih terasa hangat dengan sisa-sisa keramaian pemilihan. Kinan melangkah keluar, meninggalkan sorotan lampu dan sorakan pendukung yang perlahan meredup. Udara malam yang sejuk menyentuh wajahnya, memberikan sedikit ketenangan di tengah badai emosional yang baru saja ia alami.

Ia berjalan menuju taman kecil di dekat aula, tempat ia sering merenung di tengah kesibukan. Lampu taman yang redup menciptakan bayangan panjang di atas rumput yang basah oleh embun. Kinan duduk di bangku kayu yang sudah usang, menghela napas panjang. Pikirannya berputar-putar, mencoba mencerna semua yang telah terjadi.

Langkah kaki terdengar mendekat. Ning, istrinya, datang dengan senyum lembut yang selalu mampu menenangkan hatinya. Ia duduk di samping Kinan, meraih tangannya dengan penuh kasih.

“Apapun hasilnya, kamu sudah melakukan yang terbaik. Aku bangga padamu.”

Kinan menatap mata istrinya, merasa kekuatan baru mengalir dalam dirinya. “Terima kasih, Ning. Aku tahu ini baru permulaan. Masih banyak yang harus kita lakukan.”

Mereka duduk dalam keheningan, menikmati momen kebersamaan yang tenang. Namun, jauh di dalam hati, Kinan tahu bahwa cerita ini belum benar-benar berakhir. Masih ada banyak pertanyaan yang belum terjawab, banyak misteri yang menunggu untuk diungkap.

Di balik layar, Pak Pranoto menatap hasil pemilihan dengan ekspresi yang sulit ditebak. Senyum tipis menghiasi wajahnya, namun matanya menyiratkan sesuatu yang lebih dalam—sebuah rencana yang belum sepenuhnya terungkap.

Malam itu, di bawah langit yang berbintang, Kinan dan Ning memulai langkah baru dalam perjalanan mereka. Mereka tahu, apapun yang terjadi, mereka akan menghadapi semua tantangan bersama. Dan bagi Kinan, perjuangan untuk kebaikan dan integritas tidak akan pernah berakhir.

*****

Kisah perjuangan dan tekad Kinan mungkin telah mencapai titik puncak, tetapi cerita Ning baru saja dimulai. Dalam menghadapi badai yang datang bertubi-tubi, Ning menyadari bahwa perjalanan hidupnya tak hanya tentang mengikuti jejak suaminya, tetapi menemukan jalannya sendiri.

Apa yang akan Ning temui di persimpangan ini? Bagaimana keteguhan hatinya menghadapi tantangan-tantangan yang lebih besar? Dan di mana sebenarnya letak kebahagiaan sejati bagi seorang pejuang yang tak kenal lelah?

Temukan jawabannya di Ning 7: Dunia Maya!—sebuah kisah yang mengajak Anda untuk merenung, bertanya, dan mencari makna di setiap langkah hidup yang penuh misteri.

*Kisah ini fiktif. Nama, tempat, dan peristiwa dalam cerita ini hanyalah karangan penulis semata dan tidak berhubungan dengan kejadian nyata. Jika terdapat kemiripan dengan peristiwa atau tokoh nyata, itu hanyalah kebetulan belaka.

Bagaimana Anda menilai informasi ini? Berikan reaksi Anda!

Respon (1)

Komentar ditutup.