“Cerita ini datang dari Pulo Bawah, negeri yang katanya giat melestarikan lingkungan. Setiap tahun ada program, setiap bulan ada kampanye, setiap pekan ada seremoni. Tapi entah kenapa, alam tetap merintih. Jangan terlalu serius, ini cuma kelakar. Tapi kalau terasa menohok, mungkin karena ada yang pas.”
Di Pulo Bawah, pelestarian lingkungan adalah agenda wajib.
Banyak program, banyak dana, banyak janji, tapi entah kenapa, hasilnya sering samar.
📌 Rehabilitasi karang? Ada.
📌 Penanaman mangrove? Jalan terus.
📌 Gerakan bersih-bersih pantai? Rutin.
📌 Pengurangan plastik? Dikampanyekan.
Tapi di balik semua itu, alam tetap mengeluh, nelayan tetap kebingungan, dan laut tetap tak seindah brosur kampanye.
Tanam, Tebar, Foto, Selesai
Program rehabilitasi karang dilakukan dengan penuh semangat.
- Karang buatan ditebar.
- Tim penyelam turun ke laut.
- Foto-foto diambil dari berbagai sudut, supaya kelihatan dramatis.
- Laporan dibuat, lengkap dengan angka-angka indah.
Tapi kemudian?
- Apakah karangnya benar-benar tumbuh, atau hanya numpang lewat untuk proyek berikutnya?
- Apakah ekosistem laut membaik, atau hanya rekening yang makin subur?
- Apakah nelayan akhirnya bisa panen ikan lebih banyak, atau tetap harus melaut lebih jauh?
Karena faktanya, di Pulo Bawah, terumbu karang alami rusak karena ulah manusia, lalu manusia sibuk “memperbaikinya” dengan proyek-proyek baru.
📌 Siapa yang benar-benar untung? Karangnya, nelayannya, atau… laporan anggarannya?
Pelestarian atau Formalitas?
Tak ada yang salah dengan menanam mangrove, membersihkan pantai, atau menebar terumbu karang.
Tapi kalau lebih banyak dana untuk seminar daripada aksi nyata, siapa yang sebenarnya dijaga? Alam atau anggaran?
- Mangrove ditanam, tapi pesisir tetap tergerus reklamasi.
- Pantai dibersihkan, tapi di tempat lain izin eksploitasi tetap jalan.
- Laut dikatakan lestari, tapi masih ada proyek yang pelan-pelan mengubahnya.
📌 Jadi ini benar-benar untuk lingkungan, atau sekadar formalitas?
Karena kalau melihat hasilnya, sepertinya bukan hanya alam yang dipulihkan, tapi juga rekening yang ikut berkembang.
Karena di Pulo Bawah, pelestarian lingkungan kadang seperti bakwan—terlihat hijau, tapi kalau digigit, ada udang di dalamnya.
“Tapi ya sudahlah, ini kan cuma kelakar. Kelakar Orang Pulo. Kalau ada yang merasa, ya silakan direnungkan. Kalau tidak, anggap saja angin laut yang lewat.”