Cerpen  

Bara dalam Sekam

Avatar photo

Lania menggigit bibirnya, matanya berkaca-kaca. “Jadi nggak ada cara lain?”

Kinan menggeleng dengan tegas. “Aku ingin kalian mendukungku. Aku ingin mengabdi di tempat yang lebih membutuhkan. Aku ingin membesarkan sesuatu yang sudah lama aku perjuangkan.”

Beno akhirnya tersenyum kecil, meskipun berat. “Kalau itu pilihan Abangda, kami nggak bisa menahan. Kami akan dukung dengan sepenuh hati.” Suaranya bergetar sedikit, menunjukkan betapa sulit keputusan ini bagi mereka semua.

Lania menghela napas panjang, lalu tersenyum tipis. “Kalau itu jalan Bang Kinan, aku akan hormati. Tapi jangan lupakan kami, ya. Kami akan selalu mendukungmu.”

Kinan tertawa kecil, menepuk bahu mereka dengan penuh kasih. “Mana mungkin aku lupa? Kalian selalu jadi bagian dari perjalananku. Kita adalah tim yang tak terpisahkan.”

Suasana di meja itu berubah. Ada kesedihan yang mendalam, tetapi juga ada kepercayaan yang tak tergoyahkan. Ini bukan akhir, hanya awal dari perjalanan baru yang penuh tantangan dan harapan.

*****

Dua Hari Sebelum Pemilihan…

Di sebuah ruangan dengan cahaya lampu temaram, Wirata duduk bersandar santai di kursi kulit, jemarinya mengetuk-ngetuk meja seolah sedang menikmati permainan ini. Senyum miring menghiasi wajahnya yang licik, matanya penuh ejekan. Di hadapannya, Sutarna tampak gelisah. Pak Pranoto berdiri dengan wajah tegang, tangannya mengepal di pinggang.

“Sutarna! Saya minta kamu atur Kinan! Saya sudah bilang, dia tidak boleh mencalonkan diri! Kenapa sampai sekarang dia masih tetap maju?!”

Sutarna menelan ludah, mencoba tetap tenang. “Pak, saya sudah mencoba, tapi Kinan keras kepala. Dia punya tekad yang kuat untuk tetap maju.”

Wirata tertawa kecil, lalu bersuara dengan nada meremehkan. “Kinan itu nggak tahu diri, Pak. Dia pikir dia siapa? Hanya karena dia bisa bikin kampanye kemanusiaan, bukan berarti dia bisa jadi pemimpin. Apa dia kira mengelola donasi sama dengan memimpin kabupaten? Sia-sia saja, dia nggak akan mampu.”

Pak Pranoto menggebrak meja, suaranya menggelegar di ruangan yang sunyi. “Saya tidak mau tahu! Saya sudah punya calon yang harus menang! Kinan memang hebat, saya akui itu, tapi saya tidak bisa kehilangan dia di provinsi. Tanpa dia, publikasi kita bisa berantakan!”

Wirata kembali tersenyum sinis, tatapannya penuh konspirasi. “Biarkan saja dia maju, Pak. Nanti kita lihat sendiri bagaimana dia jatuh. Tapi kalau Bapak ingin aman, saya bisa pastikan pemilik suara memilih calon kita. Percayakan pada saya.”

Pak Pranoto menghela napas, menatap Sutarna dengan pandangan penuh harap. “Lakukan sesuatu. Pastikan Kinan kalah sebelum pertarungan dimulai.”

Sutarna merasa napasnya semakin berat, tangannya gemetar. “Pak, kalau kita melakukan ini, dampaknya bisa besar. Kinan punya pendukung yang kuat. Mereka tidak akan diam saja.”

Wirata mengangkat alis, tersenyum lebih lebar, ekspresinya penuh kemenangan. “Itulah indahnya permainan politik, Sutarna. Kita hanya perlu memastikan mereka tidak punya pilihan lain. Serahkan pada saya, Pak.”

Pak Pranoto mengangguk pelan, akhirnya merasa sedikit lega. “Baik, saya percayakan pada kalian. Jangan sampai ada kegagalan.”

Respon (1)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *