Dalam lansiran berita yang sering muncul di media, kritik terhadap pejabat yang jarang hadir di tempat kerja, khususnya di wilayah pulau, menjadi isu yang terus diangkat. Namun, jika ditelaah lebih dalam, pola kritik ini sering kali mencerminkan model usang yang digunakan oleh pihak-pihak tertentu dengan agenda tersembunyi. Kritik semacam ini tidak hanya menyudutkan pejabat, tetapi juga sering kali memiliki maksud lain atau kepentingan politik tertentu.
Pola kritik terhadap pejabat yang jarang hadir di lokasi kerja sering kali didasarkan pada narasi bahwa absensi mereka menghambat pelayanan publik. Namun, narasi ini tidak selalu mencerminkan realitas di lapangan. Banyak pejabat yang tetap menjalankan tugasnya dengan efektif melalui koordinasi jarak jauh, teknologi, dan delegasi kepada tim di lapangan. Kritik yang terus-menerus mengangkat isu ini tanpa mempertimbangkan konteks modernisasi birokrasi menunjukkan pendekatan yang sudah ketinggalan zaman.
Pihak-pihak yang mengkritisi sering kali menggunakan media sebagai alat untuk membangun opini publik yang menyudutkan pejabat. Namun, di balik kritik tersebut, ada indikasi bahwa mereka memiliki agenda lain, seperti mendapatkan perhatian untuk proyek tertentu atau memperkuat posisi tawar dalam negosiasi politik. Pola ini menjadi ciri khas pemain lama yang masih mengandalkan strategi lama untuk mencapai tujuan mereka.
Kisah Seru : Pewaris Panglima Hitam
Selain itu, kritik terhadap pejabat yang jarang hadir di tempat kerja sering kali mengabaikan fakta bahwa banyak wilayah pulau memiliki keterbatasan infrastruktur yang membuat kehadiran fisik pejabat menjadi kurang efisien. Dalam era digital, banyak tugas administratif dan koordinasi yang dapat dilakukan secara virtual, sehingga kehadiran fisik tidak selalu menjadi indikator kinerja yang baik.
Baca juga:
Pola kritik ini juga sering kali digunakan sebagai alat untuk menciptakan persepsi negatif terhadap pejabat tertentu, terutama jika mereka dianggap tidak mendukung agenda pihak pengkritik. Dengan memanfaatkan media, pihak-pihak ini dapat membangun narasi yang menguntungkan mereka, meskipun narasi tersebut tidak sepenuhnya akurat atau relevan.
Baca : Langkah Yang Tak Terhentikan
Namun, penting untuk diingat bahwa kritik semacam ini tidak selalu mencerminkan kepentingan masyarakat luas. Sebaliknya, kritik tersebut sering kali lebih berfokus pada kepentingan kelompok tertentu yang ingin mendapatkan keuntungan dari situasi tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa pola kritik terhadap pejabat yang jarang hadir di tempat kerja lebih sering digunakan sebagai alat politik daripada sebagai upaya untuk meningkatkan pelayanan publik.
Baca juga:
Sebagai penulis, saya berpendapat bahwa pola kritik semacam ini perlu ditinggalkan. Dalam era modern, pendekatan terhadap birokrasi dan kepemimpinan harus lebih adaptif dan inovatif. Kritik yang konstruktif dan berbasis fakta jauh lebih efektif dalam mendorong perubahan positif daripada kritik yang hanya berfokus pada absensi fisik pejabat.
Penting bagi masyarakat untuk lebih kritis dalam menilai narasi yang disampaikan oleh media. Tidak semua kritik mencerminkan kepentingan publik, dan sering kali kritik tersebut lebih mencerminkan agenda tersembunyi dari pihak-pihak tertentu. Dengan memahami konteks dan motivasi di balik kritik tersebut, masyarakat dapat lebih bijak dalam menilai kinerja pejabat.
Akhirnya, pola kritik terhadap pejabat yang jarang hadir di tempat kerja harus dilihat sebagai sesuatu yang usang. Dalam era digital dan modernisasi birokrasi, kehadiran fisik bukan lagi satu-satunya indikator kinerja. Sebaliknya, fokus harus diarahkan pada hasil kerja dan dampak positif yang dihasilkan oleh pejabat, terlepas dari lokasi mereka.
