Langit mendung bergelayut di atas pulau kecil itu saat Pak Somad berdiri gemetar di depan rumah Akmal, cucu tertua Alm. H. Sanip. Di belakangnya, sebuah perahu motor sederhana menunggu dengan keranda jenazah yang ditutupi kain putih—jenazah ayahnya yang baru saja berpulang setelah sakit panjang.
“Mohon maaf, Pak Akmal. Saya bermaksud meminta izin untuk menguburkan Bapak saya di tanah pemakaman di ujung kampung,” ujar Pak Somad dengan suara parau. Air mata masih menggenang di pelupuk matanya, campur dengan peluh yang menetes di tengah terik matahari.
Akmal, lelaki paruh baya dengan kemeja rapi dan jam tangan mencolok, berdiri angkuh di teras rumahnya yang permanen—satu-satunya rumah dua lantai di kampung nelayan itu.
“Maaf, Pak Somad. Sudah berkali-kali saya katakan ke warga, itu tanah milik keluarga kami. Bukan tanah wakaf seperti yang kalian kira,” jawab Akmal tegas. “Kakek saya tidak pernah mewakafkan tanah itu. Mana bukti tertulisnya?”
“Tapi Pak, semua orang tua di kampung ini tahu bahwa Alm. H. Sanip sudah mewakafkan tanah itu untuk pemakaman umum. Bapak saya sendiri dulu yang membantu memasang patok-patok batasnya,” Pak Somad berusaha menjelaskan dengan suara bergetar.
“Saksi hidup bisa mati, Pak. Saksi tertulis yang nggak bisa dibantah. Mana akta wakafnya? Mana tanda tangan kakek saya? Tidak ada, kan?” Akmal tersenyum sinis. “Kalau mau menguburkan, di pemakaman umum Kecamatan saja. Atau kalau mau di sini, bayar sewa tanahnya ke saya.”
“Bayar? Astafirullah… ini tanah wakaf, Pak! Tanah untuk umat!” Pak Somad mulai meninggikan suaranya, frustasi bercampur duka.
“Terserah Bapak mau percaya apa. Yang jelas, tanah itu milik keluarga kami, dan sertifikatnya ada,” Akmal berbalik, bersiap menutup pintu. “Kalau Bapak memaksa, saya akan panggil Pak RT dan polisi.”
Pak Somad terpaku. Di perahu, jenazah ayahnya menunggu peristirahatan terakhir, sementara langit semakin gelap mengancam hujan.
Berita penolakan pemakaman ayah Pak Somad menyebar secepat kilat di pulau kecil itu. Di musala kampung, para tetua dan warga berkumpul dalam situasi yang memanas.
“Tidak bisa dibiarkan! Ini sudah keterlaluan!” seru Pak Hasan, ketua RT yang beruban. “Semua orang tahu tanah itu wakaf dari H. Sanip! Saya sendiri masih ingat saat beliau mengumumkannya setelah sholat Jumat, lebih dari 30 tahun lalu.”
“Tapi memang benar kata Akmal, tidak ada bukti tertulis,” timpal Pak Zainudin, mantan kepala dusun yang kini sudah pensiun. “Dulu administrasi wakaf memang belum serapi sekarang. H. Sanip hanya mengucapkan ikrar wakaf di depan jamaah musala, tanpa ada pencatatan resmi.”
“Lalu bagaimana dengan jenazah Pak Ibrahim?” tanya salah seorang warga, menunjuk ke arah rumah Pak Somad di mana jenazah sang ayah masih terbaring. “Tidak mungkin kita bawa ke pemakaman Kecamatan. Ombak sedang tinggi, bisa berjam-jam perjalanan.”
Perdebatan semakin alot ketika Pak Somad melangkah masuk ke musala dengan wajah sembab. Di belakangnya, istri dan saudara-saudaranya berjajar dengan raut kesedihan yang mendalam.
“Kami sudah memutuskan,” ujar Pak Somad pelan. “Ayah akan dikuburkan di pekarangan belakang rumah kami. Meski sempit, masih ada ruang di sana.”
Ruangan hening. Menguburkan jenazah di pekarangan rumah adalah hal yang tidak lazim di pulau itu, tapi situasi memaksa mereka mengambil jalan tersebut.
“Tidak bisa begitu, Mad,” kata Pak Hasan setelah terdiam beberapa saat. “Ini bukan hanya soal ayahmu, tapi soal hak kita semua. Tanah itu adalah wakaf, dan kita harus memperjuangkannya.”
Keesokan harinya, Akmal terkejut mendapati puluhan warga berkumpul di depan rumahnya. Di barisan depan, berdiri Pak Hasan, Pak Zainudin, dan beberapa tetua kampung lainnya.
“Ada apa ini?” tanya Akmal waspada.
“Kami ingin bicara baik-baik,” jawab Pak Hasan tenang. “Ini tentang tanah pemakaman yang diklaim sebagai milik keluargamu.”
Akmal menghela napas panjang, lalu mempersilakan para tetua masuk ke ruang tamunya. Sementara itu, warga lainnya menunggu di luar, beberapa di antaranya masih tampak geram.
“Begini, Akmal,” Pak Zainudin memulai. “Kami semua tahu bahwa kakekmu, H. Sanip, adalah orang yang sangat shaleh dan mencintai kampung ini. Dia mewakafkan tanahnya untuk pemakaman karena tahu betapa sulitnya transportasi ke daratan utama.”
“Saya juga tahu kakek saya orang baik,” potong Akmal. “Tapi beliau juga ingin keluarganya terjamin. Tanah itu adalah warisan untuk kami, anak cucunya. Kalau dulu memang pernah meminjamkan untuk pemakaman sementara, itu hanya karena situasi darurat.”
“Berapa luas tanah keluargamu di pulau ini, Mal?” tanya Pak Hasan.
“Sekitar dua hektar, termasuk yang di ujung kampung itu,” jawab Akmal.
“Dan berapa yang kau butuhkan untuk hidup berkecukupan? Bukankah kau sudah punya usaha di kota dan jarang pulang ke sini?”
Akmal terdiam.
“Kakek kamu pernah bilang ke saya,” lanjut Pak Hasan dengan suara pelan namun mantap. “Dia ingin meninggalkan sesuatu yang abadi. Pahala yang tak terputus. Itulah mengapa dia mewakafkan tanah itu.”
“Tapi tetap saja tidak ada bukti–“
“Ada,” sela seseorang dari pintu.
Semua kepala menoleh. Mariam, bibi Akmal yang sudah berusia 70-an tahun, berdiri dengan bantuan tongkat. Di tangannya yang keriput, tergenggam sebuah amplop kusam.
“Bu De? Sejak kapan Bu De datang?” tanya Akmal kaget.
“Tadi pagi. Saya dengar dari Hayati tentang kekacauan ini,” jawab Mariam sambil perlahan duduk di kursi yang diberikan oleh salah satu tetua. “Akmal, ayahmu selalu takut untuk memberitahumu hal ini. Tapi sekarang sudah waktunya kau tahu.”
Mariam membuka amplop itu dan mengeluarkan selembar kertas yang sudah menguning. “Ini adalah surat pernyataan yang ditulis ayahmu sendiri, bahwa tanah di ujung kampung memang telah diwakafkan oleh H. Sanip. Ayahmu sebagai anak tertua menjadi saksi dan menyetujuinya.”
Akmal membaca surat itu dengan tangan gemetar. Tanda tangan ayahnya dan kakeknya jelas tertera di sana, bersama dengan kesaksian beberapa nama yang sebagian sudah meninggal.
“Kenapa… kenapa Ayah tidak pernah cerita?” suara Akmal tercekat.
“Karena dia tahu kau akan menentangnya,” jawab Mariam lembut. “Dia tahu kau terlalu mencintai harta. Padahal, yang abadi hanyalah amal jariyah, Mal.”
Ruangan itu hening. Dari luar terdengar suara ombak berdeburan pelan di tepian pulau, seolah menjadi saksi bisu konflik yang telah berlangsung terlalu lama.
Tiga hari kemudian, pemakaman umum di ujung kampung itu diresmikan secara formal sebagai tanah wakaf dengan nama “Wakaf Pemakaman H. Sanip.” Akmal sendiri yang memimpin upacara peresmian, dengan mata sembab dan hati yang perlahan menemukan kedamaian.
“Saya minta maaf kepada seluruh warga kampung,” ujarnya di depan kerumunan yang hadir. “Ketamakan telah membutakan saya dari wasiat suci kakek saya.”
Pak Somad, yang berdiri di barisan depan, mengangguk menerima permintaan maaf itu. Di sampingnya, pusara ayahnya yang kini menjadi penghuni pertama pemakaman resmi itu tampak masih baru, dengan papan nama sederhana yang dihiasi bunga-bunga liar pulau.
“Yang penting sekarang kita punya kepastian,” bisik Pak Hasan pada Pak Somad. “Tidak akan ada lagi penolakan untuk mereka yang hendak pulang ke rahmatullah.”
Di ujung pemakaman, Mariam duduk sendiri di atas batu besar, memandang laut lepas yang berkilauan ditimpa cahaya senja. Bibirnya bergerak perlahan, membacakan doa untuk saudaranya, untuk keponakannya, dan untuk seluruh arwah yang kini dan nanti akan beristirahat di tanah wakaf ini.
“Alhamdulillah,” gumamnya pelan. “Akhirnya, kebenaran tetap menemukan jalannya.”
Di pulau kecil yang tak perlu disebutkan namanya itu, konflik tanah wakaf telah menemukan resolusinya. Bukan melalui kekerasan atau perpecahan, melainkan melalui kesaksian, keikhlasan, dan pengingat bahwa di atas segalanya, yang abadi hanyalah amal yang mengalir tanpa henti.
TAMAT