Kisah  

Cinta di Jembatan Misteri

“Semua karakter, peristiwa, dan lokasi dalam kisah ini adalah fiksi dan tidak memiliki hubungan dengan kejadian nyata. Penulis berharap pembaca menikmati kisah ini sebagai hiburan semata dan tidak menganggapnya sebagai fakta sejarah.”

Bab 10.1: Cinta di Jembatan Misteri

Saga dan Nayaka Sari berdiri di depan Jembatan Misteri , sebuah jalur tua yang terbentang di antara dua pulau. Kabut pekat menyelimuti jembatan itu, seolah-olah menghalangi pandangan ke dunia lain yang tersembunyi di seberang.

Udara di sekitar mereka terasa menusuk hingga ke tulang, dinginnya bukan hanya datang dari angin malam, tetapi juga dari aura misterius yang memancar dari tempat itu.

Angin berembus pelan, membawa bisikan samar yang terdengar seperti jeritan-jeritan tertahan. Suara itu bergema di telinga mereka, seolah mencoba merasuki pikiran mereka dengan ketakutan. Namun, Saga dan Nayaka Sari tidak mundur. Mereka tahu ini adalah satu-satunya cara untuk melanjutkan misi mereka.

Saga melangkah lebih dulu, perlahan namun mantap. Ia meraba-raba jalan dengan tongkat kayu yang ia temukan di sekitar, sementara Manik Kaca Pandita di tangannya berpendar samar, memberikan cahaya redup yang berusaha melawan kegelapan yang mengintai. Cahaya itu tampak rapuh, seperti lilin yang bisa padam kapan saja dalam lautan kabut.

“Jangan terlalu jauh dariku, Naya,” bisik Saga tanpa menoleh, matanya tetap waspada pada kabut yang menggulung-gulung di depan mereka. Suaranya tenang, namun ada nada protektif yang tak bisa disembunyikan.

Nayaka Sari—atau “Naya,” seperti Saga sering memanggilnya—mengangguk, langkahnya ringan namun penuh kewaspadaan. Selendang ungunya berkibar pelan saat angin kembali berhembus, menciptakan siluet lembut di tengah suasana yang semakin mencekam.

“Aku di sini, Kakak,” jawabnya pelan, meskipun suaranya sedikit bergetar. Tangannya meraba gagang keris yang terselip di pinggangnya, siap untuk bertindak jika diperlukan.

Mereka berdua tahu, ini bukan sekadar kabut biasa. Ini adalah penghalang gaib—ujian bagi mereka yang berani melewati batas antara dunia nyata dan dunia mistis.

Langkah pertama terasa mudah. Langkah kedua mulai terasa berat, seolah gravitasi di tempat itu berubah menjadi sesuatu yang tidak wajar. Pada langkah ketiga, Saga menyadari sesuatu yang aneh—suara langkah mereka berdua tak lagi hanya dua. Ada gema lain yang mengikuti, seolah ada sesuatu yang bergerak dalam kabut bersama mereka.

“Kakak, kita tidak sendiri,” bisik Nayaka Sari, suaranya penuh ketegangan. Matanya menyapu kabut di sekitar mereka, mencoba mencari sumber suara itu.

Saga mempererat genggamannya pada Manik Kaca Pandita, cahayanya berdenyut pelan seperti detak jantung. “Aku tahu, Naya,” katanya dengan suara rendah, penuh tekad. “Tapi tetap tenang. Jangan biarkan mereka tahu kita takut.”

Namun, ketenangan itu tidak bertahan lama. Kabut semakin tebal, hingga pandangan mereka kini terbatas hanya beberapa jengkal di depan. Setiap langkah terasa seperti memasuki dunia lain yang asing dan menyesatkan. Bayangan-bayangan samar berkelebat di sisi mereka, terlalu cepat untuk dikenali, namun cukup nyata untuk membuat mereka waspada.

Tiba-tiba, suara lirih terdengar, seperti seseorang berbisik tepat di telinga mereka. Suara itu dingin, menusuk, dan penuh ancaman.

“Jangan melanjutkan… Kembalilah… Atau kalian akan tersesat selamanya…”

Nayaka Sari merasakan bulu kuduknya meremang. Ia menoleh ke arah Saga, yang wajahnya tetap tegang namun sorot matanya tak tergoyahkan. “Ini hanya ilusi,” gumamnya lebih kepada dirinya sendiri, mencoba meyakinkan hatinya bahwa mereka tidak boleh takut.

Namun, langkah mereka semakin berat. Seolah-olah kabut telah berubah menjadi tangan-tangan tak kasatmata yang mencoba menarik mereka kembali ke dalam kegelapan. Napas Saga mulai memburu, tapi ia menolak untuk menyerah. Ia tahu bahwa mundur bukanlah pilihan.

“Pegang tanganku, Naya,” kata Saga dengan suara tegas, meskipun tubuhnya mulai terasa lemah.

Begitu jari mereka bersentuhan, kehangatan mengalir di antara mereka, menepis rasa dingin yang mulai merasuk hingga ke tulang. Manik Kaca Pandita di tangan Saga tiba-tiba bersinar lebih terang, cahayanya seperti api kehidupan yang melawan kegelapan kabut yang berusaha menelan mereka.

Seketika, sosok-sosok bayangan yang sebelumnya berkelebat di sisi mereka mulai mengerang kesakitan, seolah-olah cahaya itu membakar keberadaan mereka.

Salah satu bayangan menjerit keras, suaranya menusuk udara seperti kaca yang pecah, lalu lenyap ke dalam pusaran kabut yang bergolak.

“Terus maju, Naya!” seru Saga, suaranya menggema di tengah keheningan yang mencekam. “Jangan hiraukan mereka!”

Mereka mempercepat langkah, meskipun setiap gerakan terasa seperti melawan arus sungai yang deras. Kabut masih berusaha merintangi jalan mereka, mencoba menarik mereka kembali ke dalam kegelapan. Namun, cahaya dari Manik Kaca Pandita terus membuka jalan, perlahan tapi pasti.

Dengan setiap langkah, suara bisikan semakin melemah, hingga akhirnya hanya suara deru angin dan gemerisik langkah kaki mereka yang terdengar.

Saga dan Nayaka Sari saling bertukar pandang sejenak. Di mata mereka, ada campuran rasa lega dan keteguhan—mereka tahu bahwa mereka tidak boleh menyerah, tidak peduli seberapa besar ujian yang harus mereka hadapi.

Setelah apa yang terasa seperti selamanya, mereka akhirnya melihat ujung jembatan. Kabut mulai menipis, memperlihatkan jalan yang lebih jelas. Udara pun terasa lebih hangat, seolah mereka telah meninggalkan dunia lain yang penuh ancaman.

Saga dan Nayaka Sari menarik napas lega, dada mereka naik turun karena kelelahan. Namun, mereka tahu ini bukan akhir dari perjalanan mereka.

“Tantangan selanjutnya sudah menanti,” gumam Saga pelan, matanya menyapu horizon di depan mereka.

Nayaka Sari mengangguk, tangannya masih erat memegang tangan Saga. “Kita akan menghadapinya bersama, Kakak,” katanya dengan suara mantap, meskipun ada jejak kelelahan di wajahnya.

Di kejauhan, siluet sebuah pintu besar muncul di ujung jembatan, dikelilingi oleh cahaya keemasan yang samar. Namun, di balik cahaya itu, ada sesuatu yang tak terlihat—sebuah rahasia baru yang siap menguji mereka.

Setelah berhasil melewati kabut yang menyesatkan, Saga dan Nayaka Sari menemukan diri mereka berdiri di atas bagian jembatan yang tampak berbeda dari sebelumnya. Di hadapan mereka terbentang jalan yang penuh dengan duri-duri tajam dan bilah besi yang mencuat dari lantai kayu yang sudah lapuk dimakan usia.

Cahaya Manik Kaca Pandita berpendar redup, seakan memberi peringatan bahwa rintangan kali ini bukanlah ilusi belaka—ini adalah bahaya nyata yang bisa merenggut nyawa mereka kapan saja.

Saga berjongkok, matanya menyapu pola dari duri-duri tersebut dengan penuh konsentrasi. “Ini bukan jebakan biasa,” katanya dengan suara tegang. “Kita harus melangkah dengan sangat hati-hati.”

Nayaka Sari mengamati lantai jembatan dengan waspada, tangannya siap meraih keris di pinggangnya jika diperlukan. Angin berhembus dingin, menggoyangkan jembatan yang sudah rapuh. Di kejauhan, terdengar suara gemerisik yang tak jelas asalnya, seakan sesuatu tengah mengintai dari balik bayangan.

“Langkah kita harus seirama, Kakak,” kata Nayaka Sari sambil menatap Saga dengan penuh keseriusan. “Jika satu saja salah, kita bisa terkena jebakan ini.”

Mereka mulai melangkah dengan perlahan, mencari celah di antara duri-duri tajam yang bergerak seakan hidup. Setiap kali mereka melangkah, lantai jembatan berderit mengerikan, seolah ingin runtuh kapan saja. Suara itu memperparah ketegangan, membuat setiap detik terasa seperti abadi.

Tiba-tiba, dari sisi kanan, salah satu bilah besi bergerak cepat dan hampir mengenai kaki Nayaka Sari. Dengan refleks yang luar biasa, ia melompat ke samping, tetapi gerakan itu malah memicu bilah lain yang mencuat ke arah Saga.

“Awas, Kakak!” teriak Nayaka Sari, matanya membelalak penuh cemas.

Saga berputar cepat, nyaris menghindari serangan tersebut. Namun, ujung bilah itu sempat menggores lengannya, membuat darah segar menetes ke lantai jembatan. Kayu tua itu tampak menyerap darahnya dengan rakus, seolah-olah telah meminum banyak darah sebelumnya.

Saga menggertakkan giginya, wajahnya dipenuhi tekad meskipun rasa sakit menjalar di lengannya. “Jembatan ini seperti memiliki kesadaran sendiri,” katanya dengan suara rendah. “Semakin kita bergerak, semakin ia berusaha menyerang.”

Nayaka Sari menatap Saga dengan cemas, namun ia tahu mereka tidak bisa berhenti sekarang. Mereka harus segera mencapai ujung jembatan sebelum duri-duri ini berubah menjadi jebakan yang lebih mematikan.

Dengan hati-hati, mereka mulai bergerak bersama, menyesuaikan langkah dengan ritme yang serasi. Setiap gerakan dipikirkan dengan matang, setiap pijakan diuji dengan teliti sebelum mereka benar-benar melangkah. Angin bertiup lebih kencang, membawa suara berbisik yang entah berasal dari mana.

Duri-duri yang tadinya diam, kini mulai bergetar, seakan marah karena mangsanya berhasil menghindari perangkap mereka.

Saat mereka hampir mencapai akhir tantangan, sebuah suara bergema di sekitar mereka, dalam dan mengancam.
“Tak ada yang bisa melewati jembatan ini tanpa membayar harga!”

Tiba-tiba, lantai jembatan di depan mereka runtuh, menyisakan celah yang cukup lebar untuk membuat siapa pun jatuh ke dalam lautan yang bergolak di bawahnya. Ombak di bawah berdebur keras, seolah-olah menantikan korban berikutnya.

Saga dan Nayaka Sari saling pandang, mata mereka bertemu dalam keheningan yang penuh keteguhan. Tak ada pilihan lain—mereka harus melompati jurang tersebut. Dengan napas tertahan, mereka mundur beberapa langkah, bersiap mengerahkan seluruh tenaga yang tersisa.

“Bersiap, Kakak,” ucap Nayaka Sari, suaranya penuh keyakinan meskipun tubuhnya gemetar.

“Sekarang!” teriak Saga.

Mereka berdua melompat serentak, tubuh mereka terbang di udara sejenak. Saat kaki mereka meninggalkan pijakan terakhir, duri-duri di belakang tiba-tiba mencuat ke atas, seakan berusaha meraih mereka. Dalam sepersekian detik, mereka hampir tak sampai ke seberang.

Namun, dengan sekuat tenaga, mereka mendarat dengan selamat di sisi lain jembatan, tepat sebelum lantai di belakang mereka benar-benar runtuh dan lenyap ke dalam lautan.

Saga berlutut, napasnya memburu. Luka di lengannya masih mengeluarkan darah, namun sorot matanya tetap teguh. “Satu rintangan lagi yang berhasil kita lalui,” katanya pelan, suaranya penuh lega.

Nayaka Sari tersenyum tipis meskipun keringat membasahi dahinya. Ia mendekat dan meraih tangan Saga, memastikan bahwa mereka baik-baik saja. “Tapi kita belum selesai, Kakak,” katanya dengan suara mantap. “Masih ada tantangan berikutnya yang menanti.”

Mereka berdiri kembali, menatap jalan yang masih panjang di depan mereka. Langit di atas semakin mendung, menandakan bahwa perjalanan mereka masih jauh dari kata aman. Namun, dalam setiap langkah yang mereka ambil, ada keyakinan bahwa mereka akan menghadapi semua ini bersama—sebagai suami istri, sebagai mitra, sebagai dua jiwa yang saling melengkapi.

*****

Setelah berhasil melewati jembatan berduri yang penuh jebakan mematikan, Saga dan Nayaka Sari kini berdiri di hadapan bagian jembatan yang lebih terbuka. Tak ada lagi duri atau bilah tajam, namun bahaya lain telah menanti. Angin bertiup dengan kekuatan luar biasa, menerpa tubuh mereka seperti tamparan dingin yang menyusup hingga ke tulang.

Saga menyipitkan mata, mencoba menilai seberapa kuat badai yang mengamuk di hadapan mereka. Rambut Nayaka Sari berkelebat liar, selendang ungunya hampir terlepas dari bahunya, berkibar seperti bendera perang di tengah gelombang kekacauan.

“Ini bukan angin biasa, Kakak…” ujar Nayaka Sari, suaranya hampir tenggelam dalam deru badai.

“Aku tahu… Ada kekuatan gaib yang mengendalikannya,” jawab Saga seraya mempererat genggamannya pada Manik Kaca Pandita , mencoba meredam efek angin yang semakin menggila.

Angin semakin menjadi-jadi, berubah menjadi pusaran liar yang tampaknya berniat menyingkirkan siapa pun yang berani melintasi jembatan ini. Tiupan pertama menggoyahkan keseimbangan mereka, membuat kaki mereka nyaris terangkat dari permukaan jembatan yang licin.

Saga segera mencengkeram tali penyangga jembatan dengan kuat, sementara Nayaka Sari berusaha menjaga keseimbangannya dengan satu kaki terangkat sedikit. Napas mereka memburu, dada mereka berdebar keras seiring dengan intensitas badai yang semakin menguat.

“Kita harus berjalan miring! Ikuti arah angin!” teriak Saga, matanya menatap lurus ke depan, mencoba mencari celah di antara pusaran badai yang semakin menggila.

Mereka mulai melangkah perlahan, tubuh miring ke depan, berusaha menahan gempuran angin yang datang tanpa henti. Setiap langkah terasa seperti pertarungan melawan kekuatan tak kasat mata yang ingin melempar mereka ke dalam kehampaan di bawah jembatan.

Tiba-tiba, angin berputar dengan kekuatan dahsyat, menciptakan semacam dinding tak terlihat yang menghalangi langkah mereka. Debu dan serpihan kayu beterbangan di udara, menciptakan kabut tipis yang membuat penglihatan mereka semakin terbatas.

“Pegang tanganku, Naya! Kita harus tetap bersama!” Saga mengulurkan tangannya, suaranya penuh ketegasan meski hampir tertelan oleh badai.

Nayaka Sari meraih tangan Saga, jari-jarinya saling bertaut dengan erat. Mereka tahu, satu-satunya cara untuk melewati ujian ini adalah dengan saling mendukung dan tidak terpisah.

Tiba-tiba, suara aneh terdengar di antara deru angin. Seperti bisikan halus yang menelusup ke telinga mereka, suara yang seakan berasal dari dunia lain.

“Hanya mereka yang memiliki tekad kuat yang bisa melewati batas ini…”

Mata Saga dan Nayaka Sari membelalak. Mereka saling bertukar pandang, menyadari bahwa ini bukan hanya sekadar badai alami. Ada sesuatu yang menguji mereka di balik semua ini—tekad, keyakinan, dan kebersamaan.

“Tekad kuat… Itu kuncinya! Kita tidak boleh goyah, Naya!” Saga menggenggam tangan Nayaka Sari lebih erat, lalu mulai melangkah maju dengan penuh keyakinan.

Angin berputar semakin cepat, seolah-olah ingin menghancurkan siapa saja yang berani menantangnya. Namun Saga dan Nayaka Sari tetap melangkah, melawan hembusan yang semakin menggila. Setiap langkah adalah bukti bahwa mereka tidak akan tunduk pada kekuatan yang mencoba menghentikan mereka.

Lalu, seolah mengakui keteguhan hati mereka, angin mulai mereda perlahan. Tekanan di tubuh mereka berkurang, dan pusaran badai yang menghalangi jalan mulai melemah. Cahaya redup dari Manik Kaca Pandita berpendar lebih terang, seolah memberi isyarat bahwa mereka telah melewati ujian ini.

Setelah perjuangan yang panjang, mereka akhirnya berhasil melewati bagian jembatan ini. Napas mereka tersengal, tubuh mereka lelah, namun tatapan mereka penuh keyakinan.

“Satu tantangan lagi telah kita lalui, Kakak,” ujar Nayaka Sari dengan senyum tipis, suaranya penuh rasa lega.

Saga mengangguk, menatap ke depan. Jalan masih panjang, dan tantangan berikutnya sudah menunggu mereka di ujung jembatan. Di kejauhan, siluet pintu besar kembali muncul, kali ini dikelilingi oleh cahaya keemasan yang samar. Apa rahasia baru yang menanti mereka di balik pintu itu?

Kabut mulai menipis, tapi kelegaan itu tak berlangsung lama. Begitu Saga dan Nayaka Sari melangkah lebih jauh, udara di sekitar mereka mendadak terasa berat. Hawa dingin menjalar ke tulang, seolah-olah ada sesuatu yang menghisap kehangatan dari tubuh mereka. Suasana berubah, bukan lagi sekadar mistis, melainkan mencekam.

Dari balik kabut yang mulai tercerai-berai, muncul bayangan-bayangan hitam. Mereka bergerak tanpa suara, samar-samar seperti asap yang membentuk sosok tinggi dengan mata merah menyala. Mereka tak memiliki wajah, hanya siluet hitam pekat dengan aura kejahatan yang menyesakkan dada.

“Kakak, mereka mengelilingi kita…” suara Nayaka Sari terdengar lebih seperti bisikan yang tertahan, matanya terbelalak menatap makhluk-makhluk itu yang kini semakin dekat.

Saga menegakkan tubuhnya, mencoba menenangkan diri. “Tetaplah dekat, Naya. Kita hadapi ini bersama.”

Salah satu makhluk bayangan melayang mendekat dengan gerakan yang mustahil bagi manusia. Secepat kilat, ia meluncur ke arah Saga, mengayunkan cakar hitam panjangnya. Saga menghindar, tapi angin tajam dari serangan itu tetap menyayat lengan bajunya.

“Mereka nyata…” gumam Saga, merasakan dinginnya luka kecil yang kini menghiasi kulitnya.

Tanpa aba-aba, bayangan-bayangan itu menyerang serempak. Nayaka Sari berputar, menghindari cakar yang hampir menyentuh pipinya, lalu melayangkan tendangan ke tubuh salah satu makhluk. Tapi, yang terjadi justru mengejutkannya—tendangannya hanya menembus bayangan itu, seolah-olah ia menendang asap.

“Serangan fisik tidak berguna, Kakak!” seru Nayaka Sari, nada suaranya penuh kecemasan.

Saga menggertakkan giginya, menyalakan Manik Kaca Pandita di genggamannya. Cahaya biru kehijauan dari permata itu menyebar, menyapu kabut yang tersisa, dan untuk sesaat, makhluk-makhluk bayangan itu terlihat meringis, tubuh mereka berkedip seperti api yang hampir padam.

“Mereka takut cahaya ini!” kata Saga, menyadari kunci dari perlawanan mereka.

Nayaka Sari segera menarik selendang ungunya, membiarkannya menyerap cahaya Manik Kaca Pandita. Begitu selendangnya menyala, ia mengayunkannya ke arah salah satu makhluk bayangan. Kali ini, serangannya berhasil! Makhluk itu mengeluarkan jeritan panjang, tubuhnya berkedip semakin cepat sebelum akhirnya lenyap seperti debu yang ditiup angin.

“Gunakan cahaya untuk melawan mereka, Kakak!” ujar Nayaka Sari penuh semangat.

Saga mengangkat Manik Kaca Pandita lebih tinggi. Cahaya suci dari permata itu semakin terang, menyebar ke seluruh jembatan. Makhluk-makhluk bayangan itu mulai mundur, merintih seperti makhluk yang tersiksa.

Tapi mereka tak menyerah begitu saja.

Dari belakang, salah satu bayangan melesat cepat, cakarnya terhunus ke arah punggung Nayaka Sari. Saga yang melihat itu langsung bergerak tanpa pikir panjang. Ia mendorong Nayaka Sari ke samping dan menerima serangan itu sendiri. Cakar tajam menembus pakaiannya, meninggalkan luka panjang di punggungnya.

“Saga!” jerit Nayaka Sari, wajahnya pucat saat melihat darah mulai mengalir dari luka itu.

Namun Saga tetap berdiri, matanya tetap tajam menatap makhluk-makhluk bayangan yang tersisa. Dengan sekuat tenaga, ia menyalurkan seluruh kekuatannya ke dalam Manik Kaca Pandita. Cahaya itu semakin menyala, kini berubah menjadi kilatan seperti petir yang menggelegar di tengah malam.

Satu per satu, makhluk-makhluk bayangan itu menghilang. Mereka melolong kesakitan sebelum akhirnya lenyap ke dalam kegelapan, meninggalkan jembatan yang kini mulai terasa lebih sunyi.

Saga terhuyung, merasakan nyeri yang luar biasa di punggungnya. Nayaka Sari segera merangkulnya, menahan tubuhnya agar tak jatuh.

“Kau terluka… Kita harus segera mencari tempat aman,” ucap Nayaka Sari dengan nada khawatir, tangannya erat memegang lengan Saga.

Saga mengangguk lemah, tapi tekadnya tetap kuat. “Kita belum selesai, Naya. Masih ada tantangan berikutnya di depan.”

Nayaka Sari menggigit bibirnya, matanya menatap ke depan. Benar saja, jembatan itu masih panjang, dan mereka belum tahu apa yang menanti mereka di ujung sana.

Dengan sisa tenaga yang mereka miliki, mereka pun melanjutkan perjalanan. Tapi satu hal yang pasti—setelah pertempuran dengan makhluk bayangan itu, mereka kini lebih waspada.

Langit Pulau Tidung semakin pekat. Awan hitam menggulung, angin menghembus kencang, membawa aroma asin laut yang bercampur dengan sesuatu yang aneh—bau logam yang menyengat. Di atas Jembatan Misteri, Saga berdiri tegap.

Tubuhnya penuh luka, napasnya berat, tapi matanya tetap menyala dengan tekad yang tak tergoyahkan. Di sisinya, Nayaka terbaring lemah, wajahnya pucat pasi, napasnya tersengal-sengal. Jika tak segera diselamatkan, nyawanya bisa melayang kapan saja.

Di depan mereka, sosok terakhir yang menjadi penjaga jembatan muncul dari kabut pekat. Makhluk itu tidak seperti yang sebelumnya. Tubuhnya menjulang tinggi, berbalut zirah hitam yang seperti terbuat dari bayangan.

Wajahnya tak terlihat, hanya dua bola mata merah menyala yang menusuk jiwa siapa pun yang menatapnya. Dia adalah Ki Jaladri , sosok gaib yang dipercaya sebagai penjaga penghubung antara dunia nyata dan dunia gaib.

“Sagara,” suara berat itu menggema, seakan datang dari segala arah. “Kau telah melewati ujian demi ujian, tapi jembatan ini bukan untuk manusia biasa. Tinggalkan perempuan itu, dan kau boleh pergi dengan nyawamu.”

Saga mengepalkan tangan. “Aku tidak akan meninggalkannya, Naya. Jika aku harus bertarung sampai mati, biarlah begitu adanya!”

Ki Jaladri tertawa. Langit bergetar, ombak di bawah jembatan bergolak seperti hendak menelan dunia. Dengan satu gerakan tangannya, bayangan hitam melesat, mengikat kaki dan tangan Saga. Saga berusaha meronta, tapi makin kuat dia melawan, makin erat pula belenggu itu menggenggamnya.

Di sisi lain, Nayaka mengerang pelan. Matanya terbuka sedikit, melihat Saga yang mulai kehilangan kekuatan. “Kakak… jangan…” suaranya lirih, hampir tak terdengar.

Saga menggertakkan giginya. “Aku tidak akan kalah di sini!”

Dengan sisa tenaganya, ia mengumpulkan energi Tapak Naga Samudera. Api biru menyelimuti tubuhnya, membakar belenggu bayangan itu. Ki Jaladri menyipitkan mata. “Menarik… kau memang berbeda dari yang lain. Tapi itu belum cukup!”

Tiba-tiba, bayangan besar muncul dari bawah jembatan. Seekor ular raksasa dengan sisik keemasan, matanya bersinar layaknya permata merah. Itu adalah Naga Siluman Samudera , penjaga terakhir yang akan menguji keberanian dan tekad mereka.

“Jika kau ingin melewati jembatan ini, hadapi aku!” raung naga itu, suaranya mengguncang langit.

Saga tidak punya pilihan. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu melompat ke arah naga tersebut. Perlawanan sengit terjadi. Naga itu meluncurkan semburan api hitam yang nyaris menghanguskan tubuhnya.

Saga menghindar dengan lompatan gesit, lalu membalas dengan ‘Pukulan Tapak Naga Samudera’. Tangan Saga menghantam sisik emas naga itu, membuatnya meraung kesakitan, tapi belum cukup untuk menumbangkannya.

Ki Jaladri mengawasi dari kejauhan, senyum tipis muncul di balik kegelapan wajahnya. “Semakin menarik…”

Saga terus bertarung, menghindari setiap serangan, mencari celah untuk mengalahkan sang naga. Tapi naga itu terlalu kuat. Setiap luka yang diberikan Saga, seakan sembuh dalam hitungan detik. Tubuhnya mulai kehilangan tenaga, namun ia tahu ia tidak bisa menyerah.

Lalu, ia melihatnya—cincin ‘Genta Buana’ di jarinya mulai berpendar. Seolah merespons energi naga, cincin itu mengirimkan kilatan cahaya yang menyilaukan.

“Ini dia!” Saga berteriak, melompat tinggi, lalu menancapkan tinjunya tepat di antara dua mata sang naga. Cahaya menyala terang, suara dentuman terdengar. Naga itu meraung, tubuhnya mulai retak, lalu pecah menjadi ribuan serpihan cahaya.

Ki Jaladri mengangguk pelan. “Kau layak, Saga.”

Bayangan yang mengikat Saga menghilang. Angin kembali berhembus normal. Langit yang tadi pekat kini perlahan mulai cerah. Jembatan Misteri tak lagi terasa mengerikan. Saga segera berlari ke arah Nayaka, mengangkat tubuhnya yang lemah.

“Kita berhasil, Naya…” bisik Saga.

Namun sebelum mereka melangkah lebih jauh, Ki Jaladri mengulurkan tangannya. “Ingat, Sagara. Jalanmu masih panjang. Apa yang kau hadapi malam ini hanyalah permulaan. Bersiaplah, karena yang lebih besar sedang menunggumu.”

Lalu, dalam sekejap, Ki Jaladri menghilang bersama kabut, meninggalkan jembatan dalam keheningan.

Saga menatap ke depan. Ia tahu petualangannya masih jauh dari kata selesai. Tapi untuk saat ini, ia hanya ingin satu hal—menyelamatkan Nayaka dan keluar dari jembatan ke Pulau Tidung Kecil.

*****

Setelah melewati jembatan kelam yang penuh ujian, Saga dan Nayaka akhirnya tiba di ujung Jembatan Misteri . Saat mereka menembus bayangan tipis yang membatasi dunia nyata dan dimensi lain, tiba-tiba pemandangan di sekitar mereka berubah drastis.

Mereka kini berdiri di sebuah taman yang luar biasa indah. Bunga-bunga berwarna-warni bermekaran di segala penjuru, menyebarkan aroma harum yang menenangkan. Udara terasa lebih segar, dan sinar matahari yang lembut menyelimuti mereka dengan kehangatan yang menenangkan.

Luka-luka yang mereka dapatkan dari lima tantangan sebelumnya perlahan menghilang, seakan taman ini memiliki kekuatan penyembuhan alami.

Namun, yang lebih mencengangkan, Pulau Tidung Kecil ini juga dipenuhi oleh pohon-pohon buah yang rimbun. Mangga, apel, jeruk, pepaya, dan berbagai buah lain tampak menggoda dengan warna-warni yang matang sempurna.

Perut yang kosong setelah perjuangan panjang membuat Nayaka, yang kini telah menjadi istri Saga, spontan mengulurkan tangan untuk memetik salah satu buah.

Namun, sebelum jemarinya menyentuh kulit buah yang mengilap, tiba-tiba Saga mendengar suara lembut berbisik di telinganya. Itu suara Ratu Mayang Sari , mengingatkannya dengan tegas:

“Jangan biarkan siapa pun menyentuh buah ini sebelum menemukan Buah Inti Kehidupan di tengah taman. Semua buah ini hanya ilusi, dan akan membawa celaka jika dimakan.”

Saga seketika tersadar, lalu dengan sigap menggenggam tangan Nayaka sebelum istrinya sempat memetik buah tersebut.

“Jangan, Naya!” suaranya tegas namun penuh kelembutan.

Nayaka menatapnya heran. “Kenapa, Kakak? Aku hanya ingin sedikit saja, ini terlihat segar dan harum.”

Saga menatapnya dalam-dalam, merasakan betapa ia ingin melindungi istrinya dari bahaya yang tak terlihat. “Aku mendengar bisikan Ratu Mayang Sari. Dia memperingatkan kita untuk tidak menyentuh atau memakan buah-buah ini sebelum kita menemukan Buah Inti Kehidupan. Semua ini bisa jadi jebakan.”

Nayaka mengernyit, lalu menoleh ke sekeliling. Sekilas, semua tampak aman dan damai, namun dengan pengalaman mereka sejauh ini, ia tahu tak boleh meremehkan setiap peringatan dari dunia gaib. Ia menarik tangannya perlahan, lalu mengangguk.

“Baiklah, Kakak. Kita harus lebih berhati-hati. Kalau begitu, mari kita cari Buah Inti Kehidupan itu secepatnya sebelum rasa lapar semakin mengganggu konsentrasi kita.”

Saga tersenyum tipis, lalu meraih tangan Nayaka dengan lembut. “Ayo, kita harus tetap bersama. Pulau ini mungkin lebih berbahaya daripada yang terlihat.”

Dengan hati-hati, mereka mulai melangkah menyusuri taman, mencari pohon besar di tengah-tengah yang menyimpan Buah Inti Kehidupan. Namun, di balik keindahan yang mereka lihat, sesuatu yang tersembunyi mulai mengawasi setiap gerakan mereka.

Di tengah-tengah pulau, berdiri sebuah pohon raksasa yang mencolok dibandingkan yang lain. Batangnya begitu besar hingga sepuluh orang dewasa takkan cukup untuk memeluknya. Cabang-cabangnya menjulang tinggi, dedaunan hijau lebat menaungi sekelilingnya.

Namun, keunikan pohon ini terletak pada satu hal: hanya ada satu buah yang tergantung di tengahnya. Berwarna kuning keemasan, buah itu berpendar lembut seakan menyimpan energi mistis.

Saat pandangan Saga tertuju pada buah tersebut, tiba-tiba cincin Genta Buana di jarinya bergetar hebat. Cahaya kuning keemasan dari permata cincin, seakan menemukan pasangannya yang telah lama terpisah. Saga dan Nayaka bertukar pandang, menyadari bahwa buah itulah yang mereka cari.

Namun, sebelum mereka bisa melangkah lebih jauh, sebuah geraman berat menggema dari akar pohon. Tanah bergetar, dedaunan berdesir, dan dari balik pepohonan yang rimbun, muncul seekor naga berkilauan emas.

Tubuhnya yang panjang dan gagah bersinar diterpa cahaya mentari, sisiknya seperti logam mulia yang baru ditempa. Mata tajam berwarna merah menyala menatap Saga dan Nayaka dengan kewaspadaan.

“Siapa yang berani menginjak wilayah suci ini?” suara naga menggema dalam udara, menggetarkan dada mereka.

Saga segera berlutut, memberi hormat dengan tangan terkepal di dada. Nayaka mengikuti sikap suaminya. Dengan suara tenang dan penuh hormat, Saga berkata, “Kami hanyalah dua pengembara yang mencari kebenaran dan kehidupan sejati. Kami tidak bermaksud merusak atau mencuri. Kami hanya ingin meminta izin untuk mengambil Buah Inti Kehidupan.”

Naga emas itu mendengus, semburan asap tipis keluar dari hidungnya. “Buah ini bukan untuk sembarang orang. Hanya mereka yang memiliki hati sejati dan keberanian tanpa pamrih yang dapat memperolehnya. Aku, Sang Penjaga, harus diyakinkan sebelum memberikannya.”

Mata Saga menyipit. Ia sudah menduga bahwa tidak mungkin semudah itu mendapatkan sesuatu yang begitu berharga. “Bagaimana kami bisa meyakinkanmu, wahai Penjaga Agung?”

Naga emas itu menatap mereka sejenak, lalu berkata, “Kalian harus membuktikan bahwa keberanian kalian bukan untuk kepentingan sendiri, melainkan untuk melindungi dan menyelamatkan yang lain. Aku akan menguji hati kalian dalam tantangan terakhir. Bersiaplah, karena kalian akan menghadapi ujian yang akan menentukan nasib kalian.”

Saga dan Nayaka saling berpandangan, lalu mengangguk mantap. Mereka telah melewati banyak rintangan bersama. Jika ini adalah ujian terakhir, maka mereka akan menghadapinya dengan seluruh keberanian dan keyakinan mereka.

Langit yang semula cerah perlahan mulai berubah. Angin bertiup kencang, membawa serta awan-awan gelap yang berputar di atas kepala mereka. Tanah di bawah kaki mereka bergetar lagi, dan naga emas itu mulai melayang ke udara, matanya bersinar dengan cahaya keemasan yang semakin terang.

“Buktikan kepada Sang Penjaga bahwa kalian layak memperoleh Buah Inti Kehidupan!”

*****

Saga dan Nayaka saling berpandangan, lalu mengangguk mantap. Mereka telah melewati banyak rintangan bersama. Jika ini adalah ujian terakhir, maka mereka akan menghadapinya dengan seluruh keberanian dan keyakinan mereka.

Namun, sebelum mereka sempat bertanya lebih lanjut tentang tantangan yang akan diberikan, naga emas itu mengangkat tubuhnya tinggi-tinggi, sayapnya yang lebar mengepak dengan anggun. Cahaya keemasan dari sisiknya semakin menyilaukan, hingga Saga dan Nayaka harus menyipitkan mata untuk melihatnya.

“Aku akan memberikan kalian satu kesempatan,” raung naga itu, suaranya bergema seperti guntur di langit. “Namun, ingatlah—ini bukan hanya tentang kekuatan fisik atau keberanian. Ini tentang hati kalian yang sebenarnya.”

Tanpa peringatan, naga itu membuka mulutnya lebar-lebar, dan dari dalamnya muncul cahaya putih menyilaukan yang langsung menyelimuti Saga dan Nayaka. Tubuh mereka terangkat ke udara, seolah ditarik oleh kekuatan gaib yang tak terlihat.

Nayaka meraih tangan Saga erat-erat, matanya dipenuhi ketakutan. “Kakak… apa yang terjadi?”

Saga mencoba menjawab, namun suaranya tersangkut di tenggorokan. Ia merasakan tubuhnya semakin ringan, seolah-olah sedang jatuh ke dalam mimpi yang tak terkendali. Di sekeliling mereka, pemandangan taman indah itu mulai memudar, digantikan oleh kegelapan pekat yang tak berujung.

Saat Saga dan Nayaka sepenuhnya hilang dalam cahaya itu, naga emas itu menundukkan kepalanya, matanya berkilauan dengan cahaya merah menyala. “Hanya mereka yang memiliki tekad sejati yang bisa kembali ke dunia nyata…” gumamnya pelan, sebelum tubuhnya lenyap ke dalam kabut.

Di mana Saga dan Nayaka berada? Apakah mereka masih hidup, ataukah ini adalah awal dari akhir petualangan mereka?

Dalam kegelapan tanpa batas, Saga mendengar bisikan-bisikan halus yang memanggil namanya. Suara-suara itu membawa kenangan masa lalu—kenangan tentang keluarganya, tentang perjuangannya menjadi seorang kesatria, dan tentang janji yang ia buat kepada Nayaka untuk melindunginya sampai akhir.

Namun, ada sesuatu yang aneh. Kenangan-kenangan itu mulai berubah menjadi mimpi buruk. Bayangan-bayangan hitam muncul dari kegelapan, mencoba menyeretnya ke dalam jurang yang tak terlihat. Saga berteriak, tapi suaranya tak terdengar.

Di sisi lain, Nayaka merasakan hal yang sama. Ia melihat wajah-wajah yang ia kenal—ayahnya, Arya Saka, Ki Sapuh Angin, bahkan Nyai Tunjung Biru. Namun, wajah-wajah itu berubah menjadi sosok-sosok menyeramkan yang mencoba membujuknya untuk menyerah.

Apakah ini ujian terakhir mereka? Ataukah ini adalah perangkap yang tak bisa mereka lewati?

Temukan jawabannya dalam Bab 10: Pewaris Panglima Hitam! , di mana Saga dan Nayaka harus menghadapi ketakutan terbesar mereka—bukan hanya sebagai pasangan suami istri, tetapi juga sebagai dua jiwa yang saling melengkapi dalam perjalanan menuju kebenaran dan kehidupan sejati.

[poll id=”2″]

Bagaimana Anda menilai informasi ini? Berikan reaksi Anda!