Alkisah di zaman Kompeni masih mondok di Batavia, tersebutlah seorang jenderal Belanda berkumis tipis penuh ambisi bernama Tuan Scott van der Laper.
Ia punya misi penting: memetakan semua wilayah Hindia Belanda, meskipun Google Maps belum lahir.
Seperti biasa, Tuan Scott tak sendiri. Ia selalu ditemani pesuruh pribumi setia, merangkap penterjemah, tukang dorong kereta, dan juru ngopi: Bang Raisan, atau lebih akrab dipanggil Bang Rais. Orang Betawi asli, logatnya nendang, semangatnya kadang pending.
Pagi itu di Pelabuhan Sunda Kelapa, Tuan Scott berdiri sambil nyedot udara garam laut. Lalu ia mengangkat teropong. Matanya melotot ke arah barat, terlihat gunung menjulang di kejauhan.
Dengan logat Belanda campur aduk dan semangat mau nulis di peta, ia bertanya:
“Rais… apa kamu tau itu… barat sana itu ada gunung… besar… apa namanya itu gunung?!”
Bang Rais, yang baru aja bangun dari bangku pelabuhan dan belum minum kopi, menguap sebentar lalu jawab:
“Ohh itu mah… gunung tua, saya kagak tau namanya, Tuan… Kagak Tau!”
Tuan Scott menulis cepat di bukunya pakai bulu ayam,
“Ah ya! Gunung Karakatau! Bagus!”
Belum selesai catat, Tuan Scott balik arah. Matanya menatap laut. Di kejauhan tampak titik-titik pulau seperti butiran merica tumpah di peta Tuhan. Ia mengernyit.
“Rais… kamu pernah pergi sana? Itu laut penuh pulau… ada berapakah itu pulau? Banyak? Sedikit?!”
Bang Rais, yang udah mulai kesel tapi tetap sopan (karena takut dipotong gaji), jawab sekenanya sambil ngelirik ke laut:
“Waduuuh Tuan, ane juga kagak ngitungin. Banyak, Tuan. Bisa seribu kali tuh…”
Tuan Scott langsung loncat girang kayak nemu diskon keju di pasar Eropa.
“Seribuk! Bagus! Saya tulis… ini nama dia… PULAU SERIBUK!”
“Seribu, Tuan… bukan seribuk.” potong Bang Rais pelan.
“Ah, itu juga! Sama! Bagus! Pulau Seribu! Selesai!”
Sejak saat itu, meski jumlah pulaunya cuma sekitar 110 (dan itu juga ngitung batu karang yang nongol pas surut), namanya tetap Pulau Seribu.
Bang Rasi menatap laut sambil geleng-geleng,
“Ini semua gara-gara gue jawab ogah-ogahan…”