“Terima kasih, Pak Sutarna, bro Wirata. Aku justru bersyukur ada momen seperti ini. Sekarang aku tahu siapa yang benar-benar tulus berteman denganku, dan siapa yang selama ini hanya menjadi bara dalam sekam. Aku juga belajar bahwa tidak semua orang menghargai kesetiaan dan pertemanan.”
Sutarna mengerutkan kening. “Jangan bodoh, Kinan. Ini realitas.”
Kinan mengangguk pelan. “Ya, aku tahu. Dan justru karena aku tahu realitasnya seperti ini, aku tidak akan mundur. Aku akan tetap maju, berapa pun suara yang kudapatkan. Aku ingin melihat sendiri sampai sejauh mana permainan kalian. Aku siap dengan risiko terburuk.”
Wirata menyeringai, matanya memancarkan ejekan yang lebih tajam. “Kau pikir ini permainan, Kinan? Kau akan hancur. Semua yang kau bangun akan runtuh. Kau akan menyesal telah menantang kami.”
Sutarna menatap Kinan dengan pandangan penuh rasa kasihan. “Kau sedang menggali kuburanmu sendiri, Kinan. Kau keras kepala, dan itu akan menghancurkanmu.”
Kinan berdiri, menyelipkan tangannya ke saku. “Terima kasih atas tawarannya, tapi aku tidak tertarik. Aku akan tetap maju. Kita lihat saja.”
Tanpa menunggu jawaban, Kinan melangkah keluar. Di luar ruangan, suara dari tempat acara pemilihan mulai terdengar samar. Udara terasa lebih berat, tetapi hatinya lebih mantap dari sebelumnya. Kini, ia benar-benar tahu siapa kawan, siapa lawan, dan siapa yang hanya memanfaatkan pertemanan untuk kepentingan mereka sendiri.
*****
Saat Pemilihan Dimulai…
Kinan menaiki podium dengan langkah mantap. Sorot lampu menerangi wajahnya yang tetap tenang meskipun atmosfer ruangan terasa berat. Suara riuh rendah dari peserta memenuhi aula, menciptakan suasana tegang namun penuh antisipasi. Bisikan-bisikan terdengar di antara peserta yang duduk di kursi mereka. Sebagian mengangguk setuju, sebagian lagi berbisik sinis.
“Percuma, hasilnya sudah ditentukan,” ucap seseorang di barisan belakang. “Dia keras kepala. Untuk apa maju kalau sudah tahu bakal kalah?” timpal yang lain.
Namun di sudut ruangan, Rangga, kakaknya, menatap dengan bangga. Ia tahu, adiknya tidak akan mundur meskipun segalanya telah diatur. Sementara itu, Beno menggigit bibirnya, matanya berkaca-kaca. Baginya, Kinan bukan hanya seorang pemimpin, tapi juga mentor yang telah membimbingnya hingga mampu berdiri tegak di lembaga ini.
Di sisi lain, Sutarna dan Wirata duduk dengan wajah kaku. Mereka tidak menyangka Kinan benar-benar naik podium dan berbicara di hadapan semua orang seolah tidak terjadi apa-apa. Tatapan mereka penuh ketidaksukaan, tetapi tidak bisa disangkal, ada sedikit kegelisahan di mata mereka.
Kinan menarik napas dalam, lalu mulai berbicara dengan suara yang mantap, tidak sedikit pun bergetar.
“Saya berdiri di sini bukan untuk menentang siapa pun. Saya berdiri di sini karena saya ingin lembaga kemanusiaan ini kembali menjadi rumah bagi mereka yang benar-benar ingin mengabdi,” katanya.
Kinan berhenti sejenak, menatap peserta satu per satu sebelum melanjutkan, “Program pertama saya adalah menghidupkan kembali dan memberi keleluasaan bagi relawan agar mereka bisa berperan lebih aktif. Relawan adalah jantung dari lembaga ini, dan mereka harus diberi ruang untuk berkontribusi lebih besar.“
Berikan komentar anda untuk kisah ini, kami sangat menanti masukan dan saran dari anda!