Ning tersenyum hangat, menghapus kekhawatiran dari wajahnya. “Kita akan melalui ini bersama, Kinan. Apa pun yang terjadi, kita akan hadapi bersama.”
Keduanya berpelukan erat, merasakan kehangatan dan kekuatan dari satu sama lain. Di luar jendela, malam semakin pekat. Angin berhembus pelan, seolah membawa tanda bahwa badai akan segera datang, tetapi di dalam kamar itu, ada keyakinan bahwa cinta dan dukungan akan mengatasi segala tantangan.
*****
Lima Hari Sebelum Pemilihan…
Di sebuah warung kecil di pinggir kota, Kinan duduk berhadapan dengan Rangga, kakaknya. Dua cangkir kopi hitam mengepul di meja di antara mereka. Rangga menatap adiknya dengan sorot mata penuh kebanggaan, tetapi juga keprihatinan.
“Kinan, aku tahu kamu punya kemampuan lebih dari cukup untuk memimpin kabupaten ini. Aku juga nggak kaget kamu akhirnya maju, karena aku tahu bagaimana kamu bekerja. Tapi…” Rangga menarik napas panjang, menatap lurus ke mata adiknya. “Kamu harus sadar, permainan ini lebih besar dari yang kamu kira. Tekanan dari provinsi itu nyata, dan mereka sudah merancang ini jauh sebelum kamu memutuskan maju.”
Kinan mengaduk kopinya pelan, seolah mencerna kata-kata kakaknya. “Aku tahu, Rangga. Aku bukan orang naif. Tapi justru karena aku tahu, aku nggak bisa mundur begitu saja. Kabupaten ini butuh pemimpin yang benar-benar peduli, bukan sekadar kepanjangan tangan dari provinsi.”
Rangga tersenyum kecil, mencengkeram cangkir kopinya. “Dulu, kamu yang mengajakku ke lembaga ini. Aku banyak belajar dari kamu, Kinan. Walaupun aku kakakmu, aku selalu kagum dengan caramu bekerja. Tapi kali ini, aku ingin kamu realistis. Kalau kamu tetap maju, mereka tidak akan tinggal diam. Dan kamu tahu, orang-orang yang terlibat ini bukan orang sembarangan.”
Kinan menatap kakaknya, matanya penuh tekad. “Justru karena aku tahu siapa mereka, aku ingin melawan. Aku nggak bisa membiarkan mereka menentukan siapa pemimpin kabupaten ini tanpa perlawanan. Kalau aku kalah, biarlah aku kalah dengan cara terhormat. Tapi aku tidak akan mundur sebelum bertarung.”
Rangga menatap adiknya lama, lalu menghela napas panjang. “Aku tahu kamu nggak akan berubah pikiran. Kalau begitu, aku hanya bisa bilang satu hal: hati-hati, Kinan. Aku mendukungmu, tapi aku juga tahu permainan ini kotor. Jangan sampai kamu terjebak.”
Kinan tersenyum, menepuk bahu kakaknya. “Terima kasih, Rangga. Aku butuh dukungan itu. Aku tahu ini tidak akan mudah, tapi aku tidak sendirian.”
Rangga mengangguk pelan, menatap adiknya dengan penuh kebanggaan. “Aku selalu bangga padamu, Kinan. Kamu punya keberanian dan integritas yang jarang dimiliki orang lain. Tapi ingatlah, dalam politik, segala sesuatu bisa berubah dengan cepat. Jadilah cerdik dan waspada.”
Kinan mengangguk, matanya penuh determinasi. “Aku akan ingat itu, Rangga. Aku tidak akan biarkan mereka menjatuhkanku tanpa perlawanan. Aku akan berjuang hingga akhir.”
Rangga menyesap kopinya, merasakan kehangatan yang menyebar di tubuhnya. “Kita semua mendukungmu, Kinan. Keluarga, teman-teman, dan banyak orang yang percaya padamu. Jangan biarkan mereka kehilangan harapan.”
Berikan komentar anda untuk kisah ini, kami sangat menanti masukan dan saran dari anda!