*, Kisah  

Perawan Pencabut Nyawa

“Semua karakter, peristiwa, dan lokasi dalam kisah ini adalah fiksi dan tidak memiliki hubungan dengan kejadian nyata. Penulis berharap pembaca menikmati kisah ini sebagai hiburan semata dan tidak menganggapnya sebagai fakta sejarah.”

Bab 11.0: Perawan Pencabut Nyawa

Sulaiman berdiri di tengah halaman rumahnya, tubuhnya berlumuran darah, napasnya berat. Tujuh sosok bertopeng berbaju hitam mengepungnya, langkah mereka ringan namun mematikan.

Hasanah berlutut di tanah, memegang tubuh Zainudin yang sudah tak bergerak. “Sulaiman… mereka terlalu kuat!” teriaknya, suaranya bergetar di tengah gemuruh malam.

“Aku tidak akan tunduk!” Sulaiman menggenggam pedangnya lebih erat, matanya menyala penuh perlawanan.

Seorang dari mereka melesat dengan cepat—serangannya berputar bagai bayangan, Sulaiman mengangkat pedang, menangkis dengan dentingan yang menggema di udara.

“Hiyaaaaa!” teriaknya, melompat ke depan, membelah ruang di antara para penyerang.

Pedangnya berhasil melukai satu dari mereka, tapi sebelum ia bisa menarik napas, dua bilah belati melesat dari sisi lain—menembus bahunya!

Sulaiman mundur, darah mengalir dari luka yang dalam. Hasanah melihat itu dan berteriak, “Tidak! Kalian jangan menyentuh suamiku!” Ia mencoba bangkit, tapi satu dari mereka menghantam tubuhnya dengan tendangan keras—Hasanah tersungkur, kepalanya terbentur tanah.

Zainudin sudah tergeletak tanpa daya, tubuhnya dipenuhi luka. Cahaya bulan menyorot wajahnya yang pucat, sementara darahnya mengalir membentuk genangan.

Salah satu dari mereka, sosok paling tinggi dengan sebelah mata tertutup kain, melangkah ke arah Sulaiman. “Kau sudah kalah. Patih Suryanata tidak akan melindungimu lagi.”

Sulaiman mengatupkan rahangnya. “Aku tidak peduli siapa yang mengutus kalian!” Ia mengayunkan pedangnya sekali lagi, tetapi tubuhnya semakin lemah—seorang dari mereka menyelinap di belakangnya dan menghunjamkan belati ke punggungnya.

Sulaiman tersentak, lututnya jatuh ke tanah. Hasanah berusaha merangkak mendekatinya, tapi tubuhnya tidak lagi bisa bergerak.

Malam di Desa Tanjung Pasir menjadi saksi pembantaian itu. Angin laut membawa suara lirih Hasanah yang memanggil nama suaminya untuk terakhir kali, sebelum akhirnya semua senyap, hanya gelombang pasang yang menyapu pantai dengan dingin.

*****

Rahma tersentak bangun dari tidurnya, tubuhnya basah oleh keringat. “Tidaaaaaak!” teriaknya, suaranya menggema di kamar tidur sederhana yang hanya diterangi oleh lampu minyak.

“Ayah, Ibu, kalian kenapa?” Rahma memegang dadanya, napasnya tersengal-sengal, matanya penuh ketakutan.

Pintu kamar terbuka dengan cepat. Ibrahim, paman Rahma, masuk bersama istrinya, Juhana. “Rahma, ada apa?” tanya Ibrahim, suaranya penuh kekhawatiran. Juhana mendekat, memegang bahu Rahma yang gemetar. “Kamu mimpi buruk lagi, Nak?”

Rahma mengangguk, matanya masih terpaku pada bayangan mimpi yang menghantuinya. “Aku melihat Ayah dan Ibu… mereka dalam bahaya. Aku merasa ada sesuatu yang buruk akan terjadi.”

Ibrahim dan Juhana saling berpandangan, wajah mereka berubah tegang. Sebelum mereka sempat berbicara, suara langkah kaki terdengar dari luar rumah. Ketukan keras di pintu depan memecah keheningan.

Ibrahim bergegas membuka pintu, dan di sana berdiri seorang warga desa dengan wajah pucat.

“Pak Ibrahim, ada pembunuhan brutal di Desa Tanjung Pasir!” katanya dengan suara gemetar. “Sulaiman, Hasanah, dan Zainudin… mereka…”

Rahma berdiri dari tempat tidurnya, tubuhnya gemetar. “Apa yang terjadi? Katakan!” teriaknya, matanya penuh dengan air mata.

Warga itu menunduk, suaranya hampir tak terdengar. “Mereka… mereka dibunuh oleh sekelompok orang bertopeng. Desa Tanjung Pasir penuh darah…”

Rahma jatuh berlutut, tangannya mencengkeram lantai kayu. “Tidak… ini tidak mungkin…” bisiknya, suaranya pecah oleh tangis.

Ibrahim mencoba menenangkan Rahma, tapi gadis itu sudah tenggelam dalam kesedihan dan kemarahan.

*****

Rahma berlutut di depan makam tanah merah orang tuanya, jemarinya mencengkeram tanah basah yang masih lembap oleh hujan semalam.

Air mata bercampur dengan lumpur di jarinya, seolah ingin menyatu dengan tanah yang kini menjadi persemayaman terakhir mereka.

“Ayah… Ibu…” bisiknya lirih, suaranya gemetar. Rasa sakit mengoyak jiwanya, seperti ombak yang terus menghantam batu karang tanpa henti.

Di sekelilingnya, warga desa berdiri dalam kesunyian, wajah-wajah mereka penuh kesedihan dan kehilangan.

Sulaiman bukan sekadar seorang juru mudi kapal perang Kesultanan Demak—dia adalah seorang dermawan, seorang guru, seorang ayah yang dihormati banyak orang.

Bahkan, kabar kematiannya telah sampai ke telinga Sultan sendiri—itulah mengapa pemakamannya dilakukan dengan penuh penghormatan, laiknya seorang pembesar kerajaan.

Tangisan lirih terdengar dari beberapa warga, sementara pembesar Kesultanan yang datang memberikan penghormatan terakhir.

Di antara mereka, ada yang menggenggam kain lusuh yang pernah dimiliki Sulaiman, seakan ingin tetap menyimpan jejaknya dalam kenangan.

Namun, kesedihan yang menggantung di udara segera berubah menjadi ketegangan saat langkah berat menggema dari ujung jalan makam.

Patih Suryanata muncul dengan beberapa pengawal kerajaan, wajahnya penuh wibawa, namun tetap terkesan muram. Ia datang untuk memberikan penghormatan, namun sebelum sempat membuka suara, Rahma menoleh dengan mata penuh amarah.

“Kau pembunuhnya! Kau yang menyuruh mereka membantai Ayah dan Ibu!” teriak Rahma dengan suara yang bergetar oleh kemarahan dan kesedihan.

Tubuhnya gemetar, jemarinya mencengkeram tanah lebih erat, seperti ingin menarik kembali orang tuanya dari kematian.

Ibrahim dan Juhana terkejut dengan tuduhan itu. Ibrahim segera meraih bahu Rahma, berusaha menenangkannya. “Rahma, kau harus tenang. Kita belum tahu pasti siapa yang ada di balik semua ini.”

Rahma menepis tangan pamannya, air mata masih membasahi wajahnya. “Tapi aku tahu! Aku menemukan ini!”

Dengan tangan gemetar, ia mengeluarkan sebuah cincin emas dengan lambang Kesultanan Demak. “Cincin ini milik Patih Suryanata! Aku menemukannya di dekat tubuh Ayah!”

Bisik-bisik dari warga semakin kencang, beberapa wajah mulai berubah pucat. Kecurigaan tumbuh seperti bara yang disiram minyak.

Patih Suryanata menatap cincin itu dengan dahi berkerut. “Rahma, aku tidak tahu bagaimana cincin itu sampai di sana. Tapi aku bersumpah—aku tidak pernah memerintahkan pembunuhan ini.”

Rahma menggertakkan giginya, jantungnya berdegup kencang. “Pembohong! Jangan berpura-pura tidak tahu! Aku tidak akan memaafkanmu!”

Di kejauhan, seorang wanita berkerudung gelap tersenyum tipis—Nyai Tunjung Biru. Benih kebencian yang ia tanam sudah mulai berakar.

*****

Rahma masih berlutut di depan makam orang tuanya, jemarinya mencengkeram tanah merah yang mulai mengering.

Bekas hujan masih terlihat di beberapa sudut, menyisakan aroma tanah basah yang bercampur dengan keheningan duka. Udara sore terasa berat, seperti ikut menahan kesedihan yang melingkupi gadis itu.

Di kejauhan, suara burung camar terdengar samar-samar dari arah pantai, namun Rahma tak menghiraukannya. Matanya nanar, penuh kemarahan dan kehilangan.

Ia menggigit bibirnya, mencoba menahan amarah yang semakin berkobar di dalam dadanya. Bagaimana mungkin dunia begitu kejam? Bagaimana mungkin orang tuanya, sosok yang paling ia cintai, dihabisi dengan begitu keji?

Angin berembus pelan, membawa bayangan seseorang yang perlahan mendekat dari balik pepohonan rindang. Sosok itu berjalan tenang, seolah tak ingin mengusik kesedihan yang melingkupi Rahma.

Nyai Tunjung Biru muncul dengan langkah halus, jubahnya berkibar sedikit terkena angin. Wajahnya teduh, tetapi di balik kelembutan itu tersembunyi sesuatu—sesuatu yang akan mengubah nasib Rahma selamanya.

“Nak, kau masih di sini?” suara Nyai Tunjung Biru mengalun pelan, hampir seperti bisikan yang terbawa oleh angin sore.

Rahma tidak menjawab. Hanya desahan napas berat yang keluar dari bibirnya.

Nyai Tunjung Biru menatap makam itu, lalu menarik napas dalam, seolah turut berduka. “Dunia ini memang kejam, Rahma… Mereka yang lemah akan selalu diinjak-injak.”

Rahma menoleh pelan, matanya berkilat. “Siapa yang membunuh mereka? Aku ingin tahu siapa dalangnya!”

Nyai Tunjung Biru tersenyum tipis, lalu menunduk seolah ingin menunjukkan rasa hormat kepada makam itu. “Kau harus tahu, Rahma… Pembunuhan ini bukan tanpa alasan. Mereka menginginkan sesuatu.”

Rahma mengernyit, wajahnya semakin tegang. “Siapa mereka?”

Nyai Tunjung Biru menatapnya dengan tajam, lalu berjalan lebih dekat, suaranya makin lirih. “Patih Suryanata… dan Nayaka.”

Jantung Rahma seolah berhenti berdetak sejenak. “Nayaka… Nayaka terlibat?”

Nyai Tunjung Biru tersenyum tipis, lalu melanjutkan dengan suara yang lebih menekan. “Dan kau tahu? Nayaka sudah merebut seseorang darimu. Mereka sudah menjadi suami istri, Rahma. Nayaka kini adalah istri dari Saga.”

Seolah ada petir yang menyambar di kepalanya, Rahma mundur beberapa langkah. Matanya melebar, tubuhnya gemetar. “Tidak… Tidak mungkin…”

Rahma berdiri terpaku, tubuhnya gemetar. Kata-kata Nyai Tunjung Biru menggema di kepalanya, menghantam seperti gelombang besar yang tak henti-hentinya.

“Saga… dan Nayaka… sudah menikah?” suaranya hampir tak terdengar, hanya bisikan yang penuh luka.

Matanya membelalak, air mata mengalir deras tanpa bisa ia tahan. “Tidak… ini tidak mungkin…” Rahma mundur beberapa langkah, tangannya mencengkeram dadanya yang terasa sesak. “Saga tidak mungkin melakukan ini padaku…”

Nyai Tunjung Biru mendekat, suaranya lembut namun penuh tekanan. “Rahma, aku tahu ini sulit bagimu. Tapi kau harus menerima kenyataan. Nayaka telah merebut Saga darimu, dan sekarang mereka hidup bahagia sementara kau kehilangan segalanya.”

Rahma jatuh berlutut di depan makam orang tuanya, tangisnya pecah. “Ayah… Ibu… kenapa kalian meninggalkanku? Kenapa dunia ini begitu kejam?”

Nyai Tunjung Biru menunduk, meletakkan tangannya di bahu Rahma. “Nak, kau tidak perlu terus menderita seperti ini. Kau punya pilihan. Kau bisa bangkit, kau bisa membalas mereka yang telah menghancurkan hidupmu.”

Rahma mengangkat wajahnya, matanya yang basah kini mulai menyala dengan api kemarahan. “Bagaimana caranya? Aku tidak punya apa-apa lagi…”

Nyai Tunjung Biru tersenyum tipis, matanya penuh dengan keyakinan. “Aku akan membawamu kepada seseorang yang bisa memberimu kekuatan.

Nyai Kelabang Geni. Dia akan melatihmu, memberimu ilmu kesaktian yang tak tertandingi. Dengan itu, kau bisa membalas dendam kepada mereka yang telah menghancurkan keluargamu.”

Rahma terdiam, pikirannya berkecamuk. Kemarahan dan kesedihan bercampur menjadi satu, membentuk tekad yang perlahan tumbuh di dalam dirinya.

Nyai Tunjung Biru melanjutkan, suaranya semakin menekan. “Kau tidak perlu takut, Rahma. Aku akan membantumu. Bersama-sama, kita akan menghabisi mereka yang telah merenggut segalanya darimu.”

Rahma mengangguk pelan, air matanya masih mengalir. “Baik… Aku akan melakukannya. Aku akan belajar. Aku akan menjadi kuat.”

Nyai Tunjung Biru tersenyum puas, lalu berdiri. “Ayo, Rahma. Kita mulai perjalanan ini. Dunia akan tahu bahwa kau bukan lagi gadis lemah. Kau akan menjadi Perawan Pencabut Nyawa.”

Angin laut berhembus kencang, membawa serpihan ombak yang menyapu hamparan pasir putih. Cahaya matahari senja membias di permukaan air, menciptakan bayangan panjang dari seorang wanita berbusana gelap yang berdiri di ujung tebing. Rahma.

“Hiyaaaa!” terdengar suara teriakan yang membelah kesunyian. Rahma melesat ke udara, tubuhnya berputar, kedua tangannya bergerak cepat dalam jurus Tebasan Bunga Krisan.

Dentuman keras menggema saat energi dari pukulannya menghantam permukaan laut, menciptakan gelombang yang pecah seolah membelah samudera.

Nyai Kelabang Geni berdiri di kejauhan, memperhatikan muridnya dengan senyuman samar. Rahma bukan sekadar murid biasa.

Dalam hitungan bulan, ia telah menyerap ilmu kesaktian dengan kecepatan luar biasa—bakatnya seakan terukir sejak lahir.

Rambut biru tua Rahma berkibar diterpa angin. Pakaian gelap yang membalut tubuhnya semakin mempertegas perubahan dalam dirinya—tidak ada lagi kelembutan, hanya kekelaman dan amarah. Matanya tajam, tanpa emosi.

Ia tidak lagi berbicara tentang cinta, tentang harapan—hanya tentang dendam, dan tentang lelaki yang akan jatuh di tangannya tanpa belas kasih.

Di bawah ajaran Nyai Kelabang Geni, Rahma telah mencabut banyak nyawa tanpa ragu. Tidak ada permohonan ampun yang bisa menyelamatkan mereka.

Ia telah menjadi legenda yang menggentarkan hati banyak orang—Perawan Pencabut Nyawa.

Pulau Pari kini menyimpan jejak kemarahan seorang wanita yang telah kehilangan segalanya. Dan Rahma, dengan ilmu yang semakin sempurna, akan segera menuntut balasannya.

*****

Di tengah lautan yang berombak liar, sebuah batu karang menjulang di tepi pantai—tempat di mana seorang wanita kini duduk bersila, tubuhnya diam seperti patung, tetapi auranya begitu mencekam. Rahma.

Sudah sebulan ia bersemedi di sana. Tanpa makan, tanpa minum. Hujan, terik matahari, angin yang menghantam tubuhnya dengan ganas—semua ia lalui tanpa goyah.

Motivasinya hanya satu: dendam.

Jubahnya yang dahulu hanya gelap kini mulai penuh bercak debu dan sisa air laut. Wajahnya bukan lagi milik gadis yang dulu meratapi kehilangan. Ia kini dingin, tanpa emosi, tanpa belas kasih.

Dan kini, saat bulan purnama muncul di ufuk timur, Rahma membuka matanya.

Tatapannya tajam. Kelam. Memancarkan aura yang seakan mampu menggetarkan laut di bawahnya.

Di kejauhan, Nyai Kelabang Geni mengamati muridnya dengan penuh kepuasan.

“Rahma… kau telah menyelesaikan cobaanmu.” Suaranya terdengar samar di tengah deru ombak, tetapi Rahma mendengar setiap kata dengan jelas.

Rahma menoleh pelan, tubuhnya perlahan bangkit dari posisi duduknya. Ia sudah bukan manusia biasa.

Ia telah menguasai Tapak Racun Geni, ilmu pamungkas yang hanya diwariskan kepada mereka yang mampu bertahan di ambang maut.

Nyai Kelabang Geni tersenyum tipis, lalu mengangkat tangannya ke langit. “Saatnya aku kembali ke Gunung Karakatau. Kau tak perlu lagi bimbinganku, Rahma. Kau telah menjadi sesuatu yang jauh lebih kuat daripada yang pernah kubayangkan.”

Rahma tidak menjawab. Angin malam meniup rambut biru tuanya, matanya menatap lurus ke arah gelombang laut yang pecah di batu karang.

Di sinilah Perawan Pencabut Nyawa benar-benar lahir.

******

Di sebuah gubuk tua yang tersembunyi, Nyai Tunjung Biru duduk bersila, matanya menatap ke dalam cahaya lilin yang berkelap-kelip di depannya. Tak jauh darinya, Rangga Wisesa berdiri dengan tangan terlipat di dada, senyumnya penuh kemenangan.

“Gadis itu sudah menjadi milik kita,” Rangga berbicara dengan nada puas, matanya menyipit tajam. “Rahma kini bukan lagi sekadar gadis yang menangisi kehilangan.

Dia adalah alat sempurna untuk menghancurkan Patih Suryanata dan Nayaka.”

Nyai Tunjung Biru tersenyum tipis, jemarinya menyusuri permukaan meja tempat sejumlah gulungan naskah kuno bertebaran. “Semuanya berjalan sesuai rencana. Kebenciannya begitu dalam, bahkan lebih dari yang kita perkirakan.”

Nyai Tunjung Biru duduk dengan anggun, jemarinya memainkan jalinan benang hitam di tangannya, seolah sedang merajut sesuatu yang jauh lebih kompleks daripada sekadar kain.

Di hadapannya, Rangga Wisesa berdiri dengan tangan terlipat di dada, matanya menyipit tajam menatap gurunya.

“Aku ingin tahu, Guru…” suara Rangga terdengar datar, namun di balik nada itu ada kegelisahan yang terselubung.

“Mengapa kau membentuk Rahma menjadi seperti ini? Apakah benar dia hanya alat bagi kita untuk menghancurkan Patih Suryanata?”

Nyai Tunjung Biru tersenyum tipis, lalu meletakkan benang yang ia mainkan ke atas meja. “Kau masih meragukan niatku, Rangga?” suaranya terdengar lembut, tetapi ada sesuatu di balik kelembutan itu yang membuat udara di dalam gubuk terasa lebih dingin.

Rangga mengepalkan tangannya. “Tidak, aku hanya ingin memastikan. Kita tahu betul, Rahma bukan orang biasa. Kekuatan yang ia miliki berkembang lebih cepat dari yang kita bayangkan. Jika suatu hari ia menyadari bahwa kita memanfaatkannya, apa yang akan terjadi?”

Nyai Tunjung Biru tertawa pelan, lalu menatap api lilin yang berkelap-kelip di depannya. “Rahma adalah pedang yang sedang kita asah, Rangga. Pedang yang tajam tidak akan mempertanyakan siapa yang memegang gagangnya. Ia hanya akan menebas tanpa ragu.”

Rangga terdiam sejenak, kemudian melangkah mendekati gurunya. “Tapi bagaimana jika pedang itu berbalik dan menyerang kita?”

Nyai Tunjung Biru menatapnya dengan tajam, matanya berkilat penuh keyakinan. “Itulah sebabnya kita harus memastikan dia tetap berada dalam genggaman kita. Selama ia tenggelam dalam kebencian, ia tidak akan pernah bertanya siapa yang menyalakan api di dalam dirinya.”

Rangga mengangguk pelan, tetapi di dalam benaknya, sesuatu masih mengganjal. “Dan Patih Suryanata… Apakah benar dia hanya korban dari tipu muslihat kita, atau ada sesuatu yang lebih dalam tentang dirinya?”

Nyai Tunjung Biru kembali tersenyum, lalu meraih sebuah naskah tua dari sudut meja. “Patih Suryanata… bukan sekadar pembesar Kesultanan Demak. Dia adalah orang yang menyimpan rahasia yang bahkan Sultan sendiri tidak sepenuhnya ketahui.”

Namun, sesuatu masih mengganjal di benak Nyai Tunjung Biru. Ia mengangkat satu gulungan naskah lama yang telah usang dan menatapnya dalam diam.

“Satu hal yang harus kita pastikan, Rangga… Kau yakin Patih Suryanata adalah orang yang benar-benar layak dihancurkan?”

Rangga Wisesa menoleh, alisnya berkerut. “Apa maksud Guru?”

Nyai Tunjung Biru mengusap permukaan naskah itu dan menarik napas panjang. “Aku punya firasat… bahwa ada sesuatu tentang Patih Suryanata yang masih tersembunyi. Ada sesuatu yang belum kita ketahui.”

Tatapan Rangga semakin tajam, kemarahannya perlahan muncul. “Suryanata adalah musuh kita. Itu sudah jelas. Apa kau mulai meragukan rencana kita Guru?”

Nyai Tunjung Biru tidak menjawab segera. Ia hanya menatap api lilin di depannya, seolah mencari jawaban di dalam kegelapan.

Di tempat lain, jauh di dalam Kesultanan Demak, Patih Suryanata berdiri di dalam aula istana, matanya menatap langit malam yang mendung.

Siapa dan bagaimanakah Patih Suryanata sebenarnya? Apakah dia pembesar kesultanan yang berbudi luhur ataukan hanya topeng dari keangkaramurkaan? atau mungkin dia adalah dalang dari semuanya?

Seperti yang dilhat Nayaka saat terpengaruh hembusan asap Naga Penjaga Buah Inti Kehidupan saat di Pulau Tidung Kecil dan atau mungkin… Rangga Wisesa dan Nyai Tunjung Biru tidak sepenuhnya salah?

Jangan lewatkan kisah-kisah selanjutnya Sagara Sang Panglima Samudera!

Bagaimana Anda menilai informasi ini? Berikan reaksi Anda!