Kisah  

Menerjang Pulau Terlarang

“Semua karakter, peristiwa, dan lokasi dalam kisah ini adalah fiksi dan tidak memiliki hubungan dengan kejadian nyata. Penulis berharap pembaca menikmati kisah ini sebagai hiburan semata dan tidak menganggapnya sebagai fakta sejarah.”

BAB 11.1: MENERJANG PULAU TERLARANG

Malam membentang gelap di atas Pulau Elang. Kabut tebal berhembus dingin dan tajam menyelimuti pepohonan liar. Ombak menggulung keras, menghantam karang tajam di pesisir, seperti gong raksasa yang memanggil perang.

Di tengah hutan lebat, dua sosok berdiri berdampingan. Mereka adalah Ki Jagal Laut dan Ki Rawa Janggal, sekutu kegelapan. Mata mereka berkilat penuh dendam dan kesaktian. Mereka memburu pusaka legendaris Cakra Buana.

Ki Jagal Laut mengangkat trisula berduri yang menyala merah darah. Ia menjerit keras, “Cakra Buana, malam ini kami rebut!” Trisula itu berputar dengan kecepatan luar biasa, menciptakan pusaran angin tajam yang mengoyak udara.

Ki Rawa Janggal mengangkat tangan, mengeluarkan bayangan hitam pekat. Bayangan itu berubah menjadi tombak berputar. Ia tertawa seram, suaranya seperti bisikan dari neraka, “Ki Bayu Kala, elang penjaga, kau akan hancur malam ini!”

Dari dalam gua, terdengar gemuruh deru angin dan kilatan cahaya putih menyambar. Ki Bayu Kala, elang sakti bersayap api, melesat keluar. Mata emasnya menyala penuh amarah.

Ia mengeluarkan teriakan menggema yang mengguncang bumi. Paruh dan cakarnya seperti pisau tajam siap menebas. Sayap membara menghempas badai angin kencang yang memporak-porandakan pepohonan di sekeliling.

Ki Jagal Laut menerjang, trisulanya menyambar ke arah sayap Ki Bayu Kala. “Serangan Pusaran Laut Berduri!” bentaknya, trisula memancarkan aura gelap tajam.

Ki Rawa Janggal menyusul dengan jurus “Kabut Hitam Meremukkan”, bayangannya menyelimuti, berubah menjadi puluhan tombak bayangan yang berputar menghujam. “Tembakan Bayangan Neraka!” teriaknya, suara serak yang memecah keheningan malam.

Ki Bayu Kala melesat gesit menghindar. Kepaknya menghempas angin panas membakar kabut. Ia membalas dengan jurus “Paruh Menebas Angin Badai”, serangan beruntun yang mematikan.

Benturan trisula dan cakarnya membuncahkan percikan cahaya. Suara benturan logam dan cakar bergesekan membuat udara bergetar. Tebasan-tebasan cepat dan hantaman deras menimbulkan gelombang kekuatan yang mengguncang seluruh hutan.

Ki Jagal Laut mengerang, menggunakan jurus pamungkas “Gelombang Tsunami Hitam”. Ia memukulkan trisula ke tanah, gelombang energi hitam mengalir deras menyeret tanah dan batu karang.

Ki Rawa Janggal melancarkan “Rembesan Kabut Maut”, kabut pekat berputar-putar membentuk pusaran yang menyedot energi. “Kita kuasai malam ini, Ki Bayu Kala!” bentaknya penuh semangat dan amarah.

Ki Bayu Kala terdorong ke belakang, sayapnya berdarah. Ia mengaum keras, jurus “Api Langit Terbelah”. Sayapnya terbuka lebar, menyemburkan lidah api putih membakar lawan-lawannya.

Dua tokoh hitam itu terhantam, terpental mundur beberapa langkah. Tapi mereka segera bangkit, darah dan aura hitam mereka berkobar. “Malam ini kami menuntaskan dendam!” Ki Jagal Laut menjerit, trisula diayunkan dengan keganasan baru.

Namun, saat pertempuran semakin memuncak, tiba-tiba kilatan cahaya kuning keemasan menghujam dari langit. Sinar itu menghantam Ki Jagal Laut dan Ki Rawa Janggal dengan kekuatan suci yang membakar aura kegelapan mereka.

Mereka terjerembab ke tanah, tubuh bergetar hebat dan aura mereka meredup. Jeritan mereka pecah, seperti kaca yang hancur berkeping-keping. Ki Bayu Kala yang terluka parah, merasakan energi baru mengalir dari dalam dirinya.

Matanya menyala lebih terang, sayap api membara kembali. Ia mengaum ke langit yang penuh petir. Pertarungan malam itu belum selesai. Nasib Pusaka Cakra Buana masih tergantung.

Namun satu yang pasti, kekuatan suci turun melindungi pusaka itu. Pulau Elang berdiri kokoh, dalam kesunyian sebelum badai selanjutnya menerjang.

*

Kabut pagi masih menggantung di antara pepohonan liar yang menaungi jantung Pulau Elang. Udara basah menyelusup ke setiap sela dedaunan, menyisakan aroma tanah lembap dan garam laut yang menyatu dalam diam.

Ki Bayu Kala tergeletak lemah di atas hamparan akar pohon waru laut yang menjalar di tengah pulau. Sayapnya robek, tubuhnya hangus sebagian oleh bekas serangan kegelapan. Ia terengah, tapi kesadaran masih menggenggam jiwanya.

Dari arah pantai timur, langkah kaki menembus semak basah dengan irama tenang namun pasti. Daun-daun menjauh, seolah mengenali siapa yang datang. Dua sosok muncul dari balik kabut, berjalan berdampingan menyusuri tanah yang masih menyimpan jejak pertempuran semalam.

Seorang pemuda dengan sorot mata tajam dan rambut terikat sederhana. Di pinggangnya tersemat sebilah keris bersarung kayu hitam, dan di tangannya berkilau cincin tua yang memancarkan cahaya samar keemasan. Di sisinya, seorang perempuan berparas lembut namun menyimpan kekuatan tak terucapkan, selendang ungunya melambai pelan mengikuti langkah angin.

Ki Bayu Kala memicingkan mata. Aura di sekitar pemuda itu menyala perlahan, seperti api dalam kabut—tidak membakar, tapi menyusup dan membangkitkan kenangan lama dalam pikirannya.

Cincin itu… Aura itu…

Elang sakti itu mengangkat kepalanya, kemudian perlahan menunduk. Sayapnya merentang ke tanah, tubuhnya membungkuk penuh takzim.

“Apakah ini saatnya…?” bisik suara batinnya. “Sang pewaris…”

Pemuda itu melangkah pelan ke depan. Cahayanya kini lebih jelas. Langit di atas mereka merekah sedikit, seberkas sinar matahari pagi menembus kabut dan jatuh tepat di atas pundaknya.

“Aku Sagara,” katanya pelan, suaranya mengalun seperti ombak pagi. “Kami datang… karena cahaya memanggil.”

Ki Bayu Kala bergetar. “Genta Buana… di jari tuan… aura naga semesta… Segalanya seperti dalam sabda. Ki Cipta Buana tak keliru. Hamba telah menanti lebih dari seratus musim.”

Saga tidak menjawab. Ia hanya menunduk, membiarkan elang sakti itu menyerahkan kehormatannya dengan keheningan yang agung.

Nayaka berdiri di sisi Saga, mata teduhnya mengamati dengan cermat. Di wajahnya tak ada ragu. Ia tahu, ini awal dari perjalanan baru—jalan yang sudah dituliskan sebelum mereka lahir.

Ki Bayu Kala perlahan bangkit, meski luka-luka masih menghiasi tubuhnya. “Pusaka Cakra Buana tersembunyi di tengah lingkaran akar, di bawah pohon waru agung yang tumbuh dari titik pusat pulau. Tapi pelindungnya tak akan diam begitu saja. Masih ada penjaga bayangan yang ditinggalkan untuk menguji kelayakan.”

Saga mengangguk. “Aku tidak meminta warisan ini. Tapi jika takdir menaruh beban ini padaku… maka akan kupikul dengan kehormatan.”

Tiba-tiba, tanah di sekitar mereka bergetar. Suara gaib menggema dari arah utara—jerit samar dan desir angin yang memekakkan hati. Aura hitam kembali muncul, bukan dari dua tokoh yang telah terusir, tapi dari jejak-jejak sihir mereka yang masih membekas dan menciptakan bayangan baru.

Ki Bayu Kala mengepakkan sayapnya, menahan nyeri. “Waktu kita tidak banyak. Pulau ini belum aman. Kita harus ke pusat pulau sebelum bayangan mereka mengambil bentuk utuh.”

Saga menatap ke depan. Kabut bergulung kembali, namun kini bukan untuk menyembunyikan, melainkan mempersilakan. Di hadapan mereka, jalan menuju pusat kekuatan mulai terbuka—melalui rawa, batu-batu karang kecil, dan semak belukar yang menyingkir perlahan.

Langkah pertama telah diambil. Dan pada pagi yang penuh bisu itu, sang pewaris mulai mengukir kisahnya sendiri, di tanah yang pernah dilukis oleh darah para leluhur.

**

Di tengah hutan pulau yang masih diselimuti kabut tipis, Saga berdiri tegak di bawah pohon waru laut tertua yang menjulang seperti tiang langit. Akar-akar besarnya membentuk lingkaran raksasa, dan di tengah lingkaran itu, tanah memancarkan cahaya lembut keemasan.

Ki Bayu Kala mengepakkan satu sayapnya ke arah lingkaran akar, memberi isyarat. “Di sinilah gerbangnya, wahai tuan muda,” katanya lirih. “Tapak naga akan menuntunmu masuk ke dalam inti pusaka.”

Saga melangkah perlahan ke tengah lingkaran. Saat kakinya menyentuh tanah yang bersinar, seberkas cahaya menyemburat dari dalam bumi, menyambar tubuhnya dan mengangkatnya ke udara.

Dalam sekejap, segalanya menjadi hening.

Saga melayang dalam ruang yang tanpa batas. Cahaya berputar-putar di sekelilingnya, membentuk lorong cahaya yang meliuk seperti tubuh ular naga. Nafasnya berembun, seolah ia tak lagi berada di dunia yang sama.

Tiba-tiba, ruang itu bergetar.

Sebuah suara tua dan berat bergema, bukan dari telinga, tapi dari dalam dadanya. “Wahai darah dari Cipta Buana… kau telah datang. Tapi belum tentu layak.”

Dari pusaran cahaya, muncul siluet seekor naga raksasa. Tubuhnya diselimuti sisik emas kehitaman, dengan sorot mata seperti bara api abadi yang tak pernah padam.

“Aku adalah Jiwa Penjaga Cakra Buana. Pusaka ini tidak tunduk pada garis keturunan, hanya pada hati yang utuh dan kehendak yang bersih.”

Saga tidak menjawab. Ia mengepalkan tangan, dan cahaya dari cincin Genta Buana mulai berpendar, membentuk lingkaran sinar di sekeliling tubuhnya.

Naga itu mendesis. “Kau membawa banyak warisan. Tapi semua itu hanya alat. Nilai dirimu bukan dari pusaka, tapi dari ruh yang menggerakkannya.”

Seketika, ruang itu berubah menjadi lautan api. Lidah-lidah api menjulur ke arah Saga, mencoba membakar tubuh dan jiwanya sekaligus.

Saga melompat, menghindar dengan kelincahan yang mengalir alami dari tubuhnya. “Kalau ini ujian, maka aku akan hadapi,” katanya lirih, menarik napas dalam.

Ia mengangkat tangannya, dan Cemeti Bondoyono muncul dari balik punggungnya. Sekali diayun, cemeti itu mengeluarkan suara ledakan petir, membelah dinding api menjadi dua.

Namun naga itu mengaum, dan dari mulutnya keluar semburan kabut hitam, bukan api, tapi dingin yang menggigit seperti kematian.

Saga terseret ke dalam kabut, tubuhnya membeku sebagian. Tapi dari balik dadanya, muncul cahaya hangat. Manik Raja Pandita, pusaka kecil di balik lehernya, memancarkan cahaya doa dan pengetahuan, melelehkan kebekuan kabut dan memberi arah dalam kegelapan.

Naga itu tampak terkejut. “Kau menggabungkan kekuatan dan ketenangan… tapi belum cukup.”

Tiba-tiba, bayangan dari Saga muncul dan menyerangnya sendiri. Sosok tiruan itu bersenjata lengkap: membawa Pedang Kumbang Hitam yang bergerak lincah seperti bayangan malam, dan mengenakan Zirah Tameng Waja yang memantulkan semua serangan balik.

Saga menghadapi dirinya sendiri. Ia bertarung dengan segala kesaktian yang pernah dia pelajari, tapi lawannya tak pernah kalah langkah, karena ia adalah cerminan hatinya.

Dengan satu sabetan pedang, tubuh Saga terpental. Darah keluar dari sudut bibirnya. Tapi ia tidak gentar. Ia berdiri perlahan, dan memejamkan mata.

“Aku tidak ingin menguasai pusaka ini. Aku ingin menjaga apa yang telah diwariskan,” ucapnya pelan.

Mendadak, cincin Genta Buana di jarinya menyala terang. Getarannya mengalun seperti lonceng yang memanggil kekuatan langit dan bumi.

Aura naga yang melingkupinya melebur dengan sinar dari pusaka, dan tubuh tiruan yang menyerangnya runtuh perlahan menjadi debu.

Sang naga menatapnya dengan lebih dalam. “Kau tidak membunuh bayanganmu. Kau menerima keberadaan kelemahanmu. Itu… langkah pertama dari penguasa sejati.”

Dalam sekejap, ruang astral itu terang benderang. Naga itu merunduk, tubuhnya berubah menjadi pusaran cahaya dan perlahan-lahan membentuk sebuah cakra hitam legam, dengan pinggiran berdenyut merah seperti nadi kehidupan.

Saga mengulurkan tangan. Cakra itu melayang pelan, kemudian perlahan menyatu ke dalam dadanya. Saat pusaka itu berpadu dengannya, tubuhnya bersinar terang, dan seolah seluruh alam menyambut tuannya yang baru.

Kembali di dunia nyata, Saga berdiri di tengah lingkaran akar. Ki Bayu Kala menatapnya dengan mata bergetar, kemudian menunduk dalam sujud panjang.

“Wahai Ksatria Naga Semesta… Tuan Cakra Buana telah lahir kembali.”

***

Senja belum sempat beranjak dari langit ketika angin tiba-tiba berubah arah. Dari ufuk barat, awan hitam menjalar cepat, menutupi cahaya mentari yang tersisa.

Ki Bayu Kala mengepakkan sayap dan memandang ke langit. “Mereka datang kembali,” desisnya lirih. “Dan kali ini, mereka membawa perempuan beracun itu.”

Dari balik bayang pepohonan lebat, tanah bergetar seperti diinjak seribu kaki makhluk gaib. Lalu muncullah tiga sosok, langkah mereka mantap, aura mereka menyesakkan udara.

Ki Jagal Laut berjalan paling depan, trisula lautnya kini membara dengan semburat biru tua. Di belakangnya, Ki Rawa Janggal menggenggam tongkat akar mati yang mengisap cahaya di sekitarnya.

Namun perhatian Saga tertuju pada sosok ketiga. Seorang perempuan berambut putih menjuntai, mengenakan jubah merah kusam bertabur sisik kelabang.

“Nyai Kelabang Geni,” ucap Nayaka Sari pelan, rahangnya mengeras. “Perempuan itu… bukan lawan sembarangan.”

Perempuan itu tersenyum miring, memperlihatkan gigi-gigi hitam seperti arang. “Kalian masih hidup rupanya… menarik.”

Ki Jagal Laut melangkah ke depan, menancapkan trisula ke tanah. “Saga, hari ini darahmu akan mengalir ke laut.”

Saga melangkah maju, kedua tangannya memanggil aura dari Cakra Buana yang kini menyatu dalam tubuhnya. “Kau gagal sekali, dan akan gagal lagi.”

Ki Rawa Janggal menatap Nayaka dengan mata cekung berkilat. “Selendang ungu itu akan jadi pelipur lara malamku,” katanya, menjulurkan lidah panjangnya.

Nayaka tak membalas. Ia melepaskan selendang dari bahunya, dan dalam satu gerak anggun, selendang itu memanjang seperti ekor naga yang siap menampar langit.

Pertarungan pun pecah, tak perlu aba-aba.

Saga melesat ke arah Ki Jagal Laut. Mereka bertemu di udara, dan benturan antara trisula dan cakra meledakkan angin ke segala arah.

Gelombang laut berguncang, pasir beterbangan, dan burung-burung malam lari dari sarangnya.

Ki Jagal Laut mengayunkan trisulanya, menciptakan pusaran air di tengah udara kering. Dari pusaran itu, semburan es asin melesat, tajam dan memburu jantung Saga.

Saga melompat ke atas, lalu menghantam udara dengan tapak bersinar emas. Tapak Naga Samudera menggetarkan langit, menghancurkan semburan es menjadi uap.

Namun Ki Jagal Laut tertawa. “Coba jurus barumu, aku punya laut di dadaku!”

Sementara itu, Nayaka dan Ki Rawa Janggal saling menari di antara batang pohon. Selendang ungu meliuk, memukul bayangan dan membungkam racun udara dari tongkat lawan.

Ki Rawa Janggal menyentakkan tongkatnya ke tanah. Kabut hitam menebal, dan dari dalamnya, muncul tangan-tangan gelap yang mencoba mencengkeram kaki Nayaka.

Nayaka berputar di udara, lalu melepaskan cahaya dari ikat pinggangnya. “Selendang Angin!” serunya. Ledakan angin memutar kabut, merobek tangan-tangan itu hingga menguap.

Namun di tengah gemuruh pertempuran itu, Nyai Kelabang Geni hanya berdiri menonton. Matanya mengamati Saga, lalu Nayaka, lalu menutup mata sambil menarik napas.

“Di tempat ini… masih ada ruh tua,” gumamnya. “Dan aku mencium dendam yang belum padam.”

Dari balik Saga, hawa panas muncul seperti semburan api neraka. Ia menoleh cepat, namun bukan Nyai Kelabang Geni yang menyerang, melainkan aura lain—sebuah arwah perempuan berselendang emas, melayang dengan mata menyala.

Nyai Kelabang Geni membuka mata dan tersenyum tajam. “Mayang Sari… akhirnya kau muncul.”

Saga terpaku, merasakan hawa ilahi namun juga kepedihan mendalam dari arwah yang berdiri di belakangnya.

Ratu Mayang Sari muncul sepenuhnya, tubuhnya berkilau cahaya emas pucat. “Kelabang Geni… hutang nyawamu belum lunas.”

Langit kembali mendung, tapi bukan karena awan. Melainkan karena dua jiwa perempuan sakti yang membawa dendam lebih tua dari waktu.

****

Malam di Pulau Elang begitu sunyi, hanya desiran angin dan suara pepohonan liar yang bergesekan saling mengisi ruang hampa. Kabut tipis menyelimuti tanah, melayang perlahan seperti bayang-bayang bisu yang menunggu waktu.

Di tengah gelap, dua sosok perempuan berdiri saling berhadapan, masing-masing menyimpan bara dendam yang membakar jiwa mereka.

Ratu Mayang Sari, yang dikenal pula sebagai Bidadari Selendang Emas, mengenakan selendang berkilauan yang membalut tubuhnya. Kilauan kain emas itu berpendar redup di bawah cahaya rembulan, seolah mengandung energi sakti yang telah lama tersimpan.

Di hadapannya berdiri Nyai Kelabang Geni, guru Rahma dan perawan pencabut nyawa. Rambutnya putih seperti salju, jubahnya merah membara penuh aura mengerikan, menimbulkan rasa ngeri bahkan bagi yang menatapnya.

“Hujan malam ini membawa waktu pembalasan,” suara Nyai Kelabang Geni bergema, serak dan penuh kebencian yang mendalam. “Kau datang dengan segala kesombonganmu, Mayang Sari. Tapi kau akan jatuh di hadapanku, seperti murid durhaka yang harus dihukum.”

Mayang Sari menatap balik, tatapannya penuh keteguhan yang menolak tunduk. “Racun Kelabang Geni yang kau beri, yang membunuh guruku, Ki Jaga Baya, akan kutuntaskan malam ini,” jawabnya pelan namun penuh keyakinan. “Darah guru itu memanggil keadilan, dan aku adalah pembawanya.”

Keduanya menarik napas dalam-dalam, kemudian mengeluarkan aura yang menggetarkan udara. Mayang Sari membentangkan selendang emasnya, yang mulai berpendar menyebar ke sekeliling, menerangi gelap dengan cahaya lembut berkilauan.

Nyai Kelabang Geni mengangkat tangannya, dan dari ujung jari-jarinya merambat keluar ratusan kelabang kecil berwarna hitam legam, berdesis pelan namun mematikan.

Pertarungan pun dimulai.

Kelabang-kelabang kecil menyambar cepat ke arah Mayang Sari, bergerak seperti gelombang racun yang mengerikan. Namun, dengan gerakan tangan lincah, Mayang Sari mengayunkan selendangnya, membentuk perisai berenergi cahaya emas yang menghalau setiap serangan tajam itu.

Percikan api kecil muncul dari benturan antara racun dan sinar pelindung.

Nyai Kelabang Geni tertawa dingin, suaranya menggelegar memecah kesunyian. “Jangan kira kau bisa menang hanya dengan sinar itu!” Ia mengerahkan seluruh kekuatannya, tubuhnya melesat cepat ke arah Mayang Sari, dengan serangan tendangan dan pukulan yang penuh energi dahsyat.

Mayang Sari lincah menghindar, setiap gerakannya seperti menari di antara bayang-bayang. Selendangnya berputar cepat, melayang seperti naga emas yang mengancam, membentur tubuh Nyai Kelabang Geni dengan kekuatan sakti. Setiap hentakan menciptakan gelombang energi yang mengguncang tanah dan membuat ranting pohon patah.

Nyai Kelabang Geni membalas dengan mengeluarkan racun mematikan dari ujung jarinya, membentuk pusaran yang berubah menjadi jaring kelabang beracun. Ia mengikat Mayang Sari, mencoba menjebaknya di antara sematan duri dan sengatan racun.

Namun Mayang Sari mengayunkan selendangnya satu kali lagi, menghempaskan energi cahaya yang membakar jaring itu dan membebaskan dirinya.

Pertarungan makin sengit. Kedua perempuan itu saling berhadapan, napas mereka terengah, tapi semangat mereka berkobar seperti api yang tak pernah padam. Tubuh mereka beradu, saling membentur dengan tenaga penuh, menciptakan ledakan energi yang mengguncang hutan di sekeliling.

Mayang Sari menyerang dengan serangan bertubi-tubi, selendangnya kini berubah bentuk menjadi bilah-bilah energi tajam. Nyai Kelabang Geni menangkis menggunakan tendangan beracun dan pukulan yang mengalir seperti lava panas. Setiap serangan melukiskan garis cahaya dan bayang gelap yang menari liar di udara.

Dalam satu gerakan epik, Mayang Sari meloncat tinggi, selendangnya mengepak di udara seperti sayap burung raksasa. Ia menukik tajam ke arah Nyai Kelabang Geni, dengan pukulan final yang membawa kekuatan seluruh jiwa dan dendamnya.

Namun Nyai Kelabang Geni cepat melompat ke samping, menghindar, dan membalas dengan semburan racun hitam pekat yang meluncur deras seperti banjir maut.

Mayang Sari menahan serangan itu dengan selendangnya, tapi beberapa tetes racun menetes mengenai kulitnya, menyebabkan sakit yang menusuk. Namun ia tak mundur, malah matanya menyala lebih terang, menyalurkan kekuatan batinnya.

“Kau tak akan menang, Kelabang Geni,” teriak Mayang Sari. “Aku adalah pembawa keadilan untuk guruku!”

Nyai Kelabang Geni tertawa getir. “Kau hanya pion dalam permainan yang lebih besar, Mayang Sari. Aku yang mengendalikan racun, aku yang menulis kematianmu!”

Saling serang semakin cepat, benturan mereka bagaikan badai yang menggulung. Angin mengamuk, dedaunan beterbangan, dan gemuruh energi memenuhi udara. Dari kejauhan, Saga dan Nayaka menonton, terpaku dan terhanyut dalam perjuangan epik dua wanita sakti yang membawa sejarah kelam dan dendam tak bertepi.

Pertarungan itu bukan sekadar duel kekuatan, tapi ujian jiwa dan kehormatan. Mereka bertarung bukan hanya untuk diri sendiri, tapi untuk mengenang guru yang gugur dan mempertahankan kehormatan nama suci pusaka.

*****

Malam di Pulau Elang bergemuruh oleh dentuman keras. Saga berdiri tegap, sorot matanya membara, tubuhnya memancarkan sinar kuning keemasan dari Tapak Naga Semesta. Di hadapannya, Ki Jagal Laut menggeram menggelegar, trisulanya berkilauan merah darah.

“Jagal Laut! Kali ini kau takkan bisa lolos!” bentak Saga, suaranya menggema menembus kegelapan, bagaikan gemuruh petir yang siap menggulung badai.

Ki Jagal Laut menatap tajam, lalu menerjang dengan trisula berputar cepat—swishhh, crack!. Gelombang energi hitam-merah meluncur deras menghantam udara dengan dentuman dahsyat—duarrr!. Tanah berguncang, batu terpecah, dan angin menerbangkan daun-daun kering ke udara.

Saga menghindar gesit, tubuhnya melayang, lalu menapak tanah dengan Tapak Naga Semesta yang menyala. Dari tapak kakinya muncul naga bercahaya emas yang berputar liar—brrruuumm!—gelombang energi naga mengamuk menghantam Ki Jagal Laut.

“Rasakan kekuatan naga samudera!” teriak Saga, tubuhnya bersinar seperti mentari pagi yang membakar kegelapan.

Ki Jagal Laut meraung, tubuhnya terpental dan menghantam batu besar dengan suara bummm!. Namun ia segera bangkit, mata birunya menyala penuh kemarahan.

“Gila! Kau benar-benar kuat, Saga! Tapi aku belum selesai!” ia mengaum, mengangkat trisula tinggi-tinggi. “Cakra Buana, berikan aku kekuatan!”

Gelombang energi gelap menyembur keluar, membelah udara dengan suara tajam—kraakkk!. Batu-batu besar terangkat melayang, angin badai menderu kencang mengamuk seperti topan.

Saga mengerutkan dahi, lalu menghunus Pedang Kumbang Hitam dari sarungnya. Pedang itu berpendar gelap, seolah menyerap seluruh kegelapan malam.

“Pedang Kumbang Hitam, berikan aku kekuatan melumpuhkan!” ucap Saga dengan suara mantap.

Ia mengayunkan pedang dengan gerakan cepat dan halus—swisshh, kraakk!. Cahaya hitam berputar mengikuti bilah pedang, menciptakan pusaran aura yang menusuk udara.

Ki Jagal Laut menerjang, trisulanya beradu dengan pedang Saga—krek-krek-krek! Dentuman besi saling bertabrakan menggema nyaring, menggetarkan udara di sekitarnya.

“Tapak Naga Semesta, kuperintahkan hancurkan musuhku!” teriak Saga.

Kaki kanannya menapak keras, memancarkan sinar kuning keemasan membara. Dari tanah, naga samudera bercahaya muncul dan melilit tubuh Ki Jagal Laut, melumat kekuatannya.

Dengan suara keras, naga itu menggulung, mencengkeram dan menghantam tubuh musuh ke tanah—bummm!. Ki Jagal Laut terjengkang, luka-luka menganga berwarna hitam dan merah mengalir di kulitnya.

“Tidak… ini belum berakhir!” Ki Jagal Laut berteriak, berusaha bangkit tapi tenaga sudah habis. Akhirnya ia terhempas dan napasnya berhenti dalam kepedihan. Tubuhnya diam, dan dunia seolah terhenti sesaat.

Di sisi lain, Nayaka Sari bertarung sengit dengan Ki Rawa Janggal. Gerakannya lincah, selendang ungu yang melayang-layang seperti bayangan menangkis serangan tajam dari jari-jari bayangan Ki Rawa Janggal.

“Rawa Janggal! Kau pikir aku akan kalah darimu?” Nayaka menyeringai, menari di antara bayangan hitam dengan cepat—swishhh, krek-krek!

Ki Rawa Janggal menciptakan tombak bayangan yang berputar liar, meluncur deras menghantam Nayaka. Tapi Nayaka memutar tubuhnya, selendang ungu berputar menangkis tombak dengan suara ssshhh!

Sementara itu, Saga melompat ke sisi Nayaka, napasnya terengah, namun matanya menyala penuh tekad.

“Nayaka, aku akan bantu kau!” katanya. Dalam satu gerakan kilat, ia mengayunkan Pedang Kumbang Hitam, yang langsung mengeluarkan aura hitam pekat dan ungu dari selendang Nayaka.

Keduanya menyatu membentuk pusaran energi dahsyat—whiiirr!. Pedang dan selendang menebas ke arah Ki Rawa Janggal dengan suara ledakan dahsyat—bummm!.

Ki Rawa Janggal terluka parah, jubah hitamnya koyak dan darah hitam mengucur. Ia terhuyung, mencoba meloloskan diri ke balik bayangan.

“Ini belum selesai…” bisiknya penuh kebencian saat menghilang ke dalam kegelapan.

Saga dan Nayaka berdiri bersama, napas mereka masih berat, tubuh penuh luka namun jiwa membara. Pertempuran sengit yang mengguncang Pulau Elang malam itu menjadi saksi, bahwa harapan baru telah lahir dari keberanian dan kekuatan mereka.

******

Dentuman keras menggema di seluruh pulau Elang. Pohon-pohon raksasa bergoyang hebat, ranting-ranting patah berjatuhan berhamburan ke tanah. Bumi pun bergetar seakan menolak kesaktian dahsyat yang sedang bertarung di atasnya.

Di tengah hutan lebat yang diselimuti kabut tebal, dua sosok perempuan berdiri saling berhadapan, tubuh mereka mengeluarkan aura sakti yang mengguncang udara.

Ratu Mayang Sari, sang Bidadari Selendang Emas, mengenakan jubah berwarna emas yang berkibar tertiup angin malam. Tatapannya membara penuh tekad dan kedamaian batin yang tak tergoyahkan.

Lawannya, Nyai Kelabang Geni, Guru Rahma yang terkenal sebagai Perawan Pencabut Nyawa, berdiri dengan cambuk berapi di tangan, matanya membakar penuh dendam dan amarah.

“Ini adalah ujian terakhirmu, Nyai Kelabang Geni!” bentak Ratu Mayang Sari, suaranya bergemuruh bak petir di langit malam. Tangan kanannya melesat maju membentuk Ajian Tapak Samudera — jurus pamungkas yang telah lama tersimpan dalam warisan leluhur. “Hancurkanlah kebencianmu, dan akhiri pertumpahan darah ini!”

Nyai Kelabang Geni tertawa sinis, cambuk api berputar-putar di tangannya, menyemburkan bara dan asap yang membumbung tinggi. “Kau tak akan pernah mengerti, Ratu! Dendam ini mengalir dalam darahku! Aku yang akan menuntaskan semua ini!” Suaranya serak, penuh kebencian yang membakar jiwa.

Mereka menyerang sekaligus. Cambuk api Nyai Kelabang Geni menebas, menciptakan gelombang panas membakar tanah di sekitarnya. Ratu Mayang Sari menghindar dengan lentur, melangkah cepat seperti angin lalu, lalu membalas dengan hentakan kaki yang menghasilkan gelombang energi kuning keemasan.

Dentuman keras meledak setiap kali jurus itu menyentuh tanah, memecah bebatuan dan menimbulkan debu tebal.

Pertarungan itu bukan hanya adu fisik, tapi pertempuran dua jiwa yang membawa beban sejarah dan dendam yang mendalam. Cahaya kuning keemasan dari Ajian Tapak Samudera beradu dengan bara merah yang menyala dari cambuk Nyai Kelabang Geni.

Setiap benturan mengirimkan gelombang energi yang mengguncang pohon-pohon dan menggetarkan udara hingga jauh ke laut.

“Lihatlah! Ini kekuatan sejati seorang Bidadari!” teriak Ratu Mayang Sari sambil melepaskan serangan beruntun, tangan kanannya menari menggores udara, menghasilkan kilatan sinar yang menembus kabut. “Ajian Tapak Samudera, serang dan habisi musuh yang membawa racun dan kematian!”

Nyai Kelabang Geni tidak mau kalah. Dengan cambuknya, ia memutar udara sekelilingnya menjadi pusaran api yang mematikan. Ia melompat tinggi dan melesat turun, mencoba menebas kepala Ratu Mayang Sari dengan cambuknya yang berujung tombak api.

Tapi Ratu Mayang Sari tangkas menghindar, lalu membalas dengan pukulan telapak tangan yang meledak dalam ledakan cahaya.

“Nggrrrr…!” Nyai Kelabang Geni meraung saat tubuhnya terhantam, terlempar beberapa meter ke belakang. Namun, dengan cepat ia bangkit, menyemburkan racun dari cambuknya yang meliuk-liuk, mencoba melukai Ratu Mayang Sari.

Ratu Mayang Sari menepis racun itu dengan sapuan tangan, wajahnya menunjukkan sedikit kesakitan. Tapi ia menahan, karena ini pertempuran hidup dan mati yang sudah lama ditunggu. Dengan napas terengah, ia merapatkan tekadnya.

“Darahku mengalir untuk perdamaian, bukan pembalasan dendam!” katanya pelan namun tegas.

Dengan jurus terakhirnya, Ratu Mayang Sari mengumpulkan seluruh tenaga dalamnya. Tapak Samudera yang telah menjadi ajian legendaris kini mencapai puncak kesempurnaan. Ia menapakkan kedua telapak kakinya ke tanah, mengeluarkan gelombang energi dahsyat yang membelah udara malam seperti tsunami cahaya keemasan.

“Serang!” teriaknya.

Gelombang cahaya itu melesat ke arah Nyai Kelabang Geni, membungkus seluruh tubuh lawannya dengan kilatan energi murni. Nyai Kelabang Geni meraung putus asa, tapi kekuatan itu terlalu besar. Tubuhnya membeku, kemudian roboh perlahan. Nafas terakhirnya tertahan, cambuk api pun padam.

Ratu Mayang Sari berdiri terpaku, tubuhnya sudah penuh luka, darah mengalir deras dari beberapa robekan di kulitnya. Wajahnya pucat, namun mata yang teduh menyiratkan kemenangan dan pengorbanan.

Saga dan Nayaka yang menyaksikan dari kejauhan segera berlari mendekat. Nayaka menangis, meraih tangan guru spiritualnya yang mulai melemah.

“Nenek… jangan pergi…” suara Nayaka bergetar penuh kesedihan.

Ratu Mayang Sari menatap Saga, senyum penuh kehangatan meski tubuhnya melemah. “Saga… jagalah Nayaka… dengan segenap jiwa dan ragamu… Aku percaya padamu…” suaranya hampir seperti bisikan angin terakhir.

Dengan sisa tenaga, ia mengangkat tangan yang bergetar, memancarkan cahaya kuning keemasan. Cahaya itu berpendar, perlahan menjelma menjadi berkas sinar yang masuk ke dalam cincin Genta Buana yang melingkar di jari Saga.

Nayaka terisak pelan, menyaksikan jiwa Ratu Mayang Sari berubah menjadi cahaya keemasan yang menembus cincin itu, menyatu dengan pusaka leluhur.

Saga menggenggam cincin itu erat, hatinya bergetar merasakan energi dan pesan abadi dari Ratu Mayang Sari. “Aku akan menjaganya… aku akan menjaga Nayaka…” bisiknya dengan tekad baja.

Malam Pulau Elang mereda. Angin perlahan membisu, kabut menebal, menutup kisah pertempuran yang penuh dendam, pengorbanan, dan harapan. Sebuah babak baru telah dimulai—babak di mana Ksatria Naga Semesta dan Dewi Selendang Ungu membawa masa depan yang baru untuk dunia.

*******

Mentari condong ke barat, meninggalkan guratan jingga di cakrawala Pulau Elang yang mulai kembali tenang. Sisa-sisa pertempuran masih membekas di tanah: pohon-pohon rebah, tanah menganga, dan aroma dupa pembasuh arwah yang dibakar oleh Saga sebagai penghormatan terakhir bagi mereka yang gugur.

Saga berdiri diam di tepi pantai, matanya menatap laut lepas. Angin laut mengibarkan jubahnya, sementara Cincin Genta Buana di jari kirinya memancarkan sinar keemasan yang lembut. Di balik sinar itu, Saga merasakan keberadaan Ratu Mayang Sari… tenang, namun tetap berjaga.

Nayaka memandang suaminya dalam diam. Air matanya telah kering, namun dadanya masih sesak oleh kehilangan. Di pelukannya tergenggam sebuah selendang ungu yang berkibar pelan — warisan kasih, warisan dendam, dan warisan tekad.

Di kejauhan, burung-burung camar berputar di udara, seakan menyanyikan lagu penutup dari pertarungan agung yang telah mengguncang langit dan bumi.

Di tengah gelap gulita laut, tampak bayangan sebuah perahu besar bergerak senyap menuju Pulau Panggang. Di atasnya berdiri sosok tinggi berjubah hitam, wajahnya tersembunyi di balik topeng perak berbentuk tengkorak.

Tangan kirinya menggenggam sebuah tongkat panjang berhiaskan mata ular merah menyala. Udara di sekitarnya dingin… sangat dingin.

“Ki Jagal Laut telah tumbang…” desisnya pelan. “Namun permainan belum selesai…”

Dari balik gelap, muncul sosok-sosok lain… delapan bayangan, para pendekar misterius dari Tarekat Bayangan Arwah — sekte rahasia yang selama ini diam, kini bergerak. Dan mereka menuju Pulau Panggang dengan satu tujuan: membalas, menguasai… dan membangkitkan sesuatu yang selama ini tersegel dalam Palung Cakar Iblis.

Sementara itu, di Pulau Panggang, seorang pemuda keturunan darah bangsawan mulai mengalami mimpi aneh. Dalam mimpinya, seekor naga hitam melilit tubuhnya… dan suara asing berbisik:

“Saga… kau belum mengenal warisan tergelapmu…”

Dan malam itu, Cincin Genta Buana bergetar sendiri…

Apa yang menanti di Pulau Panggang?
Siapakah musuh baru yang akan bangkit dari kelam sejarah?
Dan apakah Nayaka, sang Dewi Selendang Ungu, siap menghadapi jejak takdir berikutnya?

Nantikan kelanjutan kisah epik ini di BAB 11.2: TEGANG DI PULAU PANGGANG!

Bagaimana Anda menilai informasi ini? Berikan reaksi Anda!