“Ning… sudahlah,” kata Kinan sedikit keras. “Aku tidak bisa berhenti merokok hanya karena kamu khawatir. Aku sudah terbiasa dengan ini.”
Ning merasa sedikit terluka dengan nada Kinan yang keras. Dia berusaha untuk tidak menunjukkan perasaannya, tapi suaranya tidak bisa disembunyikan.
“Kinan, aku tidak meminta kamu untuk berhenti merokok hanya karena aku khawatir. Aku meminta kamu untuk berhenti merokok karena aku tidak ingin anak-anak kita mengalami apa yang aku alami dengan bapak.
“Bapak positif TBC karena merokok, dan aku tidak ingin hal yang sama terjadi pada anak-anak kita,” kata Ning dengan nada sedih.
Kinan terdiam, tidak menjawab. Dia tahu bahwa Ning memiliki alasan yang kuat untuk meminta dia berhenti merokok, tapi dia tidak ingin mengakui bahwa dia salah.
“Aku gagal, gagal, gagal….” kata Ning dengan nada keras dan mata yang berkaca-kaca. “Mereka yang bukan siapa-siapaku mau menurutiku, tapi orang-orang yang aku cintai tidak mau mendengarkan aku.”
Kinan terkejut dengan reaksi Ning yang keras. Dia tidak pernah melihat Ning seperti ini sebelumnya. Dia berusaha untuk mendekati Ning dan menenangkan dia, tapi Ning menolak.
“Jangan sentuh aku!” kata Ning dengan nada keras. “Aku tidak ingin kamu menyentuh aku! Aku tidak ingin kamu membuat aku merasa lebih buruk lagi!”
Kinan terdiam, tidak tahu apa yang harus dia lakukan. Dia merasa seperti dia telah menyakiti Ning, tapi dia tidak tahu bagaimana cara memperbaiki kesalahan itu.
“Aku ingin percaya kamu, Kinan,” kata Ning dengan suara yang lembut, “tapi aku sudah terlalu banyak kecewa.”
Kinan menghela napas, lalu memandang Ning dengan mata yang serius. “Aku tahu aku telah membuat kamu kecewa, Ning. Tapi aku ingin membuktikan bahwa aku bisa berubah.”
Ning memandang Kinan dengan mata yang penuh pertanyaan. “Bagaimana kamu bisa membuktikan itu?”
Kinan tersenyum. “Aku akan mulai dengan mengurangi rokok. Aku akan berusaha untuk tidak merokok di depan kamu dan anak-anak.”
Tiba-tiba, Kinara yang sedang bermain di sebelahnya, mengangkat kepala dan berkata dengan suara cedal namun agak sedikit judes, “Ayah, berhenti merokok, ya! Kakek sakit karena merokok, aku tidak ingin Ayah sakit seperti Kakek!”
Kinan membalas celotehan Kinara dengan tertawa lepas, dan dengan ekspresi senyum setengah bercanda, “Ayah akan berhenti, tapi Tuan Putriku juga janji mulai saat ini berhenti main HP, bagaimana? Tuan Putri.”
Kinara menolak dengan alasan yang lucu, “Tapi, Ayah, main HP tidak bikin sakit! Kakek sakit karena merokok, bukan karena main HP!”
Ning melempar sebuah korek api gas berwarna biru ke kasur. “Lihat anak lelakimu, ini yang dia tinggalkan di celananya, tiap hari ku temukan ini, bahkan di baju sekolahnya banyak sisa terbakar roko.”
“Apa… apa yang kamu katakan, Ning?” tanya Kinan dengan ekspresi khawatir.
“Kamu tidak pernah ada di rumah, kamu tidak pernah memperhatikan anak-anak kita,” kata Ning dengan nada sedih.
“Aku… aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan, Ning,” kata Kinan dengan suara yang lembut.
“Kamu harus berubah, Kinan. Kamu harus menjadi ayah yang baik untuk anak-anak kita,” kata Ning dengan mata yang penuh harapan.
“Kinanda sudah mulai merokok? Bagaimana bisa?” tanya Kinan dengan ekspresi shock.
“Aku tidak tahu, tapi aku khawatir sekali. Kamu harus berbicara dengan dia, Kinan,” kata Ning dengan nada serius.
“Aku akan berbicara dengan dia, aku janji,” kata Kinan dengan suara yang tegas.
“Tapi, apa yang akan kamu katakan kepadanya? Kamu sendiri masih merokok,” kata Ning dengan nada skeptis.
“Aku… aku akan mencari cara untuk berhenti merokok, Ning. Aku janji,” kata Kinan dengan suara yang lembut.
“Kinan, aku tidak ingin mendengar janji-janji lagi. Aku ingin melihat perubahan nyata,” kata Ning dengan nada tegas.
Kinara menimpali dengan kesan judes ke ayahnya, “Ayah bohong, Bund! Ayah selalu menyuruh Abang membeli rokok untuk Ayah.
Nara lihat sendiri, Ayah! Ayah tidak pernah memikirkan kita, hanya memikirkan diri sendiri dan rokoknya!”
Ning memandang Kinan dengan mata yang penuh kekecewaan, “Benarkah, Kinan? Kamu menyuruh Kinanda membeli rokok untukmu? Apa kamu tidak malu membuat anakmu sendiri membeli rokok untukmu?”
Kinan terlihat terjebak dan tidak bisa menyangkal, “Aku… aku tidak bisa menyangkal, Ning. Aku memang menyuruh Kinanda membeli rokok untukku. Tapi, aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan, aku tidak bisa berhenti merokok.”
Kinara melanjutkan dengan nada yang semakin judes, “Ayah tidak pernah berubah, Bund! Ayah hanya berbohong dan membuat janji-janji yang tidak pernah dipenuhi! Nara tidak percaya Ayah lagi!”
“Ayahku yang tampan, Nara tidak ingin melihat Ayah merokok lagi. Nara tidak ingin Ayah sakit seperti Kakek.”
Ning memandang Kinan dengan mata yang penuh kekecewaan, “Kinan, kamu harus berubah. Kamu harus memikirkan tentang keluarga kita.”
Kinan terlihat terjebak dan tidak tahu apa yang harus dilakukan. Ia memandang Kinara dengan mata yang penuh penyesalan.
Ning melanjutkan, “Kinan, kamu harus menjaga kesehatanmu untuk anak-anak kita, terutama Nara.”
Kinara memandang ayahnya dengan mata yang penuh harapan, “Ayah, Nara ingin Ayah sehat.”
Tiba-tiba suara batuk yang keras dan berputus-putus terdengar dari ruang keluarga. Ning dan Kinan segera berlari ke ruangan tersebut dan melihat Kartajaya, ayah Ning, yang sedang menontokan televisi dengan batuk yang terus-menerus.
Di tangan Kartajaya masih terselip sebatang rokok yang masih menyala, mengeluarkan asap yang membumbung ke udara.
Ruang keluarga dipenuhi dengan bau asap rokok yang menyengat. Ning merasa khawatir dan cemas melihat ayahnya yang terus-menerus merokok.
“Pak, bapak sakit, bapak harus berhenti merokok,” kata Ning dengan suara yang khawatir.
Kartajaya memandang Ning dengan mata yang penuh penyesalan. “B… bapak… tidak… tahu… Ning… Bapak tidak ingin membahayakan orang-orang yang aku cintai…”
“Jadi, bapak harus berhenti merokok sekarang juga, Pak,” kata Ning dengan suara yang tegas. “Dan bapak harus minum obat ini sekarang juga.”
Ning menyerahkan beberapa butir obat kepada Kartajaya seraya menatapnya dengan mata yang penuh harapan. “Minum ini, Pak. Ning ingin bapak sembuh.”
Kartajaya mengambil obat yang diberikan oleh Ning dan meminumnya dengan air. Ia merasa sedikit lega setelah meminum obat tersebut.
“Ning, Bapak janji akan berhenti merokok dan menjalani pengobatan dengan benar,” kata Kartajaya dengan suara yang lemah.
Ning tersenyum dan memeluk ayahnya. “Ning percaya, Pak. Ning akan selalu mendukung bapak.”
Kartajaya hanya mengangguk singkat dan tidak menanggapi Kinan lebih lanjut. Ia memandang Ning dengan mata yang penuh harapan.
Saat itu, pintu rumah terbuka dan Kinari masuk ke dalam rumah dengan seragam sekolah yang lusuh dan raut wajah yang sedih. Ia adalah anak ketiga dari Ning dan Kinan, dan masih duduk di bangku SD.
Ning yang sedang duduk di ruang tamu, segera berdiri dan mendekati Kinari. “Kinari, apa yang terjadi? Kamu terlihat sedih,” tanya Ning dengan khawatir.
Kinari tidak menjawab, ia hanya menunduk dan berjalan ke arah kamar. Kartajaya yang sedang duduk di sebelah Ning, meminum obat yang diberikan oleh Ning. Ia memandang Kinari dengan raut wajah yang khawatir, tetapi tidak mengatakan apa-apa.
Sementara itu, Kinan tetap berada di lantai atas, bersama dengan Kinara. Mereka tidak menyadari apa yang terjadi dengan Kinari.
Kinari menangis saat berbicara dengan Bunda. “Bunda… aku diganggu di sekolah… beberapa teman laki-laki sekelasku selalu mengatakan kata-kata yang tidak enak… aku tidak bisa melawan, Bunda… aku hanya bisa menangis…” kata Kinari dengan suara yang terputus-putus.
Ning memeluk Kinari erat. “Ari, kamu tidak sendirian. Bunda ada di sini untuk kamu. Kamu tidak perlu takut untuk berbicara tentang hal ini. Bunda akan membantu kamu mengatasi masalah ini.”
“Apa yang mereka katakan, Ari?” tanya Ning dengan lembut.
Kinari menangis lagi. “Mereka mengatakan bahwa aku tidak cantik, bahwa aku tidak pintar… bahwa aku tidak berguna…”
Ning memeluk Kinari erat lagi. “Ari, kamu tidak perlu percaya pada kata-kata mereka. Kamu adalah anak yang cantik, pintar, dan berguna. Bunda sangat bangga dengan kamu.”
Ning memandang Kinari dengan serius. “Ari, kamu harus berani melawan mereka. Kamu tidak bisa membiarkan mereka terus-menerus mengganggu kamu.”
Kinari mengangguk, tapi masih terlihat takut. “Tapi, Bunda, aku takut mereka akan marah pada aku.”
Ning memeluk Kinari erat. “Ari, kamu tidak perlu takut. Bunda akan selalu ada di sini untuk melindungi kamu. Besok, Bunda akan datang ke sekolah kamu untuk berbicara dengan guru dan teman-teman kamu.”
Kinari mengangguk lagi, terlihat sedikit lebih percaya diri. “Baik, Bunda. Terima kasih.”
Setelahnya, Ning naik ke lantai atas dan memasuki kamar tidurnya dan Kinan. Ia mengambil napas dalam-dalam sebelum berbicara dengan Kinan.
“Kinan, aku ingin meminta kamu melakukan sesuatu untukku,” kata Ning dengan suara yang lembut.
Kinan membuka mata dan memandang Ning. “Apa itu, Ning?” tanyanya dengan suara yang sedikit lelah.
Ning mengeluarkan tabung kecil dari tasnya. “Aku ingin kamu meludah ke dalam tabung ini. Aku ingin memeriksa cairan ludahmu di rumah sakit tempat aku bekerja.”
Kinan terkejut. “Apa yang terjadi, Ning? Kamu khawatir tentang kesehatanku?”
Ning mengangguk. “Aku hanya ingin memastikan bahwa kamu baik-baik saja, Kinan. Tolong, meludahlah ke dalam tabung ini.”
Kinan memandang Ning dengan mata yang penuh pertanyaan, tapi akhirnya ia meludah ke dalam tabung tersebut.
Ning mengambil tabung itu dan memasukkannya ke dalam tasnya. “Terima kasih, Kinan. Aku akan memeriksa ini di rumah sakit.”
Kinan memandang Ning dengan khawatir. “Ning, apa yang terjadi? Kamu tidak perlu khawatir tentang kesehatanku, kan?”
Ning tersenyum dan memeluk Kinan. “Aku hanya ingin memastikan bahwa kamu baik-baik saja, Kinan. Aku akan memberitahu kamu hasilnya nanti.”
Ning memandang Kinan dengan mata yang penuh kasih sayang. “Kinan, meski aku marah dengan kebiasaan merokokmu, aku tetap sangat mencintai kamu. Aku hanya ingin memastikan bahwa kamu baik-baik saja.”
Kinan memandang Ning dengan mata yang penuh rasa bersalah. “Maaf, Ning. Aku tahu aku harus berhenti merokok.”









