Cerpen  

Kinanda

Avatar photo

Ning menjerit. “Bapak, jangan!” Air matanya semakin deras, suaranya penuh kepedihan. Ia mencoba bangkit, ingin menghentikan ayahnya, tapi tubuhnya terasa lemah.

Karta masih marah, tapi tangannya mulai gemetar. Napasnya memburu, emosinya bercampur dengan sesuatu yang sulit dijelaskan.

Asmara menatap suaminya dengan mata yang berkaca-kaca. “Pak, cukup…” bisiknya.

Karta masih berdiri di sana, dadanya naik turun. Ia menatap Kinan yang tetap berdiri tegak meskipun wajahnya berlumuran darah. Lalu ia menatap Ning, putrinya yang masih menangis tersedu-sedu.

Malam semakin larut, tapi ketegangan di ruangan itu belum juga mereda.

*****

Ning tidak bisa menahan diri lagi. Dengan air mata yang terus mengalir di pipinya, ia berlari menuju Kinan dan berusaha menghalangi pukulan ayahnya dengan tubuhnya sendiri.

“Bapak, berhenti! Tolong jangan pukul Kinan lagi!” teriaknya dengan suara yang penuh kepedihan. Ia memeluk Kinan erat, tubuhnya gemetar di antara isakan tangisnya.

Namun, Karta masih terbakar amarah. Matanya yang tajam dipenuhi kemarahan yang sulit diredam. “Minggir, Ning!” bentaknya, suaranya menggelegar memenuhi ruangan.

Ning menggeleng dengan keras, air matanya semakin deras. “Bapak, aku tidak bisa melihat Kinan dipukul lagi! Aku tidak bisa!” suaranya pecah, hampir tak terdengar di antara isakannya. Dengan segenap keberanian yang tersisa, ia berusaha menahan lengan ayahnya, berharap bisa menghentikannya.

Tapi Karta terlalu kuat. Ia melepaskan pegangan Ning dengan mudah dan tetap melayangkan pukulan ke arah Kinan.

“Berhenti, Karta!” Asmara, yang sejak tadi berusaha menenangkan situasi, kini berlari dan mencoba menahan lengan suaminya. Matanya basah, suaranya penuh kepanikan. “Tolong… cukup! Kamu tidak boleh seperti ini! Kamu akan menyakiti Ning juga!”

Tapi Karta masih terbawa emosi.

Sementara itu, Kinan yang wajahnya sudah penuh luka tetap berdiri tegak, meskipun tubuhnya mulai kehilangan keseimbangan. Dengan sisa tenaga yang dimilikinya, ia menatap Ning yang masih menangis di depannya.

“Ning… aku baik-baik saja…” suaranya lirih, lembut, penuh kasih sayang, meskipun jelas tubuhnya tak lagi mampu bertahan. “Jangan menangis… Aku tidak apa-apa…”

Ning menggeleng, air matanya semakin deras. Ia menggenggam tangan Kinan dengan erat, seolah takut kehilangan sosok yang begitu ia cintai.

“Tidak, Kinan… Kau tidak baik-baik saja…” suaranya bergetar hebat. “Aku tidak bisa melihatmu seperti ini… Aku tidak bisa!”

Kinan tersenyum lemah, mencoba menenangkan Ning meskipun tubuhnya sendiri sudah nyaris tak berdaya.

Tapi tubuhnya tak lagi bisa menyangga semua luka yang telah ia terima. Kinan akhirnya limbung.

“Ning…” Suara Kinan hampir tak terdengar sebelum tubuhnya jatuh dengan keras ke lantai.

Bugh!

Ning menjerit. “Kinan!”

Ia langsung berlutut, mengguncang tubuh Kinan dengan panik. Darah merembes dari luka-lukanya, wajahnya pucat.

“Kinan, bangun! Tolong bangun!” Ning menangis semakin histeris, memeluk Kinan erat, seolah bisa mengembalikan kesadarannya hanya dengan kehangatan tubuhnya.

Namun, Kinan tetap diam. Napasnya pelan… terlalu pelan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *