*, Kisah  

Tegang di Pulau Panggang

Avatar photo

“Semua karakter, peristiwa, dan lokasi dalam kisah ini adalah fiksi dan tidak memiliki hubungan dengan kejadian nyata. Penulis berharap pembaca menikmati kisah ini sebagai hiburan semata dan tidak menganggapnya sebagai fakta sejarah.”


*** SAGARA PANGLIMA SAMUDERA *** Bab 11.2: Tegang di Pulau Panggang

Angin laut menggeram aneh malam itu, seolah mengendus aroma petaka yang melaju dari utara. Di garis cakrawala, tiga kapal berlayar cepat, membelah ombak seolah didorong oleh amarah samudera.

Tiang-tiang layar mereka menjulang kelam, membentangkan panji Tarekat Bayangan Arwah—gerombolan perompak kejam yang menebar maut di perairan Nusantara.

Di haluan kapal utama, berdiri sosok tinggi berjubah hitam. Wajahnya tersembunyi di balik topeng perak berbentuk tengkorak. Ia adalah Kurwatala—pemimpin Tarekat, ditakuti bahkan oleh bajak laut paling keji.

Di tangannya tergenggam tongkat panjang berhias ukiran mata ular merah menyala—satu besar di puncak, dua kecil melingkar di bawahnya. Senjata itu bukan sekadar lambang kekuasaan, tetapi alat kutukan dan kehancuran.

Dari kejauhan, Sam’un, nelayan tua yang hendak pulang membawa hasil laut, ternganga ngeri melihat kapal-kapal asing itu mendekat cepat. Tanpa pikir panjang, ia membanting dayung, mengayuh perahunya ke arah Pulau Panggang, jantungnya berdetak seirama dengan debur ombak.

Sesampainya di dermaga, Sam’un terhuyung, wajahnya pucat saat menyampaikan kabar kepada Ki Fatah Raga—tetua Pulau Panggang, lelaki tua berwibawa dengan jubah putih bersulam selempang hitam. Tatapan Ki Fatah mengeras.

Ia tahu nama Tarekat itu. Dulu, dalam pertempuran samudera yang nyaris mengorbankan nyawanya, nama Kurwatala pernah dibisikkan oleh laut sendiri.

“Mereka datang,” ucapnya lirih, namun tegas. “Jailin, bersiaplah.”

Jailin, murid utama Ki Fatah, lelaki gagah berotot dengan kumis tipis, langsung bergerak. Ia dan para murid lainnya segera mengambil senjata dan menyusun siasat.

Di saat bersamaan, Ketua Pulau Jamaludin, dengan sorban tersampir di bahu, berlari di tengah kampung sambil berteriak, “Semua warga! Masuk ke rumah! Jangan keluar sampai kami pastikan aman!”

Di kapal utama, suasana kontras. Rasitasa, pria berwajah licin dengan dandanan eksentrik ala banci pelaut, menyeringai sambil berdendang sumbang. Di sisi lain, Bogajita, sosok tinggi besar dengan wajah bopeng dan lingkar mata hitam pekat, tertawa terbahak-bahak.

“Pulau Panggang akan kami rendam dengan darah,” seru Bogajita.

“Mereka akan menari di bawah hujan api,” sahut Rasitasa, melenggokkan tubuhnya seolah menari di geladak kapal.

Langit malam berkerut, dan Pulau Panggang bersiap menyambut amukan yang belum pernah mereka hadapi. Ketegangan menggantung di udara, seperti napas yang tertahan menunggu teriakan pertama pecah dari kegelapan.

***

Pulau Elang kembali hening setelah angin terakhir membawa pergi debu pertarungan. Senja menyemburat jingga keemasan, menyentuh pucuk pohon waru laut yang menjulang di tengah pelataran pulau, saksi bisu pertarungan mematikan antara Sagara dan tiga penguasa kegelapan: Ki Jagal Laut, Nyai Kelabang Geni, dan Ki Rawa Janggal.

Dua nama pertama telah lenyap bersama nyawanya, sementara yang terakhir melarikan diri dalam kondisi nyaris sekarat, tubuhnya membusuk oleh racunnya sendiri.

Namun kemenangan itu tak menghadirkan suka cita sepenuhnya. Ratu Mayang Sari, pelindung gaib raga Sagara, perlahan memudar. Jiwanya menyatu kembali dengan cincin genta buana, meninggalkan kekosongan yang tak terisi.

Sagara hanya bisa berdiri terpaku di hadapan pohon waru tua sang Ratu terakhir menampakkan diri—mengingat dekap lembutnya yang lebih hangat dari pelukan seorang nenek, namun lebih sakti dari selaksa mantra.

Nayaka, istri Sagara yang tangguh dan tabah, tampak diam, menatap lautan yang mulai ditelan malam. Wajahnya tidak menampakkan air mata, tapi batinnya remuk oleh perpisahan tak terelakkan.

Sagara menoleh, tubuhnya kini memancarkan aura ketenangan. Ia baru saja menyerap energi murni dari Pohon Waru Laut Tua, menyelaraskan kembali napas dan nadinya yang tercabik oleh pertempuran.

Cincin Genta Buana di jari telunjuk kanannya mulai memancarkan cahaya keemasan redup, seperti detak jantung alam semesta yang tenang namun dalam.

“Bayang-bayang gelap belum selesai,” gumam Sagara.

Hasanudin, sahabat setia yang sejak awal menjadi juru mudi dalam pengembaraan mereka di Kepulauan Seribu, menghampiri dengan langkah cepat. Wajahnya penuh kecemasan, tak biasa bagi pria yang dikenal tenang itu.

“Saga! Maaf mengganggu ketenangan kalian,” katanya dengan nada berat. “Tadi siang aku menangkap gelombang sinyal aneh di radar perahuku. Setelah kucek pantulan langit, tiga kapal besar mendekati Pulau Panggang… dan lambangnya tak asing. Tengkorak perak, tongkat ular, layar hitam keunguan—Tarekat Bayangan Arwah.”

Sagara mengernyit. “Kurwatala…”

“Benar,” jawab Hasanudin, mengangguk serius. “Dan dari cerita para pelaut lama, mereka tidak datang untuk berlabuh. Mereka datang untuk membumihanguskan.”

Ki Bayu Kala, sang burung elang sakti penjaga Pulau Elang, tiba-tiba meluncur turun dari puncak tebing, sayapnya yang membentang selebar tombak kerajaan memecah angin senja. Ia hinggap di sebuah batu besar di dekat mereka, menunduk hormat pada Saga.

“Kabut gelap di atas Pulau Panggang terasa kuat… lebih pekat dari saat Ki Jagal Laut muncul,” ujar Bayu Kala dengan suara gaibnya. “Kurwatala tak bisa dianggap enteng. Ia adalah ahli sihir bayangan, dan pernah satu aliran dengan Nyai Kelabang Geni, namun kekuatannya jauh melampaui.”

Sagara mengepalkan tangan. “Pulau Panggang tak bisa dibiarkan jatuh. Warga di sana tak punya pertahanan.”

Ki Bayu Kala mengangguk. “Kau harus ke sana, Saga. Tapi biarlah Nayaka tetap di sini. Ia sedang dirundung duka. Jiwanya harus dipulihkan.”

Nayaka mendekat, menatap mata Sagara. “Aku bisa ikut, Saga. Jangan halangi aku…”

Sagara meraih kedua tangannya, lembut namun pasti. “Kau adalah matahariku, Nayaka. Tapi sekarang, biarlah aku yang pergi. Sembuhkan hatimu. Kau lebih dibutuhkan pulau ini sementara aku menuntaskan urusan bayangan.”

Nayaka terdiam. Lalu mengangguk lirih.

Sagara melangkah ke arah Hasanudin. “Siapkan perahumu. Kita susup lewat sisi timur Pulau Panggang.”

Hasanudin mengangguk dan berjalan lebih dulu. Tapi sebelum mereka melangkah lebih jauh, Ki Bayu Kala mengepakkan sayapnya dan menjatuhkan sebuah benda kecil ke tangan Saga—sebuah batu bulat seperti kristal putih mutiara.

“Ini adalah Mata Angin,” ucap Ki Bayu Kala. “Jika kau berada di tengah kekelaman, hancurkan batu itu. Aku akan datang.”

Sagara menyimpan batu itu di ikat pinggangnya. Cahaya keemasan dari cincin Genta Buana semakin nyata. Sebuah gema takdir kembali bergema di dadanya.

“Waktu kita sempit. Pulau Panggang menunggu.”

***

Langit menjelang sore di selat antara Pulau Elang dan Pulau Panggang diliputi awan kelabu yang tak biasa. Laut membiru gelap, seperti menyimpan guncangan yang belum tercurah.

Di atas ombak yang menderu perlahan, dua perahu kecil berlayar menyusuri rute tersembunyi, menghindari jalur utama yang sudah dikuasai para perompak Tarekat Bayangan Arwah.

Di buritan salah satu perahu itu berdiri Sagara—rambut ikalnya tergerai ditiup angin samudera, pakaian putihnya menyatu dengan percik cahaya matahari yang tertutup kabut tipis.

Cincin Genta Buana di jarinya memancarkan kilau lembut keemasan, seolah merespon gelombang kekuatan yang mulai bergetar di tanah yang akan mereka tapaki.

Di sisinya, Hasanudin—gagah dan sigap, tangan tak pernah lepas dari gagang keris pusakanya—memandang ke arah depan dengan sorot mata awas.

Tak jauh di hadapan, muncul sebuah pulau mungil dengan puncak bukit melingkar dan pantai yang dikelilingi hutan bambu. Pulau Cina—sebuah daratan kecil yang tampak tenang, namun diselimuti aura yang tak biasa.

Di sela kabut tipis yang menggantung di permukaan laut, terdengar suara seruling samar, menyayat angin, mengalun seperti bisikan zaman kuno yang ingin didengar ulang.

Sebelum perahu mereka mencapai tepi pulau, dari balik kabut muncul sebuah perahu panjang berhias kain sutra merah dan lambang naga keemasan.

Di ujung haluannya berdiri seorang perempuan muda dengan pakaian anggun dari kain tipis berwarna putih-kebiruan, selendangnya melambai dibelai angin, seperti sayap siluman.

Wajahnya tenang namun mata sipit tajamnya menyala curiga. Ia berdiri dengan kedua tangan bersilang, tubuhnya tegak bagai tombak perak.

“Berhenti!” serunya dalam nada lembut namun penuh perintah. “Pulau ini tak menyambut pelaut asing, terlebih di hari di mana kabut menggantung seperti firasat buruk.”

Sagara mengangkat tangan, menandakan damai. Hasanudin bersiap berjaga, namun tak menunjukkan ancaman.

“Kami bukan musuh. Kami hanya lewat untuk menuju Pulau Panggang. Kami datang untuk menyelamatkan, bukan menjarah,” ujar Sagara dengan suara tenang, penuh kendali.

Tatapan perempuan itu menajam. Ia melangkah maju, matanya menatap tangan Sagara—dan di saat itulah pandangannya membeku.

Cincin di jari Sagara, yang bersinar kuning keemasan, tampak jelas di antara cahaya senja dan kabut. Ia menghela napas panjang, lalu perlahan berlutut di atas perahu.

“Genta Buana… Sang Pewaris telah datang…” bisiknya lirih.

Seluruh angin di sekitar mereka seperti berhenti. Kabut menggulung ke atas sejenak, memperlihatkan langit jingga yang tersibak. Terdengar dentingan halus, seperti lonceng kecil bergema dari kejauhan, mengalun seperti mantra tua.

Perempuan itu menundukkan kepala dalam sikap hormat, rambutnya yang hitam bergelombang menyentuh papan kayu.

“Hamba adalah Li Hua Ni, cucu dari Ki Si Hun, yang oleh dunia dikenal sebagai Ksatria Naga Buana. Sudah sejak masa kecil hamba dibisikkan oleh kakek—akan datang seorang pemuda berpakaian putih, membawa cincin dari Genta Buana. Ia adalah pewaris terakhir dari Naga Semesta. Dan tuanlah orang itu.”

Sagara terpaku, dadanya bergemuruh. Ia pernah mendengar nama Ki Si Hun, pendekar dari tanah jauh yang menetap di Pulau Kelapa dan dikenal sebagai penjaga gerbang angin. Tapi tak pernah ia duga, dirinya dihubungkan dengan garis takdir seagung itu.

Li Hua Ni bangkit perlahan. “Kedatangan Tuan telah ditunggu. Tapi waktu kita tak banyak. Tarekat Bayangan Arwah sudah mengirim kapal ke Pulau Panggang. Kami melihat tiga kapal bertanda tengkorak perak tadi pagi. Mereka akan menyerang saat bulan menggantung rendah malam ini.”

“Dan kamu?” tanya Sagara.

“Aku,” jawab Li Hua Ni, “akan berdiri bersamamu.”

Ia mengangkat kedua tangannya. Seketika, angin berputar mengelilinginya, membentuk pusaran kabut putih yang menari di udara. Kabut itu menyebar ke arah Pulau Panggang seperti jubah lembut yang menutupi langit. “Aku bisa memanggil kabut pelindung. Setidaknya akan memperlambat pandangan musuh.”

Sagara menatap wanita muda itu. Sosoknya teguh namun lembut, bagaikan angin dari timur yang tenang namun tak terduga. Ia melihat nyala semangat yang sama seperti Nayaka, istrinya, dalam diri Li Hua Ni. Namun ini adalah nyala dari angin yang lembut namun menghanyutkan.

“Kita harus segera bergerak,” ujar Sagara. “Hasanudin, tolong arahkan ke tepi timur Pulau Panggang. Kita masuk lewat jalur belakang.”

Li Hua Ni mengangguk. “Ada gua karang di sisi timur. Dulu dipakai nelayan tua untuk berlindung dari badai. Sekarang, kita akan memakainya untuk menyusup.”

Perahu mereka bergerak cepat. Di kejauhan, kilatan cahaya tampak memantul dari tongkat tinggi milik Kurwatala di dek kapal utama. Dari langit, camar-camar laut berputar tak wajar, seolah tahu darah akan segera tumpah.

Dan dari arah barat, langit perlahan berubah menjadi kelam, angin berubah tajam seperti bisikan kematian. Perang belum mulai, tapi takdir sudah menulis bab berikutnya.

Sagara, Li Hua Ni, dan Hasanudin menatap ke depan—ke arah tanah yang harus mereka selamatkan, dan darah yang mungkin harus mereka tumpahkan.

***

Langit di atas Pulau Panggang memerah, bukan oleh cahaya senja, tapi oleh nyala api dan debu yang mulai beterbangan saat tiga kapal bertiang hitam bersayap kelelawar merapat cepat ke dermaga tua. Di atas geladak tertinggi, Kurwatala—Bayangan Tengkorak Merah—berdiri membatu.

Jubah hitamnya berkibar oleh angin laut, dan dari balik topeng peraknya yang dingin, matanya menyala merah seperti dua bara dendam. Di tangan kanannya menggenggam tongkat panjang berhias mata ular merah yang berpendar seperti bernapas.

Puluhan perompak bersenjata tajam tumpul dan beracun mulai menjejak pasir putih Pulau Panggang. Teriakan liar menggema, menggertak udara yang sebelumnya damai. Di antara mereka, dua sosok menonjol: Bogajita, raksasa bopeng bermata gelap dengan senjata gada berpaku, dan Rasitasa, lelaki nyentrik berpakain mencolok dengan gerakan luwes dan tatapan setajam sembilu.

Sam’un, si nelayan tua, telah lama memberi kabar. Ki Fatah Raga, lelaki tua berwibawa dengan jubah putih dan selempang hitam, berdiri kokoh di tengah tanah lapang depan balai pertemuan. Di sisinya berdiri Jailin, murid utama yang tubuhnya padat otot dan berwajah tegas. Di belakang mereka, belasan murid lain bersiaga, meski beberapa tangannya gemetar melihat bendera hitam perompak sudah berkibar di bibir dermaga.

“Anak-anakku,” ujar Ki Fatah dengan suara tenang namun penuh getar tenaga dalam, “ingat, kita bukan hanya mempertahankan tanah, tapi martabat dan ruh leluhur. Kita berdiri, bukan untuk menang, tapi agar kehormatan tak jatuh begitu saja.”

Tanpa aba-aba, hujan senjata melayang dari arah perompak. Panah, pisau, dan jeritan menjadi satu. Pertempuran pecah seperti badai. Bogajita menghantam dua murid Ki Fatah dengan satu putaran gada, tubuh mereka mental dan tak bergerak. Rasitasa melayang ringan seperti angin busuk, menyerang Jailin dengan teknik silat bayangan menyusup: satu serangan bisa datang dari lima arah.

Jailin bertahan gagah, meski napasnya mulai berat. Ia terluka di lengan dan dada, namun tatapannya tetap menyala. Serangan Rasitasa sulit ditebak, penuh tipu daya dan gerak zig-zag seperti bayangan bulan di permukaan air.

Tiba-tiba, satu sosok melompat dari balik rumah warga. Jamaludin, ketua Pulau, muncul dengan busana sederhana namun tubuhnya tegap dan penuh kendali. Ia menggenggam dua buah kapak kecil berkilau. “Jangan sentuh adikku, pengecut!”

Jamaludin menggantikan Jailin dalam pertarungan, melawan Rasitasa dengan silat Mandar warisan leluhurnya. Gerakannya tangkas, ringan, dan penuh jebakan. Ia mengeluarkan jurus Tapak Sembilu, melepaskan hempasan angin yang memecah menjadi sembilu udara—tipis namun menyayat. Rasitasa tergagap sesaat, terkena goresan di pipinya, darah mengalir.

Namun sayang, pengalaman Rasitasa bukan tandingan murid biasa. Ia segera berbalik, mengalir seperti bayangan, dan menghujamkan tendangan berisi tenaga dalam ke dada Jamaludin dan Jailin bersamaan. Keduanya terpelanting, muntah darah. Napas mereka tercekat, namun mata mereka tak menunjukkan rasa takut—mereka siap mati demi pulau mereka.

Di sisi lain lapangan, pertarungan antara Ki Fatah Raga dan Bogajita menjadi pusat perhatian. Setiap langkah keduanya membuat tanah bergetar. Gada baja dan tangan kosong saling bertemu—Tapak Baja Raga milik Ki Fatah mampu menahan serangan beringas Ilmu Iblis Karang milik Bogajita. Pasir beterbangan, dan suara dentuman seperti guntur mengguncang udara.

Namun, saat Bogajita mulai terdesak, satu sinar merah pekat meluncur cepat dari belakang garis perompak—Kurwatala sendiri telah turun tangan. Pukulan jarak jauh dari tongkat mata ular itu menghantam punggung Ki Fatah dari belakang.

BUK!

Ki Fatah memuntahkan darah segar. Tubuhnya terlempar tiga tindak ke belakang dan menghantam batang pohon kelapa. Ia terguling, terdiam, dadanya naik turun perlahan. Luka dalam dari pukulan keji itu tak mungkin sembuh tanpa pertolongan khusus. Mata Ki Fatah terbuka perlahan, namun kekuatannya mulai surut.

Tertawa meledak dari balik topeng Kurwatala. Tangan perompak-perompaknya terangkat, percaya bahwa kemenangan ada di depan mata.

Para murid Ki Fatah Raga yang tersisa menatap tubuh gurunya dengan mata basah. Sebagian sudah bersimbah luka. Jeritan warga terdengar dari balik rumah. Darah membasahi karang dan pasir. Langit Pulau Panggang tak lagi biru—ia kini berwarna besi dan darah.

Dalam bayangan yang membayang di balik awan mendung, angin laut berhembus kencang ke arah timur—ke arah Pulau Cina—seakan hendak membawa pesan tentang sebuah harapan yang tengah melaju, menembus gelombang…

***

Langit di atas Pulau Panggang bergelayut kelabu. Aroma darah dan asap tipis mengepul dari dermaga hingga ke tengah perkampungan. Rintihan warga yang luka bercampur suara benturan senjata, menciptakan irama duka yang menghujam relung setiap hati.

Di tengah tanah yang telah dibasahi darah dan keringat, tubuh Ki Fatah Raga tergeletak lemah. Wibawa leluhurnya belum sirna, namun nyawanya tergantung seutas napas. Bogajita, dengan tubuh tinggi besar dan wajah bopeng garang, mengangkat gada besarnya tinggi-tinggi. Ujung senjata itu berkilat oleh cahaya matahari yang menembus awan kelabu—siap menghabisi hidup sang tetua.

Jailin, Jamaludin, dan murid-murid lainnya hanya bisa menjerit dalam hati. Terluka, terkapar, dan tak berdaya—detik demi detik seolah berjalan lambat.

Namun pada saat gada maut itu hampir menghujam kepala Ki Fatah Raga—

Dentuman keras memecah udara!

Sebuah pedang hitam besar berhiaskan kepala kumbang menghantam gada Bogajita. Ledakan energi dari benturan dua senjata membuat tanah bergetar dan debu berhamburan membentuk kabut tipis di udara.

Bogajita terhuyung. Gada besarnya bergetar, hampir terlepas dari genggaman.

“Siapa kau!?” geramnya, matanya menyipit menembus debu yang berputar.

Sosok itu berdiri gagah. Hasanudin, juru mudi muda yang telah mewarisi pusaka Pedang Kumbang Hitam, berdiri di hadapan Bogajita dengan sorot mata penuh murka. Rambut ikalnya tergerai, dan sorban biru lautnya berkibar. Pusaka itu terangkat ke dada, siap mengoyak angkara.

Namun tak hanya itu.

Dari arah dermaga timur, hembusan angin menderu. Dingin dan tajam. Saat itulah Rasitasa meluncurkan pukulan pamungkasnya—Ajian Bayangan Hitam—menuju Jamaludin dan Jailin yang nyaris tak sadarkan diri.

Srrttthhh!!!

Tiupan angin putih kebiruan menahan pukulan itu di udara, lalu memantulkannya balik dengan kekuatan serupa.

Rasitasa terkejut. Ia melompat ke belakang, namun tetap terkena hempasan balik yang membuatnya terguling di pasir dan menyemburkan darah tipis dari mulut.

Dari balik kabut pertempuran, muncullah Li Hua Ni, si Dewi Angin Timur.

Langkahnya ringan, nyaris tak menyentuh tanah. Gaun perangnya dari sutra putih keperakan berkibar lembut. Rambut panjang diikat rapi, dan sepasang kipas sakti dari kulit ikan pari tergenggam di tangannya.

Tatapannya tajam namun penuh keteduhan. Dari bibirnya terdengar lirih, “Pulau Panggang bukan tempat bagi angkara. Kembalilah ke lautan gelap, wahai pengikut kehancuran.”

Kurwatala, yang menyaksikan dari atas perahu perangnya yang telah bersandar, tertawa keras. Suara tawa itu menggelegar, menggema seperti guruh memecah langit.

“Orang-orang kerdil mencoba menentang langit!” teriaknya, suaranya berisi ejekan dan aura tenaga dalam tinggi.

Suara itu menekan seperti palu godam. Sejumlah warga dan murid Ki Fatah Raga yang terluka mengerang hebat. Dari telinga mereka merembes darah. Gendang telinga mereka pecah oleh getaran ajian Suara Setan Laut, ajian pemusnah mental yang diturunkan di kalangan rahasia Tarekat Bayangan Arwah.

Namun sebelum kekuatan itu menghabisi semua…

Wuuuussshhh!!

Sinar kuning keemasan merambat dari tengah perkampungan. Cincin Genta Buana yang melingkar di jemari Sagara memancarkan pendaran terang lembut. Cahaya itu meluas, membentuk semacam perisai cahaya yang menyelimuti tubuh murid-murid Ki Fatah Raga dan para warga.

Ajian suara Kurwatala tertahan seketika, dan gaung tawanya meredup dalam dengung hampa.

Sagara melangkah maju dari barisan kabut. Bajunya putih bersih, ikat kepala dan pinggang merah berkibar, tubuhnya berdiri tegak, dan matanya menyala bagai bara samudera. Di belakangnya, Ki Bayu Kala mengepakkan sayapnya lalu terbang tinggi, memberi ruang untuk pertarungan bumi.

“Sudah cukup,” suara Sagara tenang, tapi menusuk.

Kurwatala menoleh perlahan. Dari balik topeng tengkorak peraknya, ia menatap pemuda itu. Matanya menyala merah. “Jadi ini… Ksatria Naga Semesta? Anak tengik itu akhirnya muncul.”

Sagara mengepalkan tangan. “Hari ini, namamu akan tenggelam dalam gelombang.”

Kurwatala tertawa lagi. Tapi tawanya kini berbeda—lebih pendek. Ada sedikit jeda. Ada keraguan.

***

Pulau Panggang kini berubah menjadi panggung raksasa pertarungan. Ombak yang tadi tenang, kini riuh memecah bibir pantai, seakan turut menyaksikan tiga poros kekuatan bentrok dalam takdir yang tak bisa dihindari.

Bogajita, sang berandalan bopeng bertubuh batu karang, menggertakkan gigi dan mengayunkan gada raksasanya ke arah Hasanudin. Langkahnya menghentak, tanah bergetar setiap kali ia mendekat. Nafasnya seperti hembusan tungku, panas dan berat.

“Anak bau laut! Kau pikir pusaka kumbang bisa menyelamatkanmu!?” geramnya.

Namun Hasanudin tak mundur. Pedang Kumbang Hitam berpendar gelap dengan bayangan ungu pekat, menyatu dengan tangan dan hatinya.

Craaassh!!!

Dua senjata berbenturan. Gelombang energi membentuk pusaran pasir. Gada Bogajita hampir menghancurkan pundak Hasanudin, tapi dengan gerak tubuh melingkar, pemuda itu menangkis sambil membalikkan badan dan menyabet ke arah perut lawan.

Wuuttt!!!

Bogajita menangkis dengan gada yang melengkung di udara, lalu mendorong keras tubuh Hasanudin hingga terseret ke belakang.

Mereka saling menyerang dan menangkis dalam tarian kematian. Gaya Bogajita brutal dan liar, memanfaatkan kekuatan dan bobot tubuhnya. Sedangkan Hasanudin lebih gesit, dengan pola silat warisan Panglima Hitam yang menggabungkan tenaga dalam dan pergerakan mendatar laksana ombak yang terus bergulung.

Sementara itu, di sisi barat pulau…

Rasitasa, dengan langkah ringan dan gerakan tangan meliuk seperti penari istana, berdiri menghadapi Li Hua Ni.

“Aduh cantik, sayang sekali kita bertemu dalam peperangan…” ucapnya genit, namun kedua matanya menyala penuh ancaman.

Li Hua Ni tak menjawab. Ia membuka satu kipas anginnya, menari ke kanan dengan elegan.

“Kalau begitu… kita menari bersama!” seru Rasitasa, lalu menghentak tanah.

Bayangan-bayangan hitam menyeruak dari balik tubuhnya, membentuk sosok-sosok kabur seperti arwah penasaran, mengepung Li Hua Ni dari berbagai arah.

Li Hua Ni tetap tenang. Dengan lirih, ia menggumamkan Ajian Perisai Angin Timur. Kedua kipasnya bergerak membentuk pola spiral di udara.

Wuuussshh!!

Pukulan bayangan Rasitasa menghantam perisai angin yang tak kasat mata. Lalu—terpantul balik! Bayangan itu menghajar tuannya sendiri, membuat Rasitasa terpelanting dan wajahnya tergores pasir panas.

“Aaaarrghh! Perempuan sialan!” teriaknya.

Li Hua Ni melompat ringan, tubuhnya seperti daun tertiup angin. Ia meluncur di antara gelombang pukulan gelap dan membalas dengan ajian Kipas Langit Timur. Pukulan angin tajam itu menebas, membuat jubah Rasitasa robek dan tubuhnya terluka merah.

Namun Rasitasa tak menyerah. Dari kedua tangannya, keluar asap hitam pekat. “Kita lihat seberapa kuat napas timur bisa menahan bayangan neraka!”

Keduanya kembali bertarung dalam pusaran jurus dan silat. Angin bertemu asap, bayangan bertemu cahaya. Tanpa jeda.

Di sisi lain pertempuran, Sagara tengah berlutut di samping Ki Fatah Raga yang terbaring dengan nafas berat. Darah menodai jubah putih tetua itu.

Sagara membuka Buah Inti Kehidupan, pusaka berbentuk bulat sebesar kepalan tangan dengan cahaya bening kehijauan. Ia menekankan buah itu ke dada Ki Fatah Raga, sambil menempelkan Manik Kaca Pandita di dahinya.

Tubuh Ki Fatah Raga mulai bergetar. Urat-uratnya menyala lembut. Napasnya memburu. Manik Kaca Pandita—pusaka dari Raja Pandita di Pulau Tidung—mengalirkan energi murni penyatu jiwa dan tubuh.

Jailin dan Jamaludin yang tak sadarkan diri pun dibantu dengan sisa energi dari buah yang sama. Wajah mereka kembali merah muda, napas kembali teratur.

Sagara menatap mereka. “Bangkitlah. Pulau ini belum boleh jatuh.”

Dari kejauhan, Li Hua Ni yang bertarung, sesekali menoleh ke arah Sagara. Tatapannya menenangkan. Ia tahu—pertarungan terbesar akan segera tiba.

Dan di seberang dermaga, Kurwatala—sang Bayangan Tengkorak Merah—mengangkat tongkat ularnya ke langit. Mata tongkat itu menyala merah menyala. Ular kembar di ujungnya menggeliat, lidahnya menjilat udara.

“KSATRIA NAGA SEMESTA!” suaranya menggelegar.

“Datanglah! Biar kubenamkan jiwamu ke dasar laut!”

Sagara berdiri perlahan. Cahaya kuning keemasan dari cincin Genta Buana menyelimuti tubuhnya. Ia melangkah. Tenang. Pasti.

Langkah itu bukan sekadar gerakan fisik. Tapi takdir yang mulai menampakkan wujudnya.

***

Langit di atas Pulau Panggang membara merah kejinggaan. Awan menggulung pekat seperti menyimpan murka para leluhur. Angin yang tadi hanya mengibas lembut kini mengamuk, berputar seperti hendak menumbangkan semesta. Daratan dan laut menyatu dalam denting senjata dan teriakan luka. Tapi satu demi satu, gelombang jahat mulai surut.

Bogajita, si raksasa bopeng berjubah kulit kerang, kini tinggal bayang kekuatan. Gada besarnya patah dua, napasnya berat seperti seekor kerbau yang sekarat. Di hadapannya berdiri Hasanudin, dengan tubuh penuh luka namun tegak seperti mercusuar di tengah badai. Pedang Kumbang Hitam di tangannya bersinar muram, tapi matanya menyala menyala.

“Terimalah warisan murkamu,” bisik Hasanudin.

Wuuuaaaarrrggghhh!!!

Dengan tenaga sisa terakhirnya, Hasanudin menerjang, lalu memutar tubuhnya satu kali, menghentakkan ajian pamungkas: Ilmu Membelah Badai—jurus langka warisan Panglima Hitam yang membelah angin, lautan, dan bahkan daging manusia.

ZZZZZZAAAAK!!!

Pedang Kumbang Hitam membelah dada Bogajita, dari bahu kanan ke pinggang kiri. Tubuh itu diam sejenak, lalu terbelah perlahan, seperti kelapa yang disayat parang. Darah muncrat deras, tubuh Bogajita tumbang keras menghantam tanah, lalu diam. Hening.

Murid-murid Ki Fatah Raga, warga, bahkan para perompak yang melihat hanya bisa bergidik. Tak ada sorakan. Hanya desir angin membawa bau amis dan darah yang masih hangat.

Sementara di sisi selatan pulau, Li Hua Ni, dewi dari Pulau Cina, masih menari dalam silatnya yang nyaris tak terdengar. Rasitasa, lelaki gemulai penuh ajian hitam, sudah kehilangan bentuk pukulannya. Pukulan demi pukulan yang ia layangkan seperti memantul kembali ke tubuhnya sendiri.

Dug!

Pukulan bayangan—kembali menabrak dadanya.

Cress!

Cakaran siluman gelap—menyayat lehernya sendiri.

Tubuh Rasitasa mulai membiru, seperti membusuk hidup-hidup. Keringat darah menetes dari pelipisnya. Matanya berputar tak tentu arah.

Li Hua Ni maju perlahan. Kedua kipas anginnya terlipat. Satu langkah, dua langkah, lalu—tiupan lembut dari napasnya, disertai dengan bisikan mantra dari ajian Perisai Angin Timur.

Wuuuuusshhh…

Angin putih kebiruan mengalir perlahan menyelimuti tubuh Rasitasa, lalu—membekukan geraknya. Tubuhnya remuk pelan-pelan, seperti digerogoti hawa dingin dari dalam. Dalam sekejap, Rasitasa terkapar, membiru seperti mayat beku. Tak bergerak. Tak bernyawa.

Di atas laut yang memerah oleh senja, Sagara melayang di udara, berdiri di atas ombak yang membatu oleh tenaga dalamnya. Di hadapannya, Kurwatala, pemimpin Tarekat Bayangan Arwah, masih mengenakan topeng tengkoraknya. Tubuhnya dililit bayangan merah, menari-nari seperti api neraka.

“Anak tengik! Kau bukan tandinganku!” teriaknya, menyemburkan Ajian Bayangan Tengkorak Merah dari kedua telapak tangan.

Blaaaaaaaarrr!!!

Bayangan merah menghantam ke arah Sagara, membelah laut. Tapi pemuda berikat kepala merah itu hanya menutup mata. Cincin Genta Buana di jarinya memendar kuning keemasan, lalu tubuhnya berselimut cahaya emas seperti baju perang langit.

Sagara membuka matanya. Dalam sekejap, dari balik punggungnya, menyembul Tombak Kyai Pleret, Cemeti Bondoyono, dan Tameng Wajah—tiga pusaka hidup yang kini bergerak seirama.

Kurwatala sempat terperangah.

“Pusaka-pusaka itu… milik para leluhur!” serunya.

Sagara menjawab dengan tenang, “Dan mereka memilihku.”

Wuuussshhhh!!!

Tombak Kyai Pleret menyembur cahaya dari batang Dewandaru-nya, menghantam bayangan Kurwatala dan mengoyaknya. Tameng Wajah berputar membentuk perisai sempurna menahan segala serangan. Cemeti Bondoyono menari seperti ular kilat, melibas semua jurus iblis.

Kurwatala terhuyung. Tapi belum menyerah. Ia terbang ke udara dan menghantamkan Bayangan Tengkorak Pamungkas, satu jurus yang bahkan bisa memecahkan karang.

Namun…

Tapak Naga Samudera!

Sagara menerjang ke langit, membentuk naga raksasa dari tenaga dalamnya. Naga itu menggigit bayangan tengkorak, lalu memelintir tubuh Kurwatala, melemparnya seperti tikus kecil ke arah daratan Pulau Panggang.

DUAAAARRRR!!!

Tubuh Kurwatala membentur tanah. Seketika, api menyambar tubuhnya. Pusaka-pusaka Sagara memijarkan cahaya hangus yang memanaskan tubuh perompak itu dari dalam.

Aaaaarrrghhh!!!

Kurwatala menjerit, tubuhnya perlahan-lahan menghitam. Lidah api menjilat kulitnya. Topeng tengkoraknya meleleh. Bau daging terbakar memenuhi udara. Tubuh itu gosong—hingga tak lagi berbentuk.

Senyap. Laut kembali bergelombang. Burung camar bersuara nyaring. Angin laut kini beraroma darah dan kemenangan.

Anak buah Tarekat Bayangan Arwah yang melihat pemimpin mereka tewas dalam api segera membuang senjata. Mereka menyerah. Tapi warga Pulau Panggang tak mau ambil risiko. Di bawah komando Jamaludin, para perompak itu ditawan dan diikat.

Beberapa jam kemudian, saat bulan mulai naik, para perompak dibawa ke tengah laut, ke atas batu karang besar yang menjulang tipis dari permukaan. Di sanalah, hukuman terakhir dijatuhkan. Tak ada pengadilan. Tak ada maaf.

Tumpukan jerami kering dan minyak kelapa menyelimuti tubuh-tubuh tak berguna itu.

Fuuuusshhhh!!!

Api membubung. Jeritan terdengar. Tapi hanya sebentar. Angin laut membawa abunya ke barat, seperti menghapus noda dari peta sejarah Pulau Panggang.

Sagara, Hasanudin, Li Hua Ni, dan para warga berdiri diam menghadap laut. Tak ada sorakan. Hanya diam. Karena kemenangan ini bukan hanya keberhasilan bertahan hidup. Tapi janji: bahwa pulau-pulau ini akan dijaga, dijunjung, dan dikenang.

Dan di cakrawala, cahaya emas terakhir dari cincin Genta Buana berkedip perlahan… seolah berkata: kisah ini belum usai.

***

Langit Pulau Panggang mulai memerah, bukan oleh darah lagi, tapi oleh mentari senja yang kembali bersahabat. Angin membawa harum laut yang kini terasa lebih damai. Di bibir pantai, tubuh-tubuh perompak telah habis dilahap api, lenyap bersama kebiadaban yang mereka bawa.

Ki Fatah Raga, lelaki tua berwibawa yang tubuhnya kini bersandar di bawah pohon kelapa tua, menatap pemuda berpakaian serba putih di hadapannya dengan sorot mata penuh takzim.

“Sagara… engkau tak hanya datang membawa pedang, tapi juga harapan. Darahmu…,” suaranya bergetar, “seputih pakaianmu. Sesuci niatmu menolong. Kami menyebutmu kini… Pendekar Berdarah Putih.”

Sagara hanya menunduk, bibirnya tersenyum, namun matanya menyiratkan kelelahan dan luka batin dari perjalanan panjang.

Li Hua Ni berdiri di sampingnya, angin membelai rambut hitamnya yang halus. Sementara Hasanudin, yang kini telah diakui sebagai pewaris sejati Panglima Hitam, menyarungkan pedang Kumbang Hitamnya sambil bersyukur dalam diam.

Warga Pulau Panggang keluar dari persembunyian, menunduk dalam hormat. Mereka bukan hanya berterima kasih, tapi mewariskan kisah ini turun-temurun. Tentang seorang pendekar tak dikenal namanya, hanya disebut dari pakaiannya—putih, dan darahnya yang tak pernah ternoda.

Di tengah semua itu, Ki Fatah Raga berkata, “Tapi jalanmu belum selesai, Sagara. Aku tahu arah angin petualanganmu belum berhenti di sini.”

Sagara memandang jauh ke arah barat. Di ujung cakrawala, Pulau Kelapa berdiri bisu. Namun bagi mereka yang memiliki jiwa petualang, pulau itu bukan sekadar daratan, tapi takdir yang memanggil.

Dia melangkah perlahan, lalu menatap langit sore yang jingga keemasan.

“Pulau Kelapa… Tempat di mana takhta tanpa mahkota menunggu. Aku harus ke sana.”

Dan angin pun berembus pelan, seakan membawa nama Sagara ke tiap butir pasir, ke tiap ombak kecil yang pecah di karang. Namanya tak akan hilang, bahkan saat jejak langkahnya lenyap di buih samudera.

***

Malam menggulung langit Pulau Panggang dalam selimut bintang. Namun di ufuk barat, ada titik gelap yang tak ikut bersinar.

Sagara berdiri di haluan perahu yang berlayar perlahan menuju Pulau Kelapa. Di sisinya, cincin Genta Buana memancarkan cahaya keemasan yang meredup… seolah bersiap menghadapi badai yang jauh lebih besar dari sebelumnya.

“Pulau Kelapa bukan hanya tanah biasa, Saga,” ujar Li Hua Ni yang ikut berlayar di belakangnya. “Di sana… takhta pernah dijatuhkan, darah raja dikutuk, dan satu nama dihapus dari sejarah.”

Hasanudin menambahkan dengan suara berat, “Dan ada satu sosok yang dulu disebut raja tanpa mahkota… kini menanti. Antara ingin menyambutmu… atau membinasakanmu.”

Sagara memandang pulau itu. Di kejauhan, bayangan hitam menyerupai sosok bertanduk berdiri di antara pepohonan kelapa yang diterpa cahaya bulan. Sosok itu seakan menatapnya kembali, dari kejauhan. Tidak bergerak. Tidak berbicara. Tapi keberadaannya cukup untuk membuat bulu kuduk merinding.

Angin laut berdesir dingin. Lalu… terdengar bisikan samar.

“Pewaris Genta Buana… datanglah. Tapi tinggalkan harapanmu di sini.”


Tunggu Sagara Panglina Samudera di Bab 12: Raja Tanpa Mahkota

Bagaimana Anda menilai informasi ini? Berikan reaksi Anda!