Cerpen  

Ning 4 : Kinanda

Avatar photo

Malam itu, langit seperti menyimpan rahasia. Awan gelap menggantung rendah, menelan bintang-bintang ke dalam kehampaan. Di bawah langit yang muram itu, seorang gadis berlari, napasnya tersengal, air matanya mengaburkan pandangan.

Hatinya gemetar dalam ketakutan. Langkahnya berat, tapi ia tak bisa berhenti. Di belakangnya, suara amarah memecah keheningan malam, menusuk udara seperti petir yang mengancam akan menghancurkan segalanya.

Di tempat lain, seorang pemuda berdiri kaku, tangan terkepal, hatinya berkecamuk. Ia ingin berlari mengejarnya, ingin meneriakkan namanya. Tapi ia tahu, di hadapannya berdiri tembok besar bernama restu, dan ia belum cukup kuat untuk meruntuhkannya.

Malam itu, takdir mengukir luka pertama dalam kisah mereka.

Dan sejak saat itu, dunia seakan bertanya—cinta seperti apa yang mampu bertahan dalam badai?

*****

Kinan dan Ning duduk di taman sekolah, menikmati hangatnya sinar matahari sore yang perlahan meredup. Angin berembus lembut, menggoyangkan dedaunan di sekitar mereka. Selama satu tahun bersama, hubungan mereka semakin erat, penuh dengan tawa, impian, dan janji-janji kecil yang membuat hari-hari terasa lebih bermakna.

Namun, sore itu terasa berbeda. Kinan tampak murung, sorot matanya tak seterang biasanya. Ning bisa merasakan ada sesuatu yang mengganggu hati kekasihnya. Dengan suara pelan, ia bertanya, “Apa yang terjadi, Kinan?” Nada suaranya penuh kekhawatiran.

Kinan menarik napas panjang, seolah mencoba menenangkan gejolak yang berkecamuk dalam dadanya. “Aku sudah diterima di universitas impianku…” katanya, suaranya sedikit bergetar. “Tapi aku harus kuliah di luar kota. Aku akan meninggalkan Jakarta… dan kamu.”

Baca Juga :  Ning 5: "Tuhan, Nanti Dimana?"

Sejenak, dunia Ning seakan berhenti berputar. Matanya melebar, dadanya terasa sesak. Ia menelan ludah dengan susah payah sebelum bertanya dengan suara bergetar, “Kapan kamu akan pergi?”

Kinan menunduk, matanya tampak berkaca-kaca. “Besok…” jawabnya hampir tak terdengar. “Aku harus mempersiapkan diri untuk kuliah.”

Hati Ning serasa remuk. Ia belum siap kehilangan Kinan, bahkan jika hanya untuk sementara waktu. Air mata yang berusaha ia tahan akhirnya jatuh, membasahi pipinya. “Apa yang akan terjadi dengan kita?” bisiknya, hampir tak berani mendengar jawabannya.

Tanpa ragu, Kinan menarik Ning ke dalam pelukannya, mendekapnya erat, seolah ingin menyerap setiap detik kebersamaan mereka. “Kita akan tetap bersama, Ning… Tidak peduli seberapa jauh jarak memisahkan kita,” suaranya penuh keyakinan, tapi Ning bisa merasakan betapa berat perasaan di balik kata-kata itu. “Aku berjanji… Kita akan menjaga hubungan ini. Kita akan bertahan.”

Ning menutup matanya, mencoba meyakinkan dirinya bahwa semua akan baik-baik saja. Meski hatinya sakit, ia ingin percaya pada Kinan. Ia mengangguk pelan, meskipun hatinya belum siap melepaskan.

Kinan mengusap pipi Ning yang basah dengan jemarinya. Matanya yang penuh harapan menatap gadis itu dalam-dalam. “Ning, aku ingin meminta sesuatu darimu…” katanya, suaranya lembut tapi serius.

Ning menatapnya dengan mata yang masih basah. “Apa itu, Kinan?” tanyanya, mencoba menenangkan emosinya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *