Cerpen  

Kinanda

Avatar photo

Malam itu, langit seperti menyimpan rahasia. Awan gelap menggantung rendah, menelan bintang-bintang ke dalam kehampaan. Di bawah langit yang muram itu, seorang gadis berlari, napasnya tersengal, air matanya mengaburkan pandangan.

Hatinya gemetar dalam ketakutan. Langkahnya berat, tapi ia tak bisa berhenti. Di belakangnya, suara amarah memecah keheningan malam, menusuk udara seperti petir yang mengancam akan menghancurkan segalanya.

Di tempat lain, seorang pemuda berdiri kaku, tangan terkepal, hatinya berkecamuk. Ia ingin berlari mengejarnya, ingin meneriakkan namanya. Tapi ia tahu, di hadapannya berdiri tembok besar bernama restu, dan ia belum cukup kuat untuk meruntuhkannya.

Malam itu, takdir mengukir luka pertama dalam kisah mereka.

Dan sejak saat itu, dunia seakan bertanya—cinta seperti apa yang mampu bertahan dalam badai?

*****

Kinan dan Ning duduk di taman sekolah, menikmati hangatnya sinar matahari sore yang perlahan meredup. Angin berembus lembut, menggoyangkan dedaunan di sekitar mereka. Selama satu tahun bersama, hubungan mereka semakin erat, penuh dengan tawa, impian, dan janji-janji kecil yang membuat hari-hari terasa lebih bermakna.

Namun, sore itu terasa berbeda. Kinan tampak murung, sorot matanya tak seterang biasanya. Ning bisa merasakan ada sesuatu yang mengganggu hati kekasihnya. Dengan suara pelan, ia bertanya, “Apa yang terjadi, Kinan?” Nada suaranya penuh kekhawatiran.

Kinan menarik napas panjang, seolah mencoba menenangkan gejolak yang berkecamuk dalam dadanya. “Aku sudah diterima di universitas impianku…” katanya, suaranya sedikit bergetar. “Tapi aku harus kuliah di luar kota. Aku akan meninggalkan Jakarta… dan kamu.”

Sejenak, dunia Ning seakan berhenti berputar. Matanya melebar, dadanya terasa sesak. Ia menelan ludah dengan susah payah sebelum bertanya dengan suara bergetar, “Kapan kamu akan pergi?”

Kinan menunduk, matanya tampak berkaca-kaca. “Besok…” jawabnya hampir tak terdengar. “Aku harus mempersiapkan diri untuk kuliah.”

Hati Ning serasa remuk. Ia belum siap kehilangan Kinan, bahkan jika hanya untuk sementara waktu. Air mata yang berusaha ia tahan akhirnya jatuh, membasahi pipinya. “Apa yang akan terjadi dengan kita?” bisiknya, hampir tak berani mendengar jawabannya.

Tanpa ragu, Kinan menarik Ning ke dalam pelukannya, mendekapnya erat, seolah ingin menyerap setiap detik kebersamaan mereka. “Kita akan tetap bersama, Ning… Tidak peduli seberapa jauh jarak memisahkan kita,” suaranya penuh keyakinan, tapi Ning bisa merasakan betapa berat perasaan di balik kata-kata itu. “Aku berjanji… Kita akan menjaga hubungan ini. Kita akan bertahan.”

Ning menutup matanya, mencoba meyakinkan dirinya bahwa semua akan baik-baik saja. Meski hatinya sakit, ia ingin percaya pada Kinan. Ia mengangguk pelan, meskipun hatinya belum siap melepaskan.

Kinan mengusap pipi Ning yang basah dengan jemarinya. Matanya yang penuh harapan menatap gadis itu dalam-dalam. “Ning, aku ingin meminta sesuatu darimu…” katanya, suaranya lembut tapi serius.

Ning menatapnya dengan mata yang masih basah. “Apa itu, Kinan?” tanyanya, mencoba menenangkan emosinya.

“Aku ingin kamu mendoakan aku untuk ujian nasional tingkat akhir yang akan aku hadapi,” ujar Kinan, nadanya penuh harapan. “Aku ingin mendapatkan nilai yang memuaskan… Aku ingin membuat orang tuaku bangga.”

Ning mengerjap, lalu mengangguk. Senyum kecil tersungging di bibirnya, meski hatinya masih berat. “Aku akan selalu mendoakanmu, Kinan,” katanya dengan penuh ketulusan. “Kamu pasti bisa melakukannya. Aku percaya padamu.”

Mata Kinan sedikit berbinar, seolah beban di pundaknya sedikit berkurang. Ia menggenggam tangan Ning erat, merasakan kehangatan yang selalu membuatnya tenang. “Terima kasih, Ning…” ucapnya penuh rasa syukur. “Aku nggak tahu apa yang akan aku lakukan tanpamu.”

Ning menatapnya dengan penuh cinta, lalu merengkuh Kinan dalam pelukannya. “Aku akan selalu ada untukmu,” bisiknya, meyakinkan dirinya sendiri bahwa mereka akan baik-baik saja.

Namun, momen mengharukan itu terpecah ketika suara lantang memanggil nama Ning.

“Ning!”

Ning dan Kinan tersentak. Ning menoleh dan mendapati seorang lelaki separuh baya berdiri tak jauh dari mereka, wajahnya tegas dan sorot matanya tajam. Jantung Ning berdetak lebih kencang saat mengenali sosok itu—ayahnya.

Ning berlari secepat mungkin, meninggalkan taman dengan napas tersengal dan jantung berdebar kencang. Dadanya terasa sesak, seolah ada tangan tak terlihat yang mencengkeram hatinya erat-erat. Air mata menggenang di matanya, buramnya pandangan membuat langkahnya hampir goyah. Tapi ia terus berlari, menjauh dari Kinan… dari segalanya.

Sementara itu, Kinan tetap terpaku di tempat, tak mampu bergerak. Ia hanya bisa menyaksikan punggung Ning yang semakin jauh, meninggalkannya tanpa kata-kata perpisahan. Hatinya mencengkeram perasaan bersalah yang begitu dalam.

“Ayahnya tidak setuju…” gumamnya lirih, seolah mencoba memahami kenyataan pahit yang baru saja menimpanya. “Aku harusnya bisa melakukan sesuatu.”

Namun, kakinya terasa berat. Ia tetap diam di tempat, terjebak dalam ketidakberdayaan yang menyakitkan.

Di sisi lain, Ning terus berlari, seolah ingin melarikan diri dari semua ketakutan yang membelenggunya. Dadanya naik turun, rasa cemas mencengkeram pikirannya. Bagaimana jika Ayah tahu? Apa yang akan terjadi padaku? Pada Kinan?

Sesampainya di rumah, Ning hampir menerjang pintu, membukanya dengan cepat, lalu menutupnya rapat-rapat. Napasnya tersengal saat ia bersandar di pintu, berharap bisa menghindari badai kemarahan yang akan segera datang.

*****

Di taman sekolah, Karta berjalan mendekati Kinan dengan langkah berat. Wajahnya penuh amarah, sorot matanya tajam, seperti hendak menembus hati Kinan.

“Kamu! Kinan!” suara Karta menggema, penuh kemarahan yang menekan udara di sekitarnya. “Aku tidak setuju dengan hubungan kamu dengan Ning! Kamu harus berhenti sekarang juga!”

Kinan menelan ludah, mencoba tetap tenang meskipun detak jantungnya berpacu. Ia menatap Karta dengan mata penuh keyakinan. “Pak Karta, saya mengerti bahwa Anda khawatir… tapi hubungan saya dengan Ning dibangun atas dasar cinta dan rasa saling menghormati. Kami tidak pernah melakukan hal yang melanggar moral.”

Tapi Karta tidak peduli. Ia mengibaskan tangannya dengan kasar, seolah kata-kata Kinan hanyalah angin lalu. “Aku tidak peduli! Yang aku tahu, kalian masih terlalu muda untuk ini! Kalian seharusnya fokus pada studi, bukan menghabiskan waktu dengan cinta-cintaan!” teriaknya, suaranya menggema di sekitar taman yang mulai sepi.

Kinan membuka mulut, ingin membela diri, ingin menjelaskan lebih banyak. Tapi sia-sia. Karta sudah menutup telinganya. Dengan nada yang lebih tegas, ia menatap Kinan lurus-lurus.

“Aku ingin kamu berjanji tidak akan bertemu dengan Ning lagi,” katanya dingin, nyaris seperti perintah yang tak bisa dibantah.

Kinan terdiam. Hatnya bergetar hebat, tapi ia tidak bisa langsung menjawab.

Sementara itu, di rumah, pintu kamar Ning tiba-tiba terbuka dengan kasar, menghantam dinding dengan suara menggelegar.

“Ning! Kamu di dalam?!” teriakan Karta mengguncang udara, membuat jendela kamar bergetar.

Ning yang duduk di tempat tidurnya tersentak. Tubuhnya menegang, bibirnya bergetar. Ia tahu ini akan terjadi, tapi tetap saja, ia tidak siap.

“…Ayah…” suaranya serak, hampir tak terdengar, seperti daun kering yang terinjak.

Karta melangkah masuk dengan mata menyala penuh amarah. “Kamu harus menuruti aku, Ning! Kamu harus meninggalkan Kinan dan tidak pernah bertemu dengannya lagi! Kamu tidak boleh membangkang!” bentaknya, suaranya memukul udara seperti petir yang menyambar.

Ning menggeleng, air matanya jatuh begitu saja. Ia memeluk bantalnya erat, seolah itu satu-satunya perlindungan yang tersisa. “Ayah… aku tidak bisa…” bisiknya dengan suara bergetar. “Aku mencintai Kinan…”

Mata Karta semakin menyala. Ia mengangkat tangannya, menunjuk tepat ke wajah putrinya. “Tidak boleh! Kamu tidak tahu apa yang terbaik untukmu! Kamu harus mendengarkan aku!”

Ning menangis tersedu, bahunya bergetar hebat.

Dalam kemarahannya, Karta meraih benda-benda di sekitarnya—buku, bingkai foto—lalu melemparkannya ke lantai. Suara pecahan kaca mengiris udara, menggema di ruangan yang terasa semakin sesak.

“Aku tidak akan membiarkanmu melawan aku!” suaranya meledak, membuat Ning semakin mengecil dalam ketakutan.

Air mata Ning terus mengalir. Hatinya terasa terjepit dalam genggaman yang begitu kuat, seperti bunga yang terinjak tanpa ampun.

Di luar kamar, malam mulai menyelimuti dunia. Tapi di dalam ruangan itu, badai belum juga reda.

Ning hanya bisa menangis tersedu, tubuhnya bergetar hebat saat ia memeluk bantalnya erat-erat, seolah itu satu-satunya perlindungan yang tersisa. Ia menggoyangkan kepalanya, mencoba menolak kenyataan pahit yang menimpanya. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukan, tidak tahu bagaimana caranya membuat ayahnya berhenti marah.

Di luar kamar, suara langkah cepat bergema di lantai kayu. Asmara, ibunya Ning, buru-buru menuju kamar putrinya dengan wajah penuh kecemasan. Saat ia membuka pintu, jantungnya mencelos melihat Karta berdiri di sana, wajahnya merah padam karena amarah, suaranya menggelegar memenuhi ruangan.

Tanpa ragu, Asmara langsung menghampiri suaminya dan mencoba menenangkannya. “Pak, tolong… jangan terlalu keras,” katanya dengan suara lembut, suaranya penuh kasih sayang yang berusaha meredakan bara di hati Karta. “Ning masih anak kita… dia masih kecil.”

Karta berpaling, sorot matanya masih tajam, napasnya memburu. “Kamu tidak tahu apa yang terjadi, Asmara! Ning sudah berani menjalin hubungan dengan Kinan! Ia tidak mendengarkan aku!” bentaknya, suaranya kembali meninggi.

Asmara menelan ludah, lalu mengangguk pelan. Ia tahu amarah suaminya berasal dari kekhawatiran, dari rasa takut kehilangan putrinya. Dengan hati-hati, ia mencoba berbicara lebih lembut. “Aku tahu, Pak. Tapi kita tidak bisa memaksanya dengan cara seperti ini… Kita harus bicara baik-baik, bukan dengan teriakan dan ancaman.”

Karta terdiam. Dadanya naik turun, emosinya masih menggelegak. Tapi kata-kata Asmara menembus sesuatu di hatinya. Matanya beralih ke Ning yang masih tersedu di sudut tempat tidur. Perlahan, ia menghela napas dalam-dalam.

Bagaimana Anda menilai informasi ini? Berikan reaksi Anda!