Cerpen  

Dunia Maya

Avatar photo

NING 7: DUNIA MAYA

Di pelataran rumah kayu sederhana yang menghadap laut, seorang pemuda bernama Kinan Arundhati duduk bersila di atas tikar pandan.

Di depannya, perempuan paruh baya berkerudung pudar duduk tenang. Bajunya sederhana, warnanya lembut. Matanya menyimpan waktu—banyak waktu.

Di atas kusen rumah itu tergantung papan kayu tua:
“Bidan Maya Anggraini”

“Kamu yakin mau nulis kisah saya, Nak?” Suaranya lembut, pecah bersama desir angin sore.

Kinan mengangguk. “Saya rasa, orang-orang perlu tahu apa yang Ibu jalani. Biar paham, pengabdian itu nggak selalu soal sorotan.”

Perempuan itu tersenyum kecil. Tapi di balik senyum, matanya menyimpan laut yang lama bergolak. Pandangannya jauh, melewati horizon yang perlahan menghilang.

“Kamu pernah ngerasain, melangkah ke tempat yang bahkan nggak ada di bayanganmu, apalagi di peta?”

***

Langit masih gelap ketika Maya tiba di dermaga Sunda Kelapa.

Ia membawa satu koper kayu. Isinya: dua stel baju kerja, beberapa buku kebidanan, dan satu foto keluarga yang diselipkan di halaman belakang buku.

Usianya belum genap 20 tahun. Lulusan baru Sekolah Kebidanan. Dan pagi itu, ia bukan cuma menyeberangi laut—ia sedang menyeberangi nasib.

“Naik ini, Bang?” tanya Maya ragu, menunjuk ke perahu motor yang miring sebelah.

“Nggak ada pilihan lain, Neng,” jawab si pengemudi sambil menyeret galon solar. “Mau ke Pulau Panggang? Tahan angin. Gelombang pagi kadang manja.”

Perut Maya mual bahkan sebelum kapal bergerak. Ini pertama kalinya ia naik perahu motor.

Laut di depannya tampak seperti kain abu-abu berkerut, dijahit angin.

Perjalanan ke Pulau Panggang butuh hampir lima jam. Tak ada pelampung. Tak ada GPS. Hanya Maya, galon kosong, dan laut yang terus bergelombang.

Sesampainya di sana, sambutan bukan hangat—tapi curiga. Warga berkumpul, mengamati dari balik pintu rumah kayu.

“Dokter cewek?” bisik seorang ibu.
“Anak kemarin sore!” sahut yang lain.
“Mau nolongin lahiran? Belajar dulu deh sama Mak Mina!”

Maya tersenyum. Meski hatinya remuk.

Ia tahu ini tak akan mudah. Tapi penolakan itu—lebih dari sekadar kata-kata.
Ia dijauhi. Tak diajak bicara. Bahkan pasien pertamanya menolak ditolong karena ia belum “punya tangan dingin”.

Tapi Maya datang bukan untuk singgah. Ia datang untuk tinggal.

Bukan sekadar petugas. Ia membawa harapan.

Di pulau kecil, tempat listrik padam jam sembilan malam, dan laut adalah satu-satunya jalan keluar—Maya berdiri, sendirian, tapi tak mundur.

***

Maya melangkah keluar dari rumah dinas—sebuah rumah kayu panggung di tepi dermaga. Atapnya rumbia, dindingnya papan tua yang catnya mengelupas. Angin laut masuk dari celah lantai, membawa bau asin dan suara burung camar.

Tapi Maya tak peduli. Ia datang bukan membawa kenyamanan, tapi harapan.

Wajahnya lembut. Ayu khas perempuan Jawa. Alisnya tegas, tapi senyumnya selalu tulus saat menyapa anak-anak yang berlarian di jalan kayu.

Seragamnya sederhana—krem, pudar oleh cuaca dan waktu. Tapi ia tetap memakainya seperti baju dinas seorang prajurit.

“Assalamualaikum…” ucapnya pelan pada sekelompok ibu yang sedang menjemur ikan di tepi dermaga.

Tak ada yang menjawab. Mereka hanya melirik sekilas, lalu kembali pada pekerjaan masing-masing.

Dari kejauhan, seorang pria bersarung dan berkopiah lusuh berdiri di sisi surau. Rojali. Matanya sempit menatap Maya.

“Udah gue bilang, anak kota itu gak ngerti cara nolongin orang sini,” gumamnya pada seorang ibu di dekatnya.

“Kita udah punya Mina. Ngapain repot?”

Mina. Kakak Rojali. Dukun beranak yang sudah puluhan tahun jadi tumpuan hidup dan mati ibu-ibu di pulau. Dalam kepala Rojali, Maya bukan pertolongan—tapi ancaman. Gangguan pada keseimbangan lama.

Tapi tidak semua menolak Maya.

Sulaiman, guru ngaji di surau, kerap mengamati Maya dari jauh. Lelaki tua dengan sorban bersih dan janggut putih rapi itu tahu—ilmu tak bertentangan dengan iman.

“Kalau dia datang buat nolong orang, apa hak kita menolak?” katanya suatu malam saat pengajian.

“Apalagi soal nyawa. Itu urusan besar.”

Ucapannya sempat bikin Rojali marah. Desas-desus menyebar: Sulaiman mulai lunak. Terlalu dekat dengan orang luar.

Tapi Sulaiman tetap tenang. Ia tahu, kebaikan tak boleh kalah oleh bisik-bisik gelap.

Hari-hari Maya berlalu sepi. Poskesdes kosong. Tak ada yang datang. Tapi ia tetap bersih-bersih, cek obat, duduk di depan sambil mencatat suhu udara dan mimpi-mimpinya sendiri.

Hingga satu sore, suara berat menggema dari arah pelabuhan.

“Mbak Bidan! Tolongin orang pingsan! Tapi jangan nuduh gua, ya. Dia lemes sendiri!”

Barjo. Preman pelabuhan. Badannya besar, suaranya serak. Sering bikin onar, tapi kadang justru jadi penolong paling cepat.

Di belakangnya, Rabani—anak muda kota yang jadi matri kesehatan di pulau itu—berlari ke arah Maya.

“Maaf ya, Mbak. Bang Barjo emang… ya begitu. Hidupnya kayak perahu mogok. Tapi suka bantu juga.”

Maya langsung bergerak. Mengecek pasien yang pingsan. Rabani bantu. Tangannya cekatan, suaranya tenang.

Hari itu, satu nyawa tertolong.

Dan dari sana, kabar mulai berembus.

Bidan baru itu… bisa nolongin orang.

***

Malam itu, angin laut mengamuk.
Bulan diselimuti awan. Ombak menggulung keras, menghantam dermaga dengan suara yang nyaris seperti teriakan.

Satu per satu, lampu rumah warga mulai padam.
Hanya cahaya remang dari surau kecil yang tersisa, tempat Sulaiman melipat sajadah dalam hening.

Lalu—
Dug! Dug! Dug!

Pintu rumah dinas Maya digedor keras.

Rabani berdiri di ambang. Napasnya ngos-ngosan, matanya panik.

“Mbak Maya! Tolong! Bu Inah mau lahiran… Tapi katanya bayinya sungsang!”

Refleks, Maya menyambar tas bidan yang selalu siap di samping tempat tidurnya.

“Di mana sekarang?”

“Sebelah utara pulau!”

Tak ada waktu berpikir. Maya berlari. Sandal japitnya mencipratkan air genangan, suara langkahnya bersaing dengan deru angin.

Rumah Bu Inah sudah ramai. Warga berkumpul.
Tangis, jeritan, dan bau darah bercampur dalam udara yang tegang.

Di tengah ruangan, Mina berdiri. Dukun beranak senior, wajahnya tegang, pelipisnya basah keringat. Ia tampak goyah.

“Jangan ganggu! Gue lagi urus ini!” bentaknya pada Maya, matanya tajam seperti hendak menolak bantuan sekaligus mempertahankan harga diri.

Maya berdiri tegak. Napasnya berat, tapi sorot matanya mantap.

“Saya gak mau rebut, Bu Mina. Saya mau bantu. Ini soal nyawa.”

Hening.

Orang-orang saling berpandangan.
Di pojok ruangan, Rojali mengepalkan tangan. Siap menyulut konflik.

Tapi sebelum suara keras keluar dari mulut siapa pun—
Sulaiman masuk. Langkahnya tenang. Sorot matanya tajam. Dan suaranya mengiris udara.

“Kalau kalian percaya takdir, ingat… Allah juga titipkan ilmu pada siapa pun yang mau belajar. Biarkan dia mencoba.”

Tak ada yang membantah.

Malam itu, dua dunia bersentuhan.
Satu dukun, satu bidan.
Satu dari masa lalu, satu dari masa depan. Tapi keduanya punya satu tujuan: menyelamatkan dua nyawa.

Waktu terasa melambat.

Darah, air mata, doa, dan ketegangan menari di ruang sempit itu selama dua jam.

Lalu—
Tangisan bayi pecah menembus malam.

Tangisan itu membelah keheningan.
Seolah menjebol tembok curiga yang selama ini mengepung pulau kecil itu.

Maya memeluk bayi itu sebentar, lalu menyerahkannya pada ibunya. Napasnya berat, tapi matanya bersinar.

Di sampingnya, Mina menatap dalam diam.
Lalu mengangguk kecil.

“Bidan… lo pinter juga ya.”

Maya tertawa kecil, pelan tapi tulus.

“Saya cuma belajar dari orang-orang kayak Ibu.”

***

Pagi itu, Pulau Panggang cerah.
Angin laut lembut berhembus, membawa aroma ikan asap dan suara tawa anak-anak yang bermain di dermaga.

Di balai warga, Maya berdiri bersama Rabani dan Ibu RT, membagikan brosur, senyum tak lepas dari wajahnya.

“Bu, jangan takut ikut KB. Kita bisa konsultasi. Gak semua harus pakai alat. Ada juga cara alami. Tergantung kondisi.”
Suara Maya tenang, tangannya menunjuk poster bergambar sederhana, hasil coretan tangannya sendiri.

Beberapa ibu tertawa pelan. Ada yang mengangguk malu-malu. Tapi ada juga yang hanya saling pandang—takut ketahuan suami.

Dari kejauhan, Rabani tiba-tiba tegang.
Bayangan besar melangkah cepat. Sorban berkibar. Tangan mengepal.

“Mbak Maya, minggir!” teriak Rabani panik.

H. Malik muncul—badan kekar, janggut lebat, golok terselip di pinggang.

“ITU KAMU YANG AJARIN ISTRI GUE MACAM-MACAM?!”
Suaranya membelah keramaian.
“MAU BIKIN KELUARGA GUE GAK BERANAK LAGI?!”

Hening seketika.
Ibu-ibu mundur. Rabani maju satu langkah, berdiri di depan Maya.

“Dari kapan orang luar bisa atur rahim istri orang?!” bentak H. Malik, matanya menyala.

Maya berdiri tenang. Suaranya pelan, tapi mantap.

“Saya nggak maksa, Pak. Tapi Bu Rasti punya risiko besar kalau hamil lagi. Saya bukan melarang—saya mencoba menyelamatkan.”

Tangan H. Malik menyentuh gagang golok.
Satu detik yang terasa panjang.

“Anak itu rezeki! Gue punya sembilan, semua sehat!”

Dari balik kerumunan, Sulaiman muncul.
Langkahnya lambat, suaranya dalam.

“Pak Haji, saya paham maksud Bapak. Tapi Maya tidak menyuruh. Dia memberi pilihan. Ilmu juga dari Allah. Kita boleh pilih, tapi jangan tolak pengetahuan.”

H. Malik diam. Matanya beralih ke istrinya—Bu Rasti—yang berdiri pucat di belakang warga, perutnya masih bengkak dari keguguran terakhir.

Perlahan, tangannya menjauh dari gagang golok.

“Sekali lagi lo ajak istri gue ikut KB, gue beneran pake ini!”
Ia menepuk gagang golok, lalu pergi.

Maya duduk pelan. Rabani cepat-cepat menyodorkan air.
Tangannya gemetar.

Tapi…
Beberapa ibu mulai mendekat.
Pelan-pelan.
Satu-satu.

“Bu Bidan, itu tadi… soal KB alami, bisa dijelasin lagi?”

Maya tersenyum. Lelah. Tapi lega.

Hari itu, satu ketakutan tumbang. Satu pintu terbuka.

Malamnya, hujan turun sejak tengah malam.
Tak deras, tapi cukup membuat lantai kayu rumah H. Malik licin.
Angin memukul-mukul jendela.

Di kamar sempit, rintihan halus pecah di antara suara hujan.

Bu Rasti terbaring, mukena masih melekat di tubuh.
Peluh dingin membasahi wajah. Tangannya mencengkeram dipan.
Darah merembes dari bawah sarung.

“Malik… Sakit, Lik… Sakit banget…”

H. Malik berdiri bingung di ambang pintu.
Panggil Mina. Tak datang.
Ke surau. Sulaiman ke pulau sebelah.

Lalu… hanya satu nama terlintas.
Maya.

Ia berlari menembus hujan. Sarungnya basah. Wajahnya panik.

“Bidan! Bidan Maya! Tolong… istri saya…”

Rumah itu berubah jadi ruang darurat.
Maya tak tanya banyak. Rabani datang membawa peralatan.
Warga menahan napas dari luar.

Pendarahan hebat.
Rahim yang lemah karena kehamilan terlalu sering.
Satu jam pertama kritis.

“Kalau telat sedikit aja, nyawanya bisa nggak selamat…” bisik Rabani.

Maya berjuang. Dua jam.
Jahit luka sambil menahan tangis.
Bukan takut gagal, tapi karena tahu—yang menyelamatkan nyawa kadang bukan hanya ilmu, tapi kesempatan.

Saat fajar muncul, malu-malu di balik atap seng—
H. Malik terduduk di depan rumah. Pucat.

“Bidan…” suaranya pelan. “Istri saya… selamat?”

Maya mengangguk kecil. Senyumnya lelah. Tapi hangat.

“Alhamdulillah… Masih bersama kita, Pak Haji.”

H. Malik menunduk.
Diam.
Lalu—
Ia menangis.

Bukan hanya karena takut kehilangan.

Tapi karena ia sadar—egonya nyaris membunuh orang yang paling ia sayang.

***

Sepekan kemudian.
Balai warga kembali penuh.
Tapi kali ini—bukan untuk protes.
Melainkan untuk dengar.

Dan yang berdiri paling depan, pegang mikrofon, sarung necis, baju koko putih bersih—adalah H. Malik.

“Dengerin baik-baik, ye, anak-anak muda!”
Suaranya lantang, tangannya menunjuk-nunjuk.
“Jangan pikir abis kawin langsung bikin anak tujuh belasan biji! Istri itu bukan mesin pencetak manusia! Ini bukan soal banyak-banyakan. Ini soal keselamatan!”

Warga bengong. Beberapa cekikikan. Tapi gak ada yang berani nyela.
Semua dengar.

“Gue ini dulu kagak percaya sama beginian. Pikir gue, makin banyak anak makin berkah.”
Ia jeda. Matanya menatap jauh.
“Tapi kalo berkahnya harus dibayar sama nyawa istri sendiri… lo mau?!”

Diam. Hening. Tapi semua kena.

Di pojok ruangan, Maya duduk sambil menunduk. Senyum kecil terselip di wajahnya. Rabani di sampingnya menyikut pelan sambil nyengir.

“Sekarang lo punya sekutu paling galak di pulau, Mbak.”

Maya tertawa kecil.
Dan di luar, angin laut berembus pelan, seperti ikut mengiyakan.

***

Kinan menatap Maya yang duduk tenang di kursi kayu, di beranda rumah menghadap laut.
Sinar sore memantul di permukaan air, dan di kejauhan, tawa anak-anak masih terdengar—seolah waktu tak pernah benar-benar bergeser.

“Ibu nggak pernah pulang ke Jawa lagi?” tanya Kinan, pelan.

Maya menggeleng, senyumnya lembut.

“Pulau ini rumah saya, Kin. Laut ini, anak-anak ini… semuanya sudah jadi bagian dari hidup saya. Di sini saya dimaki. Tapi juga diterima. Di sini saya jatuh. Tapi juga belajar.”

Matanya menatap langit jingga yang mulai meredup di ujung horizon.

“Saya memang sudah pensiun. Tapi kadang, ibu-ibu masih datang. Nanya soal kandungan. Minta didampingi. Kalau prosesnya agak sulit… ya saya turun juga. Nggak bisa diam.”

Kinan diam.
Di depannya, duduk seorang perempuan yang bukan sekadar bidan. Tapi penjaga nyawa. Penenang luka. Perawat harapan yang nyaris padam.

“Saya nggak pernah punya anak kandung, Kin…” Maya berkata pelan.
“Tapi saya punya ratusan anak yang saya bantu lahir. Dan itu cukup. Lebih dari cukup.”

Ia tersenyum.
Dan laut sore seolah ikut tersenyum bersamanya.

***

Di sebuah pulau kecil yang lampunya padam jam sembilan malam, seorang perempuan datang tanpa sorotan. Ia tak membawa pangkat, hanya keinginan untuk menjaga nyawa.

Namanya Maya. Seorang bidan. Seorang perempuan.
Yang datang bukan untuk dicintai—tapi untuk bertahan.

Ia ditolak, dicurigai, bahkan diancam. Tapi ia tinggal. Ia menyelamatkan. Ia jadi bagian dari pulau yang awalnya ingin menolaknya.

Kini kisahnya selesai. Untuk sementara.

Tapi cerita Ning belum selesai.
Dan bab selanjutnya akan lebih sunyi, lebih gelap—karena kadang yang paling mengancam bukan laut yang bergelora… tapi data yang dibaca tanpa jiwa.

Ning akan kembali.
Dan kali ini, dia akan melawan sesuatu yang tak punya wajah, tapi memutus hidup: angka-angka.

Nantikan kisah selanjutnya: TERJEBAK ANGKA
Sebuah cerita tentang batas keputusan, tekanan sistem, dan perempuan yang tak ingin jadi korban statistik.

*Kisah ini fiktif. Nama, tempat, dan peristiwa dalam cerita ini hanyalah karangan penulis semata dan tidak berhubungan dengan kejadian nyata. Jika terdapat kemiripan dengan peristiwa atau tokoh nyata, itu hanyalah kebetulan belaka.

Bagaimana Anda menilai informasi ini? Berikan reaksi Anda!