Opini  

Soal Migas: Kepulauan Seribu Tak Seperti Papua, Katanya?

Avatar photo
Foto: Ilustrasi/Istimewah

Sudah lebih dari empat dekade eksploitasi minyak dan gas bumi berlangsung di perairan Kepulauan Seribu. Empat puluh tahun lebih, kapal-kapal offshore mondar-mandir di cakrawala, rig-rig raksasa berdiri kokoh di tengah lautan, menjulang di antara deburan ombak, mencengkeram dasar laut yang menyimpan rahasia kekayaan bumi.

Namun, apa yang didapat masyarakat Kepulauan Seribu?

Hanya pemandangan menara-menara besi yang menyala di kejauhan. Hanya gemuruh mesin yang terdengar samar di malam hari. Hanya cahaya yang berkilauan di batas cakrawala, seperti mercusuar tanpa harapan.

Mereka bilang, Kepulauan Seribu tak seperti Papua.
Mereka bilang, di sini tidak ada Blok Tangguh, tidak ada angka-angka triliunan yang masuk ke kas negara.
Mereka bilang, laut kami bukan sumber energi nasional.

Tapi kalau memang begitu, kenapa rig-rig itu tetap berdiri? Kenapa kawasan itu menjadi eksklusif, haram terjamah oleh nelayan kami?

Haruskah Kami Percaya?
Orang-orang tua di pulau ini masih ingat, bagaimana dulu mereka bisa melaut sejauh mata memandang, menebar jala tanpa ketakutan.

Sekarang? Jangankan menjaring ikan, mendekat saja mereka diusir.

Seperti ada batas tak kasat mata, garis imajiner yang melarang perahu-perahu nelayan Kepulauan Seribu mendekati wilayah eksploitasi.
Di sana, laut bukan lagi milik mereka.
Di sana, lautan yang mereka kenal berubah menjadi halaman belakang perusahaan-perusahaan minyak.

Mereka bilang, itu demi keamanan.
Mereka bilang, laut di sekitar rig bukan untuk rakyat biasa.
Mereka bilang, tangan nelayan yang hitam legam oleh garam laut tak boleh menyentuh zona eksklusif itu.

Lucu.
Laut kami sendiri, tapi kami tak boleh berada di sana.

Lalu, Ke Mana Hasilnya?
Empat dekade sudah rig-rig itu berdiri, menghisap isi perut bumi di bawah lautan Kepulauan Seribu.

Empat puluh tahun lebih, tapi kami tak pernah tahu berapa barel minyak yang mereka ambil, berapa kaki kubik gas yang mereka kirim ke daratan, berapa rupiah yang seharusnya kembali ke tanah kami.

Yang kami tahu, hanya ada program CSR yang datang sesekali, seperti sedekah di antara pesta besar.
Sebuah dermaga kecil dibangun di satu pulau.
Satu-dua sekolah direnovasi.
Beberapa bantuan alat tangkap diberikan.

Tapi di mana bagi hasilnya?
Di mana hak kami?

Mereka bilang, kami hanya mendapat tetesan.
Dan anehnya, kami harus bersyukur.

Pemberdayaan Tenaga Kerja Lokal? Ah, Omong Kosong!
Mereka sering berkata bahwa eksploitasi migas memberikan lapangan pekerjaan bagi masyarakat lokal.

Siapa yang mereka maksud?

Di rig-rig itu, ada orang Kepulauan Seribu?
Di kapal-kapal offshore itu, ada anak-anak nelayan yang dulu dilarang melaut?

Nyatanya, warga lokal hanya jadi pelamur mata, penghias statistik, seolah-olah ada pemberdayaan.

Faktanya?
Kami bak buih di tengah lautan. Ada, tapi tak diperhitungkan.

Mereka mungkin menerima segelintir orang sebagai tenaga kerja rendahan. Tapi posisi strategis? Tetap diisi oleh mereka yang bukan anak pulau.

Kami hanya jadi saksi, melihat rig-rig itu berdiri, melihat kapal-kapal itu bergerak, melihat ladang energi yang tak bisa kami sentuh.

Kami bertanya, “Kenapa kami tak boleh melaut di sekitar rig?”
Mereka menjawab, “Ini demi keamanan.”

Kami bertanya, “Kenapa bukan orang Kepulauan Seribu yang bekerja di sana?”
Mereka menjawab, “Ada standar dan kualifikasi.”

Ah, standar macam apa yang tak bisa dipelajari anak-anak pulau ini?
Kualifikasi macam apa yang membuat mereka harus terus menjadi tamu di rumah sendiri?

Surga Wisata di Permukaan, Ladang Energi di Kedalaman
Pemerintah selalu mengatakan, Kepulauan Seribu adalah destinasi wisata unggulan.

Pantai-pantai kami dijual sebagai pariwisata premium.
Air laut kami dipromosikan sebagai kepingan surga di utara Jakarta.
Setiap sudutnya dihias agar menarik wisatawan.

Tapi apa itu hanya kedok?

Sementara di atasnya perahu wisata berlalu-lalang, di bawahnya minyak dan gas terus dipompa keluar tanpa ada yang tahu ke mana hasilnya mengalir.

Di atasnya ada pasir putih, di bawahnya ada jalur pipa.
Di atasnya ada turis asing bersantai, di bawahnya ada industri yang tak tersentuh tangan rakyat.

Nelayan kami tak boleh mendekat.
Tapi kapal-kapal eksplorasi terus keluar-masuk tanpa henti.

Mereka bilang, Kepulauan Seribu tak seperti Papua.
Mereka bilang, ini bukan wilayah kaya migas.
Mereka bilang, rig-rig itu hanya sebagian kecil dari produksi nasional.

Tapi kalau benar begitu, kenapa kita tak pernah tahu angkanya?
Kenapa kawasan itu tetap jadi wilayah eksklusif yang tak bisa disentuh?
Kenapa masyarakat Kepulauan Seribu hanya kebagian remah-remah?

Ataukah…
Memang begitulah rencana mereka sejak awal?

“Ini bukan seruan perlawanan, bukan pula tuduhan tanpa dasar. Ini hanyalah curahan hati seorang putra pulau yang ingin mengerti. Jika Kepulauan Seribu memang bukan ladang emas hitam, maka biarlah kami tahu. Jika ada hasil yang seharusnya kembali ke kami, maka biarlah terbuka. Kami hanya ingin bertanya, bukan menuding. Kami hanya ingin memahami, bukan mencari musuh. Karena laut ini rumah kami, dan rumah seharusnya tak menyimpan rahasia bagi penghuninya.”

Bagaimana Anda menilai informasi ini? Berikan reaksi Anda!